Abstrak
Mengapa pemerintah, sebagai representasi negara, tampak tidak terlalu bertindak serius dalam persoalan kekerasan seksual? Mengapa negara lebih sering memilih diam atau memilih mengambil sikap “instan” dengan memberi tanggapan seadanya atau, jikapun ada upaya yang agak sistematis, semacam penghukuman kebiri bagi pelaku, upaya tersebut tidak menyentuh struktur dan ideologi patriarkisme sebagai akar persoalan kekerasan seksual?
Tulisan ini mendiskusikan bagaimana politik seksualitas yang dipropagandakan negara semasa rezim Orde Baru memberi pengaruh pada sikap yang kurang respons oleh negara dan masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
Kata kunci: politik seksualitas, kekerasan seksual, pengabaian negara
Pendahuluan
Kekerasan seksual di Indonesia saat ini telah menjadi persoalan serius yang sangat meresahkan. Korban kekerasan seksual begitu beragam, dari orang dewasa hingga anak-anak, bahkan balita. Tempat kejadian juga tidak kalah beragam, dari tempat umum, angkutan umum, rumah hingga sekolah dan masjid atau musala.
Sementara kekerasan seksual menunjukkan situasi darurat, kita melihat negara yang tidak bertindak responsif dalam menyikapi persoalan ini.
Upaya paling terlihat oleh negara dalam melawan kekerasan seksual berupa rencana membuat sebuah peraturan untuk memberi hukuman kebiri pada pelaku kekerasan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Sosial menjadi dua lembaga negara paling aktif menyuarakan dan mengusahakan pemberlakuan hukum kebiri ini.
Selain upaya penghukuman ini, saya tidak menemukan upaya sistematis lain dari negara untuk menghentikan dan menghapus kekerasan seksual.
Setelah perjuangan yang cukup panjang, saat ini, Rancangan Undang Undang Kekerasan Seksual sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2015-2019. Kekerasan seksual yang sudah menunjukkan situasi darurat sekalipun tidak mendorong keinginan kuat negara untuk segara mengesahkan produk hukum yang lebih komprehensif terkait upaya penghapusan kekerasan seksual.
Dalam tulisan ini, saya ingin mendiskusikan sikap kurang responsif negara bahkan permisif terkait kekerasan seksual. Mengapa negara seakan-akan tidak menganggap serius persoalan kekerasan seksual?
Saya tertarik menganalisis dan memahami politik gender dan seksualitas yang saya pandang sebagai salah satu faktor di balik sikap negara yang memilih mempromosikan jalan seperti penghukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual daripada upaya yang lebih sistematis menyentuh struktur patriarki.
Dalam tulisan ini, saya juga mendiskusikan bagaimana politik seksualitas yang dibangun semasa rezim Orde Baru melahirkan dua kategorisasi perempuan yang saling berlawanan.
Pertama, perempuan baik-baik yang menjalankan peran dan tanggung jawab tradisional sebagai ibu (mother), mendidik anak-anak, membekali kekuatan moral bagi generasi muda, menjadi pilar bagi upaya negara melawan kekerasan seksual yang dinilai sebagai persoalan moralitas.
Kedua, perempuan pembangkang, perusak norma dan tatanan sosial-budaya bangsa, perempuan pelacur (whore), yang mengabaikan tanggung jawab membangun moralitas bangsa dan menjadi sumber malapetaka, termasuk terkait kekerasan seksual.
Dalam politik seksualitas yang demikian, negara bisa lepas tangan terhadap berbagai kasus kekerasan seksual dan lebih memilih melempar tanggung jawab pada perempuan yang sesungguhnya merupakan kelompok rentan kekerasan seksual.
Memahami Konsep: Mengapa Masyarakat (dan Negara) Sering Memilih Diam terhadap Kekerasan Seksual?
Dalam subjudul ini, saya ingin mendiskusikan beberapa konsep dalam studi feminisme yang saya pandang penting untuk memahami mengapa seringkali masyarakat dan negara lebih sering menampilkan sikap yang tidak responsif ketika berhadapan dengan persoalan kekerasan seksual?
Dalam pandangan saya, ini tidak terlepas dari pola pikir yang melihat kekerasan seksual sebagai risiko dalam suatu relasi kekuasaan patriarkal di antara pelaku dan korban kekerasan seksual ini. Bagaimana pandangan ini terbentuk? Bagaimana akhirnya pandangan ini berpengaruh pada sikap permisif masyakarakat dan negara?
