©: http://affinitymagazine.us/

Jangan Sentuh!

Oke, isu ini memang sudah April lalu. Seorang aktris menepis tangan seorang penggemar yang ngotot mengajak foto