Tersebut lah sebuah warung rokok di sudut jalan di tengah-tengah ruwetnya ibu kota. Motor, mobil, bis semuanya menderu melewati warung tersebut, tanpa ada satu pun yang berhenti untuk sekedar membeli air atau rokok. Namun begitu, hingar bingar dan gelak tawa terdengar nyaring saling bersahut-sahutan dari warung tersebut. Ya. Hidup dan mati warung-warung seperti ini ada di tangan para segerombolan manusia yang menjadikannya sebagai markas dan basis berkumpul. Hampir dapat dipastikan, manusia-manusia yang bermarkas di warung rokok adalah manusia-manusia berpenis alias laki-laki, betul toh?
Namanya juga warung pinggir jalan, tentu saja tidak hanya kendaraan bermotor yang hilir mudik di depannya Banyak juga makhluk-makhluk ibu kota terpinggirkan yang biasa dikenal dengan sebutan ‘Pejalan Kaki’ berlalu lalang melewati ‘Markas-Markas’ yang tersebar secara sistematis di seluruh penjuru kota.
Alkisah, di salah satu ‘Markas’ ini, sekelompok pria sedang bersantai dan bersenda gurau. Kemudian dari ujung jalan, muncul sesosok makhluk yang membuat mereka semua terdiam. Ya, makhluk tersebut adalah sesosok perempuan. Senggal-senggol diantara para lelaki itu pun mulai terjadi secara otomatis, tidak lupa juga diiringi dengan bisik-bisik mesum dan tatapan yang menghujam.
Dari jauh, sang perempuan berjalan dengan penuh harga diri. Mata memandang tajam ke depan. Kepala terangkat, tegak, menunjukkan kepercayaan diri. Langkah-langkahnya mantap dan pasti. Namun semuanya sirna ketika ia mendekati ‘markas’ para lelaki ini. Godaan mulai meluncur saling sahut-menyahut dari para lelaki tersebut. Kepala sang perempuan kini merunduk. Matanya sesekali melirik ke arah para lelaki yang sedang menggodanya. Langkah yang diambilnya kini adalah langkah seribu.
“Hai Cantik! Mau kemana?”
“Neng, mau dianterin aja gak pake motor? Daripada jalan kaki begitu!”
“Mampir dulu dong, ngobrol sama kita-kita disini!”
Dan sang perempuan pun menghilang di ujung jalan dengan tergopoh-gopoh. Para lelaki tersebut kembali melanjutkan senda gurau mereka dan langsung melupakan sosok perempuan yang baru saja lewat di hadapan mereka.
Lupa? Ya, lupa!
Semudah itu lah kami, makhluk berpenis, melupakan seorang perempuan yang sudah kita lecehkan beberapa menit yang lalu! Tak perlu lah bermunafik ria. Gue, elo, bokap lo dan hampir semua laki-laki pasti pernah dan masih melakukan ‘kegiatan’ tersebut, iya kan?
Pernah kah kita sebagai laki-laki menempatkan diri di posisi sang perempuan? Pernah kah terlintas di pikiran kita bagaimana ‘godaan-godaan’ seperti itu memberikan rasa risih yang luar biasa di diri sang perempuan? Pernah kah terbayang seperti apa rasa takut yang dialami oleh para perempuan yang sudah kita goda?
Tentu saja tidak.
Tentu saja kita hanya memikirkan betapa lucunya momen-momen seperti itu. Betapa ‘godaan-godaan’ tersebut sejatinya hanya lah sebuah ajang uji nyali diantara kita, para makhluk berpenis, untuk menunjukkan superioritas dan maskulinitas kita.
Betapa egoisnya kita.
Pernah kah kalian menggoda perempuan jika kalian hanya seorang diri di pinggir jalan? Jikalau tidak pernah, mengapa kalian harus menggoda perempuan jika sedang bergerombol? Apa yang kalian dapat? Bangga? Puas? Senang? Tawa? Sementara itu, mungkin sang perempuan sedang menangis di ujung jalan karena baru saja kalian lecehkan.
Tahu kah kalian bahwa segala macam godaan-godaan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk….
KEKERASAN?
Coba lah untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Sulit? Ya. Gue pun merasakannya. Tapi apa salahnya? Takut diberi label pengecut? Tidak punya nyali? Cupu? Heh.
Biarkan anjing-anjing itu menggonggong, karena kalian semua adalah harimau!
#Rise4Justice!
Tags kekerasan seksual maskulinitas Pelecehan Seksual Pria Refleksi
Check Also
Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?
Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …
Hai, saya adalah salah satu perempuan yang sering jalan kaki sendirian. Jujur, saya muak setengah mati dengan kelakuan lelaki macam itu, karena saya merasa saya nggak pernah niat ganggu mereka. Ngapain mereka bermulut usil? Kalau saya cuekin, komentar mereka makin bikin muntab:”Galak amat, neng. Biasa aja napa.” Atau “Sombong. Ditegur pura-pura nggak denger.” Emang mereka siapa sih, yang berharap perempuan bakal meladeni mereka dengan segitu mudahnya?
Terima kasih atas tulisan inspiratif ini.