Naturalisasi relasi kekuasaan yang timpang di antara pelaku dan korban, yang menempatkan kekerasan seksual sebagai risiko bagi kelompok lemah merupakan salah satu sumber konseptual di balik terbentuknya sikap abai bahkan permisif terhadap kekerasan seksual ini.
Judith A Dilorio,mengutip Jeffrey Weeks (1986, 1989) dalam Feminist Frontiers II Rethinking Sex, Gender, and Society, menyatakan laki-laki mendapatkan sosialisasi dari lingkungan melalui berbagai lembaga sosial tentang fantasi seksual, membangun cara berpikir tentang hubungan seksual sebagai kegiatan yang paling menyenangkan dan perlu pemuasan sehingga, bagi laki-laki, menjadi hal biasa dan normal bahkan dianggap alamiah untuk mencari objek pemuasan.
Sosialisasi ini membentuk pola pikir lain jika laki-laki memiliki posisi istimewa, posisi kekuasaan, dalam hubungan seksual yang diberi “kewenangan” untuk menjadikan mereka yang ada dalam posisi sebagai representasi yang lemah seperti perempuan dan anak-anak sebagai objek kekuasaannya.
Dalam dunia yang didominasi heteronormativitas, laki-laki menjadi hyper-heterosexual merupakan hal lumrah, diterima secara wajar sebagai ekspresi maskulinitasnya. Laki-laki mendapat otorisasi sosial dari masyarakat untuk menunjukkan kejantanan dan keperkasaannya dengan menyalurkan hasrat seksnya tanpa rasa malu dan tabu.
Perempuan berada dalam posisi sebaliknya. Ekspresi seksual mereka dibatasi oleh berbagai bentuk tabu, termasuk untuk membicarakan pengalaman hubungan seks mereka. Perempuan yang bersikap sama dengan laki-laki akan dicap tidak sesuai kodrat atau melanggar norma/ aturan.
Aturan mana yang “dilanggarnya” tidak pernah jelas karena aturan yang dimaksud bukan aturan tertulis tapi merupakan konsensus bersama atau “kontrak sosial” dalam masyarakat.
Carole Pateman (1988) mengenalkan konsep kontrak seksual (sexual contract) untuk mengkritik gerakan hak-hak sipil dan politik yang menghasilkan kontrak sosial (social contract) sebagai gerakan patriarkal untuk melestarikan keistimewaan posisi laki-laki untuk berkuasa atas perempuan.
Sejarah kontrak seksual adalah sejarah hubungan heteroseksual dan perempuan menjadi makhluk seksual. Sejarah kontrak seksual yang patriarkal inilah yang kemudian memberikan penjelasan tentang mekanisme sosial di mana laki-laki diizinkan secara sosial untuk meminta “hak” atas akses seksual terhadap tubuh perempuan dan hak untuk mempunyai otoritas terhadap penggunaan tubuh perempuan.
Salah satu hasil dari sejarah kontrak sosial yang patriarkal ini dalam bentuk yang paling miris dan ironis adalah penjualan tubuh perempuan sebagai komoditas dalam pasar kapitalisme di mana prostitusi menjadi salah satu primadona industri kapitalis.
Dengan kontrak sosial yang patriarkal, aturan yang ada adalah aturan yang didasarkan pada kepentingan laki-laki dengan nilai-nilai dan perspektif maskulinitasnya. Bila perempuan menjadi objek seks yang pasif, maka hasrat dan gairah seks laki-laki dikonstruksi sebagai sesuatu yang selalu aktif dan susah dibendung.
Perempuan yang secara struktural diposisikan sebagai kelompok lemah, dan rentan, baik secara fisik, psikologis, sosial, ekonomi maupun seksual berada dalam situasi rentan. Kerentanan perempuan secara seksual yang lahir dari pandangan bahwa tubuh perempuan secara alamiah membangkitkan hasrat seksual laki-laki menyebabkan perempuan rentan terhadap kekerasan/serangan seksual.
Laki-laki bisa kapan saja menjadi predator seksual ketika mereka menganggap kebutuhan seksualnya memuncak atau merasa perlu disalurkan. Tubuh perempuan yang mempunyai vagina dan payudara dikonstruksi sebagai “kelemahan” perempuan yang memaksa mereka menutupi area tersebut agar tidak mengundang hasrat seksual laki-laki. Jika tidak menutupi “kelemahannya” itu, kekerasan seksual dipahami sebagai risiko yang harus ditanggungnya.
Dalam paradigma ini, perempuan menjadi target kontrol sosial, perlu terus dimonitor agar bisa selalu menjaga tubuhnya tetap suci (virgin). Laki-laki tidak pernah dikenakan aturan atau norma yang mengontrol mereka untuk tetap perjaka sebelum menikah. Sharyn Graham Davies (2015) menyebut performative regulation dan village biopower sebagai alat kontrol sosial untuk mengawasi (surveil) bagaimana perempuan mengekspresikan seksualitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari, Davies menunjuk konstruksi malu (shame) menjadi alat pengatur paling berkuasa di Indonesia.
Menurut Monahan (2011), surveillance adalah monitoring yang sistematis untuk mengatur perilaku masyarakat yang melibatkan penggunaan kuasa/kekuasaan dan hubungan performance dari hubungan kuasa tersebut. Davies menjelaskan, seringkali pengawasan ini diasosiasikan dengan kekuasaan institusional dari pemerintah, pihak keamanan seperti polisi dan hansip untuk konteks Indonesia tetapi juga memberikan kuasa kepada peers, tetangga, audiens.
Norma sosial diciptakan untuk mengontrol dan membelenggu seksualitas dan tubuh perempuan agar perempuan dapat ditundukkan dengan mudah, agar perempuan tetap berada dalam dominasi laki-laki. Penciptaan dan penyebaran norma-norma sosial kemudian dilanggengkan melalui pembentukan mekanisme kontrol mulai dari hukuman formal yang disahkan melalui hukum dan juga sanksi informal yang diterapkan dalam institusi/lembaga, masyarakat, dan keluarga.
Lisa Maher (1992) dalam The Criminalization of a Woman’s Body menyatakan, negara mempunyai peran penting dalam mengonstruksi dan menyebarluaskan ideologi perempuan sebagai ibu. Dengan mengutip Lasch, Maher menjelaskan posisi perempuan dalam budaya Barat bahwa pembentukan keluarga diarahkan sebagai fondasi model untuk mengatur dan mengontrol perempuan.
Mengacu kepada model tersebut, negara seolah-olah mendapatkan otoritas untuk membuat keluarga yang ideal di mana masyarakat diminta untuk patuh dan mengikuti dan jika tidak, maka mereka akan dianggap melakukan penyimpangan terhadap model yang dibuat negara tadi sehingga memunculkan dua kubu yang bertolak belakang dan saling kontradiksi dengan menciptakan citra ibu yang baik dan ibu yang tidak baik.
Foucault (1978) menegaskan bahwa seksualitas merupakan hasil konstruksi sejarah dan diskursif kaitannya dalam hubungan kuasa; ide tentang seksualitas adalah diskursus, maka sejarah seksualitas merupakan sejarah tentang diskursus seksualitas itu sendiri.
Anne Fausto-Sterling (2003) menjelaskan, tubuh merupakan sebuah sistem yang secara terus-menerus memproduksi dan juga diproduksi berdasarkan makna sosial sebagaimana organisme biologis yang selalu dihasilkan dari penggabungan antara nature dan nurture secara kontinu.
Mengutip Elizabeth Grosz, Fausto-Sterling memahami, biologis menyediakan sejenis bahan baku bagi konstruksi sosial seksualitas; dalam arti, tubuh biologislah yang mengawali terbentuknya beragam makna seksualitas. Namun, bahan baku tersebut tidak pernah bisa mencukupi sehingga dibutuhkan serangkaian makna yang disebutnya “a network of desires” yang berfungsi mengorganisir makna dan kesadaran dalam tubuh seorang anak.
Dari sini kita bisa menganalisis lebih jauh bahwa seksualitas manusia dipengaruhi dinamika sosial dan tidak akan berkembang tanpanya. Dimensi sosial manusia berasal dari luar tubuh manusia sendiri dan kemudian membentuk sikap dan perilaku kita baik secara sadar maupun tidak sadar dan juga sangat memengaruhi psikologis kita.
Kita bisa melihat bahwa pandangan seksualitas seseorang yang diyakini sebagai sesuatu yang alamiah atau kodrati dalam hal ini terbantahkan karena sebenarnya proses berkembangnya seksualitas tidak lepas dari pengaruh masyarakat yang membentuk makna dan wacana yang diproduksi dan dikembangkan terus-menerus.
Konstruksi seksualitas perempuan tidak terlepas dari peran negara yang ikut memproduksi makna dan wacana yang kemudian disebarkan secara terus-menerus melalui agen-agen negara, baik organisasi/institusi yang dibentuk negara seperti pegawai negeri, militer, lembaga-lembaga sekolah, rumah sakit, atau organisasi keagamaan.
Dalam sistem patriarkal di mana negara menjadi agen penting dalam pemaknaan seksualitas dan kontrol tubuh dan seksualitas perempuan yang dalam derajat tertentu “bekerjasama” atau “berkonspirasi” dengan kelompok-kelompok radikal berbasis agama.
Salah satu contoh, dalam konteks Indonesia, negara memberikan keleluasaan bagi MUI dan kelompok-kelompok garis keras untuk ikut menentukan seksualitas perempuan dengan memberikan otoritas mengeluarkan fatwa atau melakukan kampanye dan sweeping bagi mereka yang dianggap menyeleweng dari norma sosial yang didukung negara.
Berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang memberlakukan jam malam (curfew) bagi perempuan, melarang perempuan membonceng dengan mengangkang, mengatur busana perempuan agar menutup ”aurat” dan tubuhnya, tidak memperlihatkan bagian tubuh yang dianggap bisa membangkitkan hasrat dan gairah laki-laki, mewajibkan penggunaan jilbab/hijab dan lain-lain.
Perempuan dianggap sebagai sumber masalah moralitas dan kekerasan seksual. Pola pikir yang memosisikan perempuan sebagai pihak yang bersalah dalam kasus kekerasan seksual masih kental di masyarakat kita.
Untuk menghindari kekerasan seksual yang semakin marak, mengikuti logika berpikir menempatkan korban sebagai pihak yang bersalah (blaming the victim) yang berkembang dalam masyarakat menjadi jalan yang sering dipilih aparatus negara dalam menangani kekerasan seksual.
Pandangan ini diperkuat oleh hasil Kimberly Fairchild (2016) mengenai victim blaming yang menunjukkan adanya sikap memojokkan korban pemerkosaan dengan menunjuk tingkah laku atau sikap korban yang atraktif, penampilan yang provokatif dan cara berbusana korban yang memicu terjadinya tindak kekerasan seksual yang dialami para korban.
Untuk mendukung dan melegitimasi logika tersebut, berbagai mitos yang berlaku di masyarakat terus dikembangkan dan disosialisasikan, misalnya perempuan tidak boleh keluar rumah seorang diri, tidak boleh di rumah sendirian, tidak boleh keluar atau pulang malam, tidak boleh berada di tempat yang sepi, tidak boleh menggunakan pakaian minim atau “membuka aurat”.
Mitos ini sekali lagi melahirkan padangan yang mengesahkan upaya untuk mengontrol tubuh dan gerak perempuan dengan alasan menghindari terjadinya kekerasan seksual.
Mitos-mitos tersebut juga menyiratkan pandangan dan pemikiran tentang situasi asing bagi korban sebagai satu-satunya situasi yang tidak aman yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual. Di sisi lain, kita menjadi lebih percaya jika pelaku kekerasan seksual adalah orang yang tidak dikenal oleh korban.
Tentu saja, ini merupakan pandangan yang tidak akurat. Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di tempat umum, tetapi juga di ruang privat di mana korban mengenal dengan baik pelakunya, bahkan masih keluarga/saudara dan tetangga sendiri.
Kekerasan seksual inipun semakin marak menimpa anak-anak baik perempuan maupun laki-laki di tempat di mana mereka seharusnya merasa aman dan mendapat pengawasan dan perlindungan dengan baik, seperti sekolah, musala/masjid, rumah tetangga tempat mereka main dan dititipkan orang tua mereka.
Kekerasan seksual yang semakin sering terjadi memang menjadi momok menakutkan bagi para orang tua. Namun, dalam pengaruh pandangan blaming the victim semakin maraknya kekerasan seksual mendorong orang tua sebagai pihak yang dipandang memiliki otoritas untuk lebih memperketat ruang gerak anak-anaknya terutama anak perempuan.
Melihat paparan di atas, sekali lagi, saya memahami, naturalisasi relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual membuat masyarakat dan negara juga mengambil sikap diam, tidak responsif, bahkan di banyak kasus, permisif terhadap kekerasan seksual.
Masyarakat dan negara seringkali memahami, kekerasan seksual merupakan akibat alamiah dari relasi sosial dan seksual yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa dan perempuan pada posisi berseberangan.
Pandangan yang menaturalisasi hubungan kekuasaan sosial dan seksual ini melahirkan pandangan blaming the victim. Dengan pandangan ini, jika memerlukan untuk membuat respons terhadap kasus kekerasan seksual, masyarakat dan negara memilih cara mengontrol perempuan daripada membuat langkah panjang untuk mengubah relasi kekuasaan agar lebih setara, yang menyentuh kesadaran mereka yang berada dalam posisi kekuasaan dan memiliki potensi lebih besar sebagai pelaku, sebagai sumber utama persoalan kekerasan seksual.
Negara dan Politik Seksualitas di Indonesia
Konstruksi seksualitas di Indonesia sangat dipengaruhi politik seksualitas yang dibangun negara. Banyak feminis, ahli sejarah, atau antropolog yang mengkaji hubungan negara dan politik seksualitas.
Saya mengartikan politik seksualitas dalam konteks suatu kekuasaan negara menggunakan isu seksualitas sebagai bagian dari upaya membangun dan melestarikan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, rezim Orde Baru menerapkan politik seksualitas untuk membangun citra dan imajinasi tertentu tentang kekuasaan di bawah Soeharto.
Orde Baru menjadikan Gerwani sebagai salah satu target mengonstruksi “politik dalih” untuk melegitimasi agenda politik menyingkirkan kekuatan komunisme dan gerakan kritis negara lainnya yang dinilai akan mengancam konsolidasi kekuasaannya.
Orde Baru menghadirkan citra “seksualitas jahat” pada perempuan anggota Gerwani, yang berkeinginan kuat melawan dan mengubah tatanan norma dalam masyarakat. Perempuan-perempuan tersebut digambarkan sebagai penari telanjang, ikut melakukan mutilasi penis, dalam drama penyiksaan tujuh jenderal pada saat terjadinya Gerakan 30 September.
Orde Baru berkepentingan politik mematikan gerakan kritis berbasis gerakan perempuan yang akan mengganggu dan mengancam konsolidasi kekuasaannya. Tuduhan terhadap anggota Gerwani tidak hanya mematikan gerakan yang dibangun Gerwani, tapi juga membunuh gerakan perempuan kritis lainnya.
Dalam pengaruh wacana hegemonik antikomunisme, negara di bawah Orde Baru mendapat keuntungan besar dari proganda “seksualitas jahat” terhadap Gerwani yang mempunyai asosiasi dengan Partai Komunis Indonesia, yaitu berupa dukungan publik tanpa pamrih yang memudahkan upaya konsolidasi kekuasaan.
Saskia Wieringa (2002, 2003, 2011) yang secara konsisten mengkaji persoalan ini menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru melancarkan strategi dengan menghadirkan citra “seksualitas keji” dengan memberikan label/stigma dan membuat mitos tentang perempuan “pelacur komunis” di masyarakat dan membuat negara mendapat legitimasi dan menguatkan anggapan bahwa Suharto menjadi penyelamat moralitas bangsa.
Ideologi negara tentang kodrat perempuan di mana perempuan sebagai makhluk yang penurut, lembut, pasrah, dan pasif secara politik. Maka ketika ada perempuan atau aktivis perempuan yang menentang dan menantang status quo kebijakan diskriminatif dan ideologi gender negara, dengan mudah negara/pemerintah memberikan label “pelacur” atau bukan perempuan/ibu baik-baik.
Propaganda “seksualitas jahat” terhadap Gerwani pasca tragedi 30 September melahirkan kategorisasi perempuan dalam masyarakat Indonesia: perempuan baik-baik (mother) dan perempuan “pelacur” (whore).
Kelompok perempuan ibu dipersepsikan sebagai perempuan yang memiliki dan menjalankan tanggung jawab membangun generasi muda yang bermoral melalui pendidikan keluarga. Kelompok perempuan “pelacur” dipersepsikan sebagai para aktivis progresif-revolusioner yang lebih banyak menghabiskan energinya untuk menantang dan melakukan subversi terhadap negara sehingga melupakan “kodratnya” sebagai ibu yang berkewajiban mengurus dan mendidik anak-anak.
Pada perkembangan selanjutnya, propaganda dan agenda politik dengan menghadirkan kategorisasi kebaikan dan kejahatan perempuan atas dasar seksualitas ini berpengaruh pada sikap masyakat yang tidak terlalu kritis dan responsif terhadap persoalan kekerasan seksual.
Di sisi lain, hal ini juga menjadi legitimasi ketika negara mengambil sikap abai atau diam terhadap kasus kekerasan seksual. Hal ini tidak terlepas dari terbentuknya pandangan tentang kasus-kasus kekerasan seksual sebagai akibat dari kegagalan dalam pendidikan anak oleh kaum perempuan karena perempuan lebih memilih terlibat dalam politik melawan negara daripada mengurus dan mendidik anak-anak.
Dalam politik seksualitas yang demikian, ketika anak laki-laki menjadi pelaku kekerasan seksual, masyarakat dan negara akan memiliki legitimasi untuk melempar tanggung jawab terkait masalah ini terhadap kegagalan pendidikan anak dalam keluarga yang secara tradisional dibebankan kepada perempuan.
Ketika anak-anak perempuan menjadi korban kekerasan, masyarakat dan negara juga akan memiliki legitimasi untuk menuduh kaum perempuan gagal mengontrol anak-anak perempuan mereka sehingga menjadi target tindakan serangan seksual.
Rezim Orde Baru mengembangkan politik seksualitas Suharto dengan menghadirkan ajaran pseudo-agama untuk menopang agenda dan propagandanya agar lebih diterima oleh jalan pikiran masyakarat Indonesia yang memang sangat dekat dengan kehidupan keagamaan.
Misalnya, mengklaim perempuan sebagai pilar keluarga, masyarakat dan negara. Perempuan dituntut menjadi pilar yang kokoh dan stabil dengan menjadi ibu yang “baik” yang menjalankan tanggung jawab tradisionalnya mendidik anak-anak, memberinya fondasi moralitas agar terhindar dari menjadi baik pelaku atau korban berbagai tindakan kejahatan, termasuk kekerasan seksual.
Untuk menjadi pilar yang kokoh dan selalu bisa menjalankan fungsinya itu, perempuan sebagai kaum ibu juga harus menjadi perempuan yang “baik”, yang sanggup mengontrol dirinya sendiri. Politik seksualitas–seperti melalui kategorisasi di atas—menjadi salah satu senjata untuk membuat perempuan mampu mengontrol dirinya sendiri.
Kategorisasi yang gamblang dan nyata (clear and distinct) ini juga menjadi alat kontrol di antara perempuan sendiri. Hasilnya, kekuasaan Orde Baru terus bisa solid dalam jangka waktu lama.
Negara Orde Baru juga mendirikan organisasi-organisasi perempuan yang menjalankan visi dan misi “ibuisme tradisional” untuk menjadi representasi bagi “kebenaran” propaganda politik seksualitas yang dibangunnya.
Negara menjadi sponsor bagi terbentuknya organisasi seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan kegiatan kelompok ibu berbasis komunitas yang disebut PKK yang berhaluan ibuisme tradisional. Gambaran perempuan liar, agresif, aktif dalam politik perlawanan seperti halnya Gerwani merupakan kontras dari perempuan dan ibu baik-baik dalam konstruksi seksualitas rezim Orde baru.
Menurut Suryakusuma (1996), state ibuism yang dipropagandakan Orde Baru selain mengandung elemen budaya, juga mempunyai aspek politik dan ekonomi yang kuat. Sejalan dengan konstruksi state ibuism yang menempatkan perempuan sebagai teman bagi suami, ibu dan pendidik bagi anak, pengatur rumah tangga, melahirkan anak dan mengasuhnya, Orde Baru menjalankan agenda housewifization of women dan menghidupkan kembali priyayi ibuism, dengan mengampanyekan posisi perempuan sebagai pelayan suami, keluarga, masyarakat, dan negara.
Perempuan di samping harus rela dan ikhlas mengabdi pada suami, juga secara sukarela mengabdi pada masyarakat dan bangsa tanpa mendapat kuasa atau hak istimewa (prestige) yang sama dengan suami. Prinsip keluarga selalu ditekankan di sini agar semua anggota keluarga tanpa terkecuali berkontribusi pada pembangunan negara.
Negara mengaplikasikan ideologi gender bapakisme negara, di mana bapak menjadi sang patriark dan sumber utama kekuasaan, sementara ibu merupakan perantara atau medium kekuasaan tersebut. Militer juga mengadopsi pola negara sebagai sebuah keluarga.
Orde Baru ala Suharto menggabungkan antara feodalisme Jawa dan militer, sebagai lembaga yang menerapkan hierarki dan otoritas kekuasaan. Negara telah berhasil merekayasa dan memanipulasi baik secara formal maupun informal tentang konsep perempuan Indonesia selama puluhan tahun.
Hingga saat ini perempuan Indonesia masih terobsesi dengan “konsep ideal” kodrat wanita yang digalakkan Orde Baru. Keberhasilan Orde Baru dalam membuat propaganda ideologi konco wingking ini patut diacungkan jempol sehingga apa yang saya sebut kekalahan perempuan dalam sejarah pun terjadi.
Perempuan Indonesia masih tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai feodalisme Jawa dan militer ini, apalagi kemudian pascakeruntuhan Suharto, fundamentalisme agama semakin mengemuka, membuat proyek politik ini berkembang pesat.
Paparan di atas sekali lagi menjelaskan konstruksi perempuan ibu (motherism) hasil propaganda politik seksualitas Orde Baru membentuk kategorisasi perempuan baik yang selalu menjalankan peran tradisional menjaga moral generasi muda berpengaruh terhadap kebiasaan negara untuk abai terhadap persoalan kekerasan seksual.
Negara melempar beban tanggung jawab melawan kekerasan seksual pada perempuan melalui kewajiban sosial dan kultural dalam pendidikan anak dalam keluarga.
Negara sebagai Pelaku Kekerasan terhadap Perempuan
Ketika negara diam, abai dan tidak menunjukkan respons serius terhadap persoalan kekerasan seksual, sesungguhnya negara telah terlibat melakukan kekerasan tersebut. Michael Peletz (2012), mengutip Monique Skidmore, membedakan tiga model kekerasan yang melibatkan negara.
Pertama, kekerasan langsung, seperti kekerasan dan penyiksaan fisik yang dilakukan oleh agen negara; kedua, kekerasan tidak langsung yang melibatkan penggunaan dan pelanggengan teror, pengawasan, rumor, dan kecurigaan; dan ketiga, kekerasan struktural seperti memarginalkan keseluruhan atau satu kelompok orang/masyarakat dan mengurangi atau menghilangkan kesempatan kehidupan dasar mereka.
Melihat pembagian kategori kekerasan ini, maka saya berpandangan, perempuan merupakan kelompok masyarakat yang sangat rentan mendapatkan kekerasan tidak langsung dan struktural dari negara. Perempuan tidak mendapatkan hak politik, sosial, ekonomi dan bahkan hak untuk mengontrol tubuh dan seksualitasnya sendiri.
Politik seksualitas dan gender negara menerapkan teror: bila perempuan ingin aman dari kekerasan seksual, mereka tidak boleh melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya dalam berpakaian, tingkah laku, ruang gerak, dan lain-lain.
Kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual dianggap kasus “kecil” yang tidak memerlukan peran dan tanggung jawab dalam penanganannya. Peristiwa kekerasan seksual atau pemerkosaan massal pada Tragedi Mei 1998 menjadi salah satu contoh bagaimana negara, meski berganti rezim berkali-kali, merasa boleh melakukan pengabaian terhadap persoalan kekerasan seksual ini.
Menurut Susan Blackburn (2004), pandangan tentang kodrat perempuan yang dialamiahkan (naturalized) menjadi kata kunci untuk memahami pandangan masyarakat Indonesia tentang seksualitas yang memosisikan perempuan sebagai pelaku peran sosial sebagai ibu dan mendorong semua perempuan dewasa untuk menjadi ibu.
Dalam pandangan tentang kodrat perempuan ini, perempuan dikonstruksi untuk menjadi pihak yang memiliki kewajiban melayani suami secara seksual. Ketika perempuan dianggap gagal menjalankan kewajiban memberikan layanan seksual ini, suami diberi “keistimewaan” untuk memberikan hukuman, termasuk hukuman seksual dengan melakukan pemaksaan seksual (marital rape).
Kasus-kasus pemaksaan hubungan seksual dalam relasi suami-istri dianggap bukan persoalan kekerasan atas dasar pandangan kodrat perempuan memberikan layakan seksual bagi suami tersebut.
Politik seksualitas, seperti dijelaskan Wieringa (2003), merupakan regulasi tentang sensasi tubuh, emosi, mental, simbol dan estetika. Dengan demikian, politik seksualitas memiliki kaitan erat dengan moral, seks, simbol, budaya dan politik yang memudahkan berbagai institusi sosial seperti keluarga, masyarakat, negara untuk terlibat sesuai kepentingan politik masing-masing.
Dengan posisi negara yang kuat, rezim negara mengontrol kepentingan politik berbagai elemen sosial dalam implementasi politik seksualitas tersebut, dan itulah yang terjadi di masa pemerintahan Orde Baru. Negara mendominasi pembentukan sikap abai ketika merespons kasus-kasus kekerasan seksual.
Wieringa (2011), menjelaskan, negara membuat kategorisasi yang saling berlawanan atas dasar konstruksi seksualitas tertentu, membentuk kategori perempuan “their own” (bagian dari mereka) dan “other,” (perempuan liyan, di luar mereka). Yang pertama adalah perempuan-perempuan yang patuh dan penurut yang harus selalu dilindungi, dan yang kedua adalah para perempuan pembangkang aturan atau norma sosial, budaya dan negara, perempuan yang “bukan bagian dari mereka” yang legitimate untuk menjadi objek kekerasan seksual.
Demikianlah, lewat paparan di atas, kita memahami, negara telah menjadi bagian dari persoalan kekerasan seksual di Indonesia. Keterlibatan negara ini bukan saja dalam bentuk keterlibatan tidak langsung berupa pengabaian terhadap kasus-kasus kekerasan seksual, tapi juga keterlibatan aktif secara langsung melalui agenda dan propaganda politik seksualitas.
Kesimpulan
Kekerasan seksual merupakan persoalan politik. Kekerasan seksual memiliki akar pada konstruksi sosial-politik yang menempatkan laki-laki dalam hierarki kekuasaan sosial dan seksual yang membuatnya seakan-akan memiliki posisi dan keistimewaan alamiah untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
Kekuasaan negara di Indonesia terutama di masa Orde Baru “mengolah” konstruksi sosial ini sebagai salah satu bahan propaganda dan agenda politik seksualitasnya. Negara mengonstruksi ibuisme negara, memformalkan peran tradisional perempuan, dan membangun berbagai stigma atas dasar gender dan seksualitas terhadap perempuan tertentu yang dianggap tidak mematuhi agenda politik negara ini.
Perempuan-perempuan yang tidak menjalankan peran tradisional mendidik anak, membekali dasar-dasar moralitas, dianggap perempuan pembangkang dan bukan perempuan baik-baik yang telah menyebabkan berbagai persoalan “asusila” semacam kekerasan seksual.
Negara memberi beban pada kaum perempuan untuk menjaga negara dan masyarakat bersih dari tindakan “asusila”. Dengan memberi beban ini, negara merasa boleh dan bisa melepas tanggung jawab utamanya dalam hal menjamin warganya, terutama perempuan, terbebas dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Demikian, kita bisa melihat bagaimana politik seksualitas yang dipropagandakan oleh kekuasaan negara, khususnya di masa Orde Baru, memberi pengaruh pada terbentuknya sikap abai dan respons yang tidak serius oleh negara terhadap persoalan kekerasan seksual di negara Indonesia.
Daftar Pustaka
- Blackburn, Susan 2004, Women and the State in Modern Indonesia, Cambridge University Press, Cambridge.
- Davis, Sharyn Graham 2015, ‘Surveilling Sexuality in Indonesia’, dalam Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia, ed. Bennett Linda Rae and Davies Sharyn Graham, Rouledge, London & New York.
- Dilorio, Judith A 1986, 1989, ‘The Social Construction of Masculine Sexuality in a Youth Group’, dalam Feminist Frontiers II: Rethinking Sex, Gender, And Society, ed. Richardson, Kaurel and Taylor, Verta, Random House, New York.
- Fairchild, Kimberly 2016, But Look at What She Was Wearing!: Victim Blaming and Street Harrashment, Routledge, New York.
- Foucault, Michel 1978, History of Sexuality, Volume I: An Introduction. Random Book, New York.
- Maher, Lisa 1992, ‘Punishment and Welfare: Crack Cocaine and the Regulation of Mothering’, dalam The Criminalization of a Woman’s Body, ed. Feinman, Clarice, Harrington Park Press, New York, London.
- Monahan, T 2011, ‘Surveillance as Cultural Practices’. The Sociological Quarterly 52 (4), hh. 495-508.
- Pateman, Carole 1988, The Sexual Contract, Standford University Press, Standford, California.
- Peletz, Michael G 2012, ‘Gender, Sexuality, and the State in Southeast Asia’, The Journal of Asian Studies 71 (04), hh. 895-916.
- Sterling, Anne Fausto 2003, ‘Sexing the Body: How Biologists Construct Human Sexuality’, dalam Constructing Sexualities: Readings in Sexuality, Gender, and Culture, ed. LaFont, Suzanne, Prentice Hall, New Jersey.
- Suryakusuma, Julia I 1996, ‘The State and Sexuality in New Order Indonesia’, dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, ed. Sears, Laurie J, Duke University Press, Durham & London.
- Wieringa, Saskia 2002, Sexual Politics in Indonesia, Palgrave Macmillan and ISS (Institute of Social Studies), New York.
- Wieringa, Saskia 2003, ‘The Birth of the New Order State in Indonesia: Sexual Politics and Nationalism’, Journal of Women’s History, 15 (1), hh. 70-91.
- Wieringa, Saskia 2011, ‘Sexual Slancer and the 1965/66 Mass Killings in Indonesia: Political and Methodological Considerations’. Journal of Contemporary Asia 41 (4), hh. 544-565.
Telah dimuat Jurnal Perempuan No. 89, Mei 2016