Suatu sore, seorang teman membahas soal Mulan Jameela yang meminta maaf di salah satu acara televisi kepada Maia akan kejadian mereka di masa lalu. Obrolan yang terjadi di sela-sela menunggu nasi goreng kami jadi tersebut membawa kami dalam sebuah pemikiran tentang pelekatan label antara perempuan dan laki-laki yang sering kali menjadi tidak adil.
“Kenapa nggak ada laki-laki penggoda? Kenapa yang ada selalu perempuan penggoda?” tanya teman saya.
“Coba deh lo liat di sinetron selalu yang dibahas soal perempuan yang ngerebut suami orang. Atau juga kalo misal cowok lo yang selingkuh yang selalu disalahin adalah cewek yang jadi selingkuhan. Bisa aja yang mulai itu cowok lo. Tapi kenapa selalu cewek yang dapet label buruk kayak gitu?” lanjutnya.
“Sebagai feminis kita harus mikirin ini,” tambahnya yang langsung saya tolak mentah-mentah.
Sampai saat ini saya nggak mau menyebut dan disebut feminis. Alasannya karena saya sendiri nggak paham betul soal feminis. Daripada salah ya mending tidak usah melekatkan label tersebut kepada diriku.
Kembali lagi perihal label buruk yang lebih sering melekat pada perempuan dibandingkan laki-laki. Pernyataan dari teman saya itu pun sampai sekarang masih melekat di kepala saya. Kadang muncul lagi dan saya pikirkan, meski tidak pernah sampai tuntas saya pikirkan hingga membuahkan hasil.
Tapi lewat tulisan ini, saya mengajak kamu untuk sama-sama berpikir hal tersebut. Bagaimana perempuan bisa mendapatkan label negatif di satu sisi ada laki-laki yang juga melakukan hal yang sama namun tidak dilekatkan label yang sama?
Pertanyaan Lainnya
Selain pelabelan negatif tersebut, ada satu hal lagi yang mengganggu kepala saya. Hal tersebut masih seputar perlakukan tidak adil masyarakat pada salah satu jenis kelamin.
Beberapa waktu lalu, di Facebook beredar beberapa video yang membahas mengenai reaksi orang melihat kekerasaan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap pererempuan di tempat umum. Mayoritas, orang-orang akan segera bertindak, bersimpati dan membela perempuan yang tengah mengalami kekerasan di tempat umum.
Namun hal yang sebaliknya terjadi, Ketika seorang perempuan melakukan kekerasaan terhadap laki-laki, masyarakat malah acuh dan beberapa justru menjadi ‘kompor’ dengan memanasi dan membantu perempuan itu untuk melakukan kekerasan terhadap laki-laki.
Dalam hal ini tidak ada seorangpun berusaha untuk mengetahui latar belakang kekerasan baik yang menimpa perempuan ataupun laki-laki. Reaksi spontan itu menunjukan bahwa tidak ada satupun yang berusaha melerai atau menenangkan kedua belah pihak dan kemudian mendengarkan duduk perkara yang membuat kekerasan tersebut terjadi.
Doktrin Negatif
Sadar atau tidak, kedua cerita di atas menunjukan ada doktrin yang tertanam dalam pikiran kita. Doktrin tersebut semakin melekat erat dan tidak banyak yang berusaha untuk mendobraknya. Banyak orang memilih untuk menerima doktrin tersebut mentah-mentah sehingga muncul pelabelan negatif yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan gender.
Sebagian orang terdoktrin bahwa perempuan lah akar dari masalah sebuah hubungan. Jika ada laki-laki selingkuh maka yang salah adalah perempuan yang jadi selingkuhannya. Perempuan tersebut akan mendapatkan label perempuan gatel, perempuan perebut kekasih orang dan sebagainya.
Sebagian orang juga terdoktrin bahwa perempuan yang dipukul laki-laki harus dibela entah dia salah atau benar. Begitu juga hal sebaliknya, jika laki-laki yang dipukuli oleh perempuan maka dia pantas menerimanya, apapun latar belakang kekerasan tersebut.
Namun, atas nama kemanusiaan, contoh-contoh ketidakadilan ini tidak sepatutnya terjadi. Perempuan berhak mendapatkan label yang baik sebagaimana label negatif tidak begitu sering dilekatkan pada laki-laki. Begitu juga pada kasus kedua. Laki-laki berhak untuk tidak dipukuli dalam konteks kekerasaan ataupun lainnya sebagaimana perempuan tidak boleh dipukul atau dianiaya atas alasan apapun.
Begitu tulisan ini akan saya akhiri, saya menemukan satu titik di mana kita semua harus berangkat. Mungkin tidak perlu jauh-jauh menggunakan berbagai teori feminis untuk melihat duduk persoalannya. Kita hanya perlu berjalan atas dan untuk kemanusian dengan kerangka hak asasi manusia.
Laki-laki ataupun perempuan memiliki hak yang sama sebagai makhluk hidup. Jadi, keadilan yang seharusnya adalah keadilan atas nama manusia apapun jenis kelaminnya.