Laki-laki dan Penyebaran Infeksi HIV

Dalam data kasus triwulan II pada bulan Agustus 2013 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, infeksi baru HIV saat ini didominasi oleh penularan melalui transmisi seksual yaitu sebanyak 45,6 %, disusul penggunaan narkoba suntik 10,6%, disusul kelompok LSL sebanyak 10,3%. Sedangkan dari faktor usia, kasus AIDS dilaporkan usia muda antara 30-39 tahun merupakan kelompok yang tertinggi sebanyak 33,8%, disusul kelompok umur 20-29 tahun 28,8%. Sekitar 35% dari kasus infeksi HIV yang ditemui pada proses VCT, adalah kasus pada pelanggan seks dan pasangannya.
Kenyataan tersebut di atas mendorong perlu adanya intervensi program yang komprehensif sehingga dapat menjawab permasalahan pada tingkat immediate causes, inter-mediate causes dan basic causes dengan prioritas tinggi pada kelompok laki- laki beresiko tinggi (LBT), yang sasarannya tidak hanya laki- laki yang ditemui di lokalisasi, tapi juga di tempat dimana laki- laki secara jumlah besar berkumpul. Kelompok laki-laki yang dimaksud adalah kelompok laki-laki yang sudah matang secara biologis dan memiliki perilaku aktif secara seksual.
Oleh karena itu, untuk lebih memahami karakteristik target sasaran program yaitu Laki-laki berisiko tinggi (LBT), maka dirasa perlu untuk memperkuat pemahaman kawan-kawan yang bekerja di lapangan mengenai akar permasalahan yang terkait dengan masalah ketidaksetaraan gender khususnya bila dihubungkan dengan Budaya Patriarkhi, untuk kemudian bisa lebih menghayati dan mencari strategi yang paling cocok dilakukan di komunitas dampingannya.
Kelompok laki-laki menjadi strategis dalam pola intervensi program penanggulangan HIV dan AIDS karena memiliki tingkat faktor resiko penyebaran infeksi yang lebih tinggi, tidak hanya karena faktor perilakunya tetapi juga faktor media penularannya. Selain itu, kelompok laki-laki yang dimaksud juga merupakan komponen lintas relasi dalam interaksi antar populasi kunci (pekerja seks, Transgender, IDU’s, Gay) bahkan memiliki kapasitas yang lebih tinggi dalam relasi dengan kelompok populasi rentan (ibu rumah tangga, remaja dan anak).
Perilaku beresiko merupakan sudut pandang yang selama ini selalu menjadi acuan utama pola intervensi program termasuk program intervensi terhadap laki-laki. Namun kenyataannya masih belum menyentuh pada akar persoalan yang sesungguhnya dimana pola intervensi perubahan perilaku masih belum memberikan penguatan signifikan terhadap perubahan perilaku yang lebih aman khususnya dikelompok laki-laki.
Banyak hal yang mendasari mengapa laki-laki menjadi sulit untuk di intervensi perubahan perilakunya. Melalui kacamata maskulinitas ditemukan bahwa laki-laki cenderung memiliki banyak posisi pertahanan dalam zona nyaman yang diakui sebagai hal yang tidak perlu diubah. Laki-laki ditempatkan pada keistimewaan-keistimewaan tertentu di masyarakat yang permisif terhadap perilaku-perilaku beresikonya. Sebagai contoh bahwa seksualitas bahkan cenderung menjadi alat ukur kejantanan bagi seorang laki-laki, laki-laki juga memiliki kuasa penuh dalam mengendalikan relasi seksualnya yang kemudian menempatkan dirinya sebagai individu yang wajib dilayani. Laki-laki bahkan dengan mudah dapat menyangkal berbagai perbuatan yang tidak bertanggung jawab tanpa harus khawatir dengan sangsi-sangsi sosial yang telah dibangun karena masyarakat secara sosial cenderung memberlakukan sangsi hanya pada kelompok subordinat terutama bagi kelompok perempuan saja. Budaya patriarkhi diperkuat dengan pendidikan dogmatis dengan tafsiran yang tidak adil menjadi alat pembenaran dan pelanggengan perilaku-perilaku tersebut. Laki-laki akan tetap bertahan membenarkan perilaku beresikonya karena dianggap telah menjalankan sesuai dengan anjuran kepercayaan tertentu yang diakui masyarakat umum.
Tidak hanya itu, seorang laki-laki andaipun sudah berada pada posisi menyadari perilaku beresikonya, tidak serta merta dapat segera berkomitmen pada perubahan karena pengaruh lingkungan sebayanya yang bahkan mengintimidasi dirinya dengan ancaman cara pandang laki-laki ideal yang belum tentu bertanggung jawab.
Pada tahun 2010, Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia sudah mulai berkembang dari manajemen perubahan perilaku beresiko menjadi manajemen Dampak resiko. Program secara umum sudah mulai melihat sudut pandang dampak dari faktor-faktor resiko infeksi HIV hingga pada kelompok rentan (bayi, anak, remaja dan ibu rumah tangga). Infeksi HIV semakin lama sudah semakin menyebar kepada kelompok yang sama sekali tidak memiliki indikator kelompok berperilaku resiko tinggi.
Kelompok Laki-laki yang dikategorikan aktif secara seksual dinilai sebagai kelompok yang memiliki ruang paling besar menjadi sumber penyebaran infeksi HIV, tidak hanya sekedar karena perilakunya yang beresiko tinggi tetapi juga karena kehidupan sosialnya yang memiliki dampak resiko yang tinggi. Terdapat 4 indikasi umum yang menempatkan laki-laki dengan dampak resiko tinggi yaitu men (keistimewaan laki-laki), mobile (mobilisasi aktif), money (memiliki kuasa atas uang yang dimiliki), macho (label maskulin yang cenderung negatif). Dengan 4 indikasi ini laki-laki akan lebih mudah terinfeksi dan ikut menyebarkan infeksi HIV kepada kelompok beresiko tinggi lainnya dan bahkan sengaja ataupun tidak sengaja juga akan ikut menyebarkan infeksi ke kelompok rentan lainnya yang notabene adalah keluarganya sendiri (pasangan dan anak).
Pendekatan maskulinitas positif adalah upaya yang komprehensif dalam melakukan intervensi persoalan ini. Upaya ini tidak hanya memetakan perilaku beresiko tinggi kelompok laki-laki, tetapi juga memetakan dampak resiko dari perilaku tersebut. Intervensi yang dilakukan lebih kepada intervensi pengendalian dampak dengan mempromosikan manfaat-manfaat perubahan kedepan (incentive moral) kepada laki-laki hingga kemudian berkomitmen untuk melakukan perubahan-perubahan tanpa harus memulai dengan menghakimi perilaku beresiko tingginya.
Dalam pendekatan maskulinitas, suatu kelompok maupun individu laki-laki diajak untuk memetakan kembali diri dan kehidupan yang mmbentuknya. Biasanya dalam pemetaan ini akan ditemukan 3 fase tingkatan perubahan yaitu prakontemplasi, kontemplasi dan pasca kontemplasi (pendekatan yang dilakukan dalam konseling Pelaku Kekerasan).
Dengan mengadopsi strategi dan metode pendekatan ini, intervensi manajemen dampak resiko terhadap laki-laki yang aktif secara seksual dapat dilakukan dengan lebih efektif. Secara teknis, individu maupun kelompok secara signifikan akan tergambarkan dalam siklus tahapan perubahan yaitu PENYANGKALAN-PEMBENARAN-PENERIMAAN-KOMITMEN.
Layaknya siklus, maka tahapan perubahan ini akan terus menerus berulang dalam diri seorang laki-laki. Fokusnya bukanlah bagaimana  mempertahankan tahapan demi tahapan karena tantangan yang dihadapi akan menyangkut masalah budaya patriarkhi yang sudah memfosil di masyarakat termasuk hegemoni maskulinitas negatif di kalangan sebaya laki-laki yang terus menerus mengental. Fokus terpentingnya adalah bagaimana mengelola tahapan demi tahapan siklus tersebut (apapun posisinya) dan memediasi kebutuhan ketika telah masuk pada tahapan pasca kontemplasi yaitu penerimaan dan komitmen. Selain itu juga menjamin bahwa individu dan kelompok yang di intervensi dapat benar-benar merasakan manfaat demi manfaat ketika sudah berada pada posisi pasca kontemplasi.
Dalam proses intervensi perubahan tahapan demi tahapan dalam siklus ini sangat bergantung pada efektifitas tema diskusi maupun konseling baik secara interpersonal individu maupun berkelompok. Yang terpenting dalam proses ini adalah bagaimana mengikis satu persatu bias pemahaman tentang laki-laki pada fase pra kontemplasi (Penyangkalan dan pembenaran).
Aliansi Laki-laki baru dengan pengalaman bekerja bersama gerakan perempuan, telah memiliki beberapa pengalaman terkait bagaimana membongkar zona nyaman laki-laki yaitu zona Penyangkalan dan Pembenaran. Selain itu, pengalaman memahami tentang bagaimana pengaruh hegemoni maskulinitas  membungkus zona nyaman ini hingga melanggengkan fosil laki-laki menjadi modal dalam intervensi perubahan kesadaran laki-laki beresiko tinggi tanpa harus membentuk hegemoni-hegemoni baru.
Harapannya, dengan metode intervensi ini dapat mendorong pelibatan laki-laki secara aktif dalam menurunkan angka kasus baru infeksi HIV, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat AIDS dan memperkuat kualitas Hidup ODHA serta penguatan sistem komunitas di Indonesia.

About Ahmad Syahroni

Korwil ALB Wilayah Kepulauan Riau dan pegiat di PKBI

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *