Kejujuran dan Perubahan

Berkata jujur dan berperilaku jujur merupakan hal berani yang selalu kita harapkan, tetapi benarkah kita sudah menjadi individu yang jujur? Mungkin sudah atau mungkin juga belum, tentu hanya diri kita yang mengetahuinya. Berbicara tentang kejujuran tentu semakin menarik karena tidak mudah untuk dilakukan, terutama ketika itu terkait dengan pengalaman buruk yang menimpa diri kita. Selain itu, kita akan semakin sulit untuk jujur ketika pengalaman tersebut terkait pelanggaran nilai atau norma yang ada di masyarakat dan berujung pada penghakiman sosial seperti dikucilkan dari pergaulan. Namun bagaimana jika seseorang itu jujur akan pelanggaran yang telah dilakukannya kemudian berjanji dan bersedia untuk berubah? Apa yang akan kita lakukan?
Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam sebuah diskusi dengan beberapa remaja laki-laki.  Diskusi ini berlangsung selama 4 hari. Banyak hal yang kami diskusikan antara lain tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki. Bagaimana harapan lingkungan/budaya terhadap diri kita sebagai remaja dan terutama sebagai seorang laki-laki. Kemudian kami juga membahas tentang pengalaman hidup dalam berpasangan/berpacaran. Semua itu terkait dengan pengalaman hidup yang telah kita jalani.
Di awal pertemuan menjadi moment yang luar biasa, karena peserta berasal dari desa dan daerah yang berbeda, dimana tak satu orang pun saling mengenal, yang nampak hanyalah senyuman ramah. Senyuman itu mulai pecah menjadi tawa lepas dan candaan ketika kami mulai berkenalan satu sama lain. Kemudian dari sana semua berawal ketika kami membuat sebuah aturan yang disepakati bersama sehingga kita semua dapat terbuka dan menghargai satu sama lain. Selain itu, kesepakatan tersebut bertuliskan tentang kewajiban kita untuk respect dan peduli terhadap perbedaan.
Diskusi yang kami lakukan penuh dengan canda dan tawa karena diskusinya lebih banyak menggunakan permainan atau game. Kami bermain “slip, klap, snap” untuk menyebutkan ciri laki-laki dan perempuan baik ciri fisik, sifat maupun pekerjaannya. Kemudian melalui permainan itu kami mulai membahas bersama-sama tentang apa saja yang sebenarnya membedakan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian kami mencoba merefleksikan bersama, sebenarnya apa yang diharapkan lingkungan kepada kita dan siapa saja yang dirugikan oleh lingkungan tersebut.
Diskusi tersebut menjadi pengalaman tak terlupakan ketika masuk dalam sesi renungan dan refleksi. Sesi ini berlangsung pada malam hari, dalam keheningan yang ditemani dengan redupnya cahaya lampu. Kami semua memejamkan mata dan mulai menarik nafas perlahan dan dilakukan dengan berulang. Alunan musik intrumental menambah keheningan dan menumbuhkan suasana santai dan rileks. Setelah kondisi benar-benar santai saya mengajak peserta untuk kembali mengingat pengalaman terkait dengan materi yang sudah didiskusikan dan bagaimana dampaknya bagi hidup masing-masing. Kemudian kami membuka mata dan saya meminta peserta untuk mulai berbagi tentang pengalaman tersebut jika siap untuk dibagi, namun tidak masalah jika tidak siap untuk berbagi.
Sesaat yang berbicara dalam ruangan hanya jam dinding dengan detaknya, hingga salah satu peserta mengangkat tangan dan siap untuk bercerita. Dia mulai bercerita dengan mata sayu dan kening yang berkerut menampakkan sebuah kesedihan dan penyesalan. Dia bercerita tentang perilakunya yang selama ini terlibat dalam sebuah komunitas motor dan harus memenuhi nilai-nilai yang ada seperti kuat, berani berkelahi, keras, tidak cengeng dan maskulin. Selain itu, dia juga bercerita tentang pengalamannya dengan pasangan yang telah berhubungan seks hingga pasangannya hamil dan kemudian dia meminta pasangannya untuk menggugurkan kandungannya. Hal itu mengejutkan bagi saya, karena untuk mengungkapkan pengalaman itu dibutuhkan keberanian yang luar biasa. Setelah mengungkapkan hal tersebut, dia menundukkan kepala dan tampak air mengalir dari matanya. Kemudian suasana hening untuk sesaat hingga ada peserta lain yang bersedia menceritakan pengalamannya. Namun peserta yang telah bercerita sebelumnya keluar meninggalkan forum, dan itu cukup mengkhawatirkan sehingga saya meminta salah satu pendampingnya untuk melihat keadaannya. Sesi berbagi pun tetap berlanjut. Tidak semua peserta bersedia bercerita. Meskipun demikian, para peserta tertunduk dan beberapa dari mereka mengusap air di matanya. Sesi yang sangat menguras emosi ini kembali dilanjutkan dengan mengulang proses seperti di awal tadi, yaitu membuat diri menjadi rileks dengan menutup mata, menarik nafas dalam-dalam, dilakukan pelan-pelan dan berulang. Setelah itu kami menutupnya dengan membayangkan harapan di masa depan. Harapan-harapan tersebut kami tuliskan dan kami tempelkan di sebuah pohon yang ada di luar ruangan sebagai simbol bahwa harapan itu akan terus berkembang.
Sesi yang menguras emosi itu memang telah selesai, tapi apa yang diungkapkan oleh salah satu peserta tentang pengalamannya seperti sesuatu yang luar biasa dan butuh keberanian besar. Saya bersama fasilitator lainnya dan pendamping peserta bersepakat bahwa untuk mengungkapkan hal tersebut dibutuhkan keberanian yang besar. Terutama dalam forum yang dimana mereka dituntut untuk menjadi contoh bagi lingkungan sekitarnya.
Secara pribadi saya tidak kaget dan tidak heran dengan perilaku remaja dalam berpasangan, karena banyak pengaruh dan banyak faktor yang menjadi penyebab mereka berperilaku. Salah satunya adalah kebanggaan mereka ketika telah berhubungan seks dengan pasangannya. Bahkan beberapa teman laki-laki saya pernah bercerita dengan bercanda dan penuh kebanggaan bahwa dia telaah menghamili pasangannya kemudian dia memilih berpisah, dan setelah itu masih tetap melakukan hubungan seks dengan pasangan-pasangan berikutnya. Selain itu, teman perempuan saya juga pernah bercerita bahwa pasangannya telah menghamili dia dan tak mau bertanggung jawab sehingga dia menggugurkan kandungannya karena dia malu dengan orang tuanya yang merupakan salah satu orang dengan status sosial tinggi di masyarakat.
Kasus ini nampak sama yaitu hubungan pacaran dan berujung kehamilan yang tdak dikehendaki, tetapi ada hal yang berbeda dan mungkin sulit dilakukan yaitu mengakui kesalahan dan mau merubah menjadi orang yang lebih baik lagi, bahkan siap menjadi role model untuk laki-laki yang mampu menghargai orang lain dan tidak melakukan kekerasan terutama pada perempuan atau pasangannya nanti. Hal ini tentu membutuhkan kesiapan dan keberanian lebih, karena dia akan berhadapan dengan lingkungan yang bisa jadi tidak menerima kehadirannya dan memberikan label tertentu (buruk) pada dirinya.
Kesiapan dan keberanian tersebut membuat saya makin belajar dan kagum dengan kepribadian peserta tersebut. Meski demikian saya merasa dia tetap harus didampingi agar kepribadiannya tetap berada pada jalur yang mampu menghargai orang lain dan tentunya tidak melakukan kekerasan kembali kepada pasangan berikutnya. Karena kita pasti akan kembali pada tantangan terbesar kita yaitu tentang faktor terbesar yang membentuk kepribadian individu yaitu budaya patriakh.

About Haryo Widodo

pegiat Aliansi Laki-laki Baru dan staf Rifka Annisa- Jogja

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *