Menjadi laki-laki sebagaimana yang diharapkan pasangan, merupakan cita-cita tersendiri setiap laki-laki, baik sebelum melangsungkan pernikahan maupun sesudahnya. Metode yang dilakukanpun beragam, mulai dari panggilan mesra terhadap lawan jenisnya, sedikit lebay dengan maksud humoris, hingga memperhatikan apakah pasangannya sudah makan, dan menjalankan ritual ibadah yang biasa dilakukan, serta hal lainnya. Hal tersebut dilakukan karena bermuara pada keinginan agar ia menjadi laki-laki sebagaimana yang diharapan pasangannya. Tetapi pada beberapa kasus, perilaku positif di atas dilakukan hanya ketika proses pendekatan terhadap seorang perempuan, dan perilaku positif tersebut benar-benar dilakukan secara massif sebagai strategi untuk mendapatkan sang pujaan hati. Namun ketika ia telah mendapatkan apa yang diinginkan, maka akan terjadi perubahan sikap, baik secara verbal maupun non verbal.
Hal Tersebut di atas terjadi pada keluarga yang ada di Lombok Timur secara umum dan terutama pada keluarga Buruh Migran Indonesia (BMI) yang notabenenya rentan mengalami disharmonisasi keluarga. Ketidakharominisan terjadi karena dalam relasi rumah tangga masih belum ditradisikannya rapat keluarga dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, perempuan diposisikan hanya sebagai objek penerima keputusan, serta diperparah dengan buruknya komunikasi membuat relasi semakin tidak adil. Melihat persoalan tersebut, Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) terbersit ide untuk menginisiasi konsep ideal tentang laki-laki, terutama pada keluarga BMI dengan memperkenalkan konsep berbagi peran dengan pasangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, serta membuka akses bagi pasangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Laki-laki dalam tradisi Sasak (NTB) dikenal dengan Istilah “Prame,” yakni laki-laki yang sudah akhil baligh (dewasa), sudah bisa mencari uang sendiri, dan oleh ikatan sosialnya sudah mendapatkan izin untuk “Midang/berkunjung ke rumah perempuan dengan motif berpacaran”. Salah satu kebanggaan dari Prame adalah ketika seorang laki-laki telah memiliki pasangan, maka sesegera mungkin ia akan berumah tangga. Tetapi sayangnya ketika memutuskan untuk berumah tangga tidak mempertimbangkan kesiapan, baik kesiapan secara materil maupun mental. Berumah tangga tanpa persiapan juga diperparah dengan tradisi budaya patriarki, di mana sejak kecil perempuan dibentuk untuk mengurusi sektor domestik (rumah tangga) saja, tidak memikirkan beban ekonomi karena merasa sudah ditanggung oleh prame, dan ternyata hal tersebut (bertanggung jawab terhadap keuangan rumah tangga), telah membuat banyak Prame Sasak stres dan frustasi karena mereka merasa semakin hari biaya hidup semakin tinggi, lapangan pekerjaan yang minim, dan hal tersebut berimbas pada keharmonisan keluarganya. Tetapi begitu, walau dengan kondisi tersebut di atas, faktanya masih ada Kelakuan Prame Sasak yang “Beler”, atau suka melirik perempuan lain.
Melalui program keterlibatan laki-laki yang dilakukan oleh ADBMI, para Prame Sasak didorong untuk mengingatkan kembali cita-cita idealnya sebagai Prame yang sesungguhnya (Idaman), Prame yang tidak hanya menghargai pekerjaan dan penghasilannya sendiri, akan tetapi juga menghargai peran dan posisi pasangannya, memberikan kesempatan untuk berkembang memajukan karirnya, serta tidak sungkan-sungkan melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci, memasak, menyapu, terlibat dalam pengengasuhan anak. Untuk mendorong terjadinya perubahan sebagaimana di atas diperlukan waktu dan proses yang cukup lama, untuk itu sebelum terjadinya perubahan perilaku yang lebh besar, harus dimulai dari hal-hal yang kecil agar kedepannya Prame-prame idaman mampu menunjukkan kepada masyarakat luas atas keterlibatan mereka dalam pekerjaan rumah tangga sehari-hari.
Kini, upaya yang dilakukan ADMBI dalam program keterlibatan laki-laki ialah adanya kelompok Prame Bersih Lingkungan Seharian, disingkat menjadi “Prame Berlian”, terdapat di 2 Desa, yakni Desa Labuhan Lombok, dan Desa Sukarara. Adapun mereka yang terlibat dalam aktivitas Prame Berlian, terdiri dari 30 orang laki-laki mantan, serta keluarga BMI di masing-masing desa tersebut, dan mereka menyuarakan konsep Prame Idaman dengan melakukan hal sederhana, yakni menyapu halaman rumahnya secara rutin setiap harinya, memberikan contoh kepada Prame-prame lain, bahwa pekerjaan rumah tanggapun bisa dilakukan oleh para Prame, dan menjelaskan bahwa pekerjaan domestik bukan hanya menjadi kewajiban perempuan, dan manfaat dari keterlibatan laki-laki dalam kerja domestik adalah upaya untuk mempertahankan harmonisasi keluarga, dan sekaligus sebagai sarana kampanye yang solid dan nyata untuk masyarakat sekitarnya.
Kedepan, Prame Berlian ini diharapkan mampu menjadi inspirasi untuk mendorong kesadaran yang lebih maju, khususnya bagi keluarga BMI di NTB, di mana keterlibatan perempuan dalam rapat di keluarga maupun di luar, peran dan posisi strategis bagi perempuan, akses seluas-luasnya untuk mengelola keuangan keluarga dengan membangun usaha mikro, sudah tidak lagi hanya sebatas wacana belaka, tetapi benar-benar dapat diwujudkan.
Penulis: Ilafi Ahyar, penggiat di Advokasi Buruh Migran Indonesia
Tags ADBMI Buruh Migran Lombok NTB pelibatan laki-laki
Check Also
LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA
LAKI-LAKI YANG “DILATIH” MEMPERKOSA Oleh: Nur Hasyim (Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, Direktur C-PolSis FISIP …
Terus, solusi untuk prame yg stress krn beban hidup yg diutarakan diatas, seperti apa?