Kontroversi Homoseksualitas

Beberapa hari terakhir pemberitaan penolakan sekelompok orang terhadap acara diskusi yang menghadirkan Irshad Manji, seorang jurnalis asal Kanada, mewarnai pemberitaan media. Peristiwa pertama terjadi di Solo ketika sekelompok orang memboikot dan memaksa pembatalan acara diskusi dan peluncuran buku Irshad Manji di toko buku Gramedia, Solo. Pembubaran diskusi dengan pembicara Irshad Manji juga terjadi di Salihara, Jakarta, 4 Mei lalu. Yang menarik dari peristiwa ini adalah pembatalan dan pembubaran diskusi bukan karena tema diskusi atau isi buku yang diluncurkan akan tetapi karena pembicaranya yang dikenal sebagai feminis muslim liberal dan lesbian.
Kontroversi tentang homoseksualitas sepertinya masih akan terus terjadi di Indonesia, lebih-lebih dengan melihat dua kecenderungan yang saling bertolak belakang dalam beberapa waktu terakhir. Kecenderungan pertama adalah semakin populer dan menguatnya gerakan hak asasi manusia yang mengusung isu penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia, termasuk di dalamnya hak seksual. Sementara pada sisi lain, menguatnya juga fundamentalisme agama yang mengusung isu puritanisme (pemurnian) agama yang memposisikan diri berseberangan dengan segala paham yang dianggap dari Barat.
Kelompok pertama berpendapat bahwa setiap orang memiliki hak-hak dasar yang dilindungi oleh Konstitusi dan undang-undang serta dijamin oleh Deklarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia dan konvensi HAM lainnya. Menurut kelompok ini di antara hak dasar tersebut adalah hak seksual yang meliputi hak untuk menentukan identitas seksual, mengekspresikan dan menikmati aktivitas seksual. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia maka hak dasar ini bersifat melekat pada setiap orang yang dilahirkan tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit, keyakinan, dan seterusnya. Berlaku universal atau tidak terbatas tempat dan waktu. Serta hak dasar ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Maka tidak boleh meniadakan hak tertentu di antara hak-hak dasar yang ada. Karena meniadakan satu hak berarti melanggar hak asasi secara keseluruhan.
Sebagai hak dasar yang melekat, hak asasi manusia mewajibkan negara untuk memenuhi, melindungi dan mempromosikan hak tersebut. Negara dapat dituntut jika abai terhadap pemenuhan dan perlindungan hak dasar tersebut. Maka ketika negara saja wajib melindungi, memenuhi dan mempromosikan maka tidak ada satu pihakpun yang memiliki kewenangan untuk mencabut hak dasar tersebut.
Kelompok kedua berpendapat bahwa homoseksualitas adalah sebuah abnormalitas karena menurut kelompok ini relasi seksual yang normal adalah relasi heteroseksual. Homoseksualitas juga dianggap sebagai praktek yang bertentangan dengan agama karena relasi seksual yang benar menurut agama adalah heteroseksual. Dan biasanya kelompok ini mendasarkan pandangannya pada kisah kaum nabi-nabi yang mendapatkan azab dari tuhan karena melakukan praktek homoseksual.
Alasan lain yang sering diungkapkan bahwa homoseksualitas adalah praktek-prakek dari dunia Barat. Dan pemberian kebebasan terhadap praktek homoseksualitas merupakan upaya pembaratan (westernisasi). Oleh karena itu, pandangan yang membolehkan homoseksualitas dianggap membahayakan budaya Indonesia sebagai budaya Timur.
Jika dilakukan analisis yang lebih mendalam pertarungan dua arus besar tersebut sebenarnya adalah pertarungan antara suporter ideologi patriarkhi dan oposan ideologi patriarkhi. Mengapa demikian, karena patriarkhi memiliki andil besar dalam keseluruhan proses konstruksi identitas manusia di sebagian besar muka bumi. Patriarkhi yang memiliki andil memilah secara tegas peran sosial laki-laki dan perempuan. Patriarkhi juga memiliki andil dalam sosialisasi lembaga perkawinan. Patriarkhi juga memiliki andil besar dalam membentuk norma relasi seksual yang dianggap benar, yakni norma heteroseksual. Keseluruhan dikotomisasi dan pemberlakuan norma heteroseksual diperlukan untuk melanggengkan ideologi patriarkhi. Sebuah idelogi yang meletakkan laki-laki dalam pusat kekuasaan.
Ketika heteroseksual dibakukan sebagai norma yang berlaku maka segala bentuk relasi di luar heteroseksual dianggap sebagai abnormalitas. Pembenaran melalui agama, adat istiadat, bahkan ilmu pengetahuan (misalnya ilmu psikologi) yang dilakukan oleh kelompok pendukung patriarkhi adalah menjadi bagian dari skenario pelestarian ideologi patriarkhi.
Sementara kelompok yang beroposisi terhadap patriarkhi mensinyalir bahwa dikotomisasi peran sosial laki-laki dan perempuan serta pemberlakuan norma heteroseksual melahirkan ketidakadilan dan kekerasan terhadap kelompok tertentu. Patriarkhi telah melakukan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap abnormal. Patriarkhi juga menyebabkan terjadinya stereotip negatif terhadap mereka yang berbeda dan yang paling serius adalah patriarkhi telah menyebabkan kelompok yang dianggap abnormal rentan menjadi korban berbagai bentuk kekerasan baik psikis, fisik, bahkan seksual.
Kedua pandangan tersebut akan terus berkompetisi mengisi ruang publik kita. Namun, persoalannya adalah bagaimana menciptakan ruang dialog yang sehat tanpa intimidasi dan kekerasan. Atas persoalan ini negara memiliki peran penting untuk memastikan kebebasan berpendapat bagi warga negara tetap terus terjaga sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara ini.  Ketika ruang dialog yang kondusif dapat diciptakan oleh negara selanjutnya publik akan dapat mencerna dua wacana tersebut dan selanjutnya dapat menentukan posisinya dengan bebas tanpa rasa takut. Bukankah situasi yang seperti ini yang diidealkan oleh demokrasi?

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *