Kebanyakan orang suka candaan, guruan atau lelucon makanya profesi pelawak, komedian atau yang lagi ngetren sekarang, komika, memiliki banyak penggemar atau fans yang tak kalah banyaknya dengan penyanyi, musisi, atau pemain peran. Selain itu, candaan disukai karena menghibur dan dapat membuat penikmatnya melepas tekanan dan beban hidup yang kian berat.
Candaan juga dapat digunakan sebagai media kritik atas situasi sosial poitik yang tidak adil, pemimpin yang mementingkan diri sendiri, serakah dan korup. Kritik dengan candaan ini unik karena kerap membuat mereka yang dikritik ikut bergelak meskipun ada juga yang tersinggung bahkan mengkriminalkan para pengritik meskipun dengan bercanda.
Candaan bagi sebagian orang tidak gampang karenanya sebagian orang menilai komedian kelas wahid adalah mereka yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata karena para penjaja tawa itu seringkali spontan, tak terduga dan tak biasa. Spontanitas dan kemampuan berpikir out of the box hanya dimiliki oleh mereka yang cemerlang dan salah satunya adalah komedian.
Karena sifatnya yang menghibur bercanda juga menjadi kebiasaan orang-orang kebanyakan. Motifnya kurang lebih sama; menghilangkan stress, untuk relaksasi, mengambil jeda, atau mengisi waktu luang. Namun bedanya candaan orang kebanyakan seringkali hanyalah meniru, mengulang, menambahi candaan yang umum meskipun ada di antaranya yang orisinal dan lucu tingkat dewa.
Era digital ternyata mempengaruhi produksi dan distribusi candaan. Candaan tak lagi menjadi monopoli pertunjukan komedi, teknologi photoshop dan applikasi mengolah gambar lainnya memungkinkan orang untuk memproduksi candaan dengan bentuk perpaduan gambar dan kata atau yang sering dikenal dengan meme. Saat ini meme menjadi produk candaan yang paling popular di jejaring sosial seperti twitter, facebook, whatsapp, BBM dan sebagainya.
Mengamati candaan di jejaring sosial ternyata ada pola yang umum atau mainstream. Dikatakan mainstream karena jenis candaan ini ditemukan hampir di sebagian besar kelompok atau group jejaring sosial. Baik group yang dibuat oleh karyawan kantor, alumni sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, kelompok hobi, warga RT, kelompok wali murid dan sebagainya memiliki kecenderungan yang sama yakni menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek candaan (baca: candaan seksis).
Candaan dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek candaan ini tidak hanya dalam kelompok atau group dengan anggota single sex (laki-laki saja ) tetapi juga mix sex (lak-laki dan perempuan). Dan yang menarik dalam kelompok campur secara seksual tersebut para penyalur candaan ini seringkali mengandaikan bahwa semua anggotanya adalah laki-laki atau menganggap anggota perempuan dalam group itu menikmati dan bahagia dengan candaan yang diunggah.
Bentuknya pun macam-macam di antara yang paling popular adalah candaan terkait dengan poligami dan fantasi seksual yang berupa gambar-gambar perempuan sensual yang menyampaikan pesan-pesan beragam namun kebanyakan kemasan pesannya terkait dengan pemuasaan hasrat seksual. Menilik masifnya dan seragamnya bentuk candaan ini serta melihat siapa pembuat, penyebar dan penikmat yang sebagian besar laki-laki, maka cukup beralasan mengaitkan candaan seksis ini dengan nilai-nilai seksualias yang umum di yakini oleh laki-laki.
Laki-laki memaknai relasi heteroseksual sebagai norma standar artinya hanya relasi laki-laki dan perempuan yang dibenarkan secara norma dan yang di luar relasi heteroseksual (homoseksualitas, biseksualitas) sebagai penyimpangan (deviance). Dan dalam relasi heteroseksual ini, laki-laki melihat dirinya sebagai subyek seksual dan sebaliknya melihat perempuan sebagai objek. Hubungan subyek-obyek ini tergambar jelas dalam candaan-candaan seksis.
Lebih lanjut, laki-laki tidak hanya melihat dirinya sebagai subyek seksual tapi mereka juga melihat dirinya sebagai conquer atau penakluk maka sebagian pengamat menyebutkan bahwa bagi laki-laki hubungan seksual sebagai medan perang (war). Dalam perspektif ini maka kita dapat memahami mengapa tema “berapa lama/ronde”, “dengan berapa perempuan”, “pakai kondom atau tidak” menjadi tema-tema candaan yang umum di kalangan laki-laki.
Ketika laki-laki memaknai dirinya sebagai subyek seksual, memaknai hubungan seksual sebagai penaklukan maka laki-laki memaknai pemenuhan hasrat seksual sebagai hak yang melekat pada dirinya (sexual entitlement) karenanya bagi laki-laki hubungan seksual lebih merupakan hubungan kekuasaan daripada intimacy (keintiman). Bercanda tentang seks atau yang menjadikan seksualitas perempuan sebagai obyek candaan merupakan indikasi bahwa hubungan seksual bagi laki-laki bukanlah intimacy sehingga kita dapat mentertawakannya, menormalisasi affair dan ketidaksetiaan meskipun hanya dalam candaan. Benarlah kata teman saya bahwa hal sepele yang dapat menggambarkan sejauhmana kita menghargai dan menghormati perempuan adalah joke atau candaan. Jadi masihkah kita akan bercanda seksis atau bercanda yang lebih cerdas?
Tags Canda Komedi Seks seksualitas
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …