Koboi Palmerah

Koboi Palmerah mendadak populer seiring beredarnya video yang menayangkan aksi seorang tentara berpangkat kapten yang sedang bersitegang dengan pengedara motor di Palmerah. Dan laiknya koboi, sang kapten mengeluarkan senjata di tengah keramaian. Meskipun belakangan diketahui bahwa senjata yang digunakan adalah airsoft gun, aksi tersebut telah menebarkan rasa takut.
Menariknya, berbagai media menyebut aksi tersebut sebagai aksi koboi. Penyebutan ini membuat peristiwa yang syarat kekerasan itu terasa biasa (lumrah), bahkan cenderung diberi nilai. Mengapa terasa memberi nilai? Karena, dalam dunia laki-laki, koboi cenderung berkonotasi positif. Koboi identik dengan keberanian dan, mungkin, kepahlawanan.
Membincang Koboi Palmerah menjadi penting untuk membantu mengurai persoalan-persoalan kekerasan lainnya. Sebut saja kekerasan yang melibatkan geng motor beberapa waktu lalu yang diduga melibatkan kesatuan militer tertentu. Kedua peristiwa tersebut memiliki kemiripan. Di antaranya; melibatkan laki-laki, terkait dengan unsur militer, dan kekerasan.
Ada tiga unsur penting untuk diurai dalam persoalan ini. Pertama, laki-laki. Perbincangan tentang laki-laki untuk konteks Indonesia masih sangat terbatas sehingga tidak ada penjelasan yang memadai mengapa laki-laki banyak terlibat dalam berbagai peristiwa kekerasan di Indonesia. Tak berlebihan situasi ini membuat laki-laki masih menjadi misteri.
Laki-laki dalam konstruksi budaya patriarki memiliki kedudukan istimewa yang tidak dimiliki oleh lawan jenisnya, perempuan. Apapun warna kulit, apapun kelas sosial, apapun keyakinannya, jika terlahir laki-laki maka otomatis akan mendapatkan privilese dan kekuasaan di dalam masyarakat.
Patriarkhi berkepentingan untuk membentuk konsep laki-laki yang dapat menopangnya sehingga konsep laki-laki yang dilahirkan adalah konsep laki-laki yang mendukung patriarkhi. Hal ini dapat dikenali dari arus utama narasi tentang laki-laki yang hidup di dalam masyarakat kita. Dominasi, superioritas, kekuatan dan kekerasan adalah di antara narasi tentang laki-laki yang populer. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai standar sehingga menjadi konsep laki-laki yang diterima dan terus menerus direproduksi. Laki-laki dengan kecenderungan lain seperti lebih suka berbagi, menghargai sesama, menyelesaikan masalah dengan non-kekerasan akan dinilai “tidak” laki-laki.
Konsep maskulinitas patriarkhis ini tidak saja menimbulkan masalah dalam relasi laki-laki dengan perempuan akan tetapi juga menimbulkan masalah di antara laki-laki sendiri. Maskulinitas patriarkhis membuat laki-laki berkompetisi dengan laki-laki lain untuk mendapatkan tempat yang terhormat yakni memiliki kekuasaan dan mendapatkan perlakuan istimewa. Konflik Koboi Palmerah dapat dilihat dari perspektif kompetisi laki-laki untuk mendapatkan kekuasaan dan previlese di jalanan. Perspektif ini juga dapat digunakan untuk melihat kasus geng motor. Bahwa penyerangan yang dilakukan oleh geng motor dapat dilihat sebagai cara untuk menunjukkan superioritas (baca: kekuasaan) satu kelompok atas kelompok yang lain.
Kedua, militerisme. Militerisme memiliki arti sebuah pandangan bahwa negara harus dikontrol dengan kekuatan militer dan harus siap dengan penggunaan kekuatan militer secara agresif untuk mempertahankan atau memperjuangkan kepentingan negara. Dengan mengacu pada rumusan pengertian tersebut maka secara inheren militerisme mengusung nilai-nilai maskulinitas patriarkhis, terutama terkait pandangan tentang pembenaran penggunaan kekuatan dan kekerasan untuk tujuan tertentu.
Proses-proses pendidikan militer adalah proses-proses menawarkan tentang kekuatan fisik, kedisiplinan, keberanian mengambil resiko, kemauan untuk menggunakan kekerasan. Temuan-temuan terkait dengan bullying pada lembaga-lembaga pendidikan yang mengadopsi pendidikan militer dapat dijadikan contoh kedekatan militerisme dengan nilai-nilai-nilai kekerasan.
Pendidikan militer juga menanamkan nilai-nilai bahwa militer adalah warga negara kelas satu dan mereka memiliki kedudukan superior dari masyarakat sipil. Dengan demikian militer melihat hubungan dengan sipil sebagai hubungan hirarkhis. Dalam relasi yang hirarkhis seperti ini setiap perlawanan dari kelompok inferior dinilai sebagai ancaman terhadap tatanan yang hirarkhis tersebut. Sikap Koboi Palmerah terhadap pengendara motor dapat dilihat dalam perspektif ini. Koboi Palmerah sedang melakukan upaya penertiban terhadap upaya yang menantang (challenging) kekuasaan dia serta untuk mempertahankan order (tatanan) yang hirarkhis.
Ketiga, kekerasan. Kekerasan adalah tindakan penyerangan baik fisik, psikis maupun seksual yang berakibat penderitaan fisik, psikis, seksual kepada korbannya. Maka apa yang dilakukan oleh Koboi Palmerah adalah bagian dari bentuk kekerasan berupa kekerasan psikis karena menebarkan rasa takut bagi korban atau bagi siapa saja yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Kekerasan biasanya terjadi dalam relasi yang tidak setara antara pelaku dan korban.. Kekerasan seringkali digunakan sebagai alat kelompok yang memiliki kekuasaan untuk menjaga tatanan yang ada. Sehingga kekerasan juga dapat disebut sebagai mekanisme untuk menjaga agar tatanan yang hirarkhis dan tidak adil tetap lestari.
Dengan demikian Koboi Palmerah adalah sebuah ilustrasi yang gamblang tentang keterkaitan nilai-nilai maskulinitas yang diyakini laki-laki, nilai-nilai militerisme dan kekerasan yang ketiganya berakar kuat pada ideologi patriarkhi.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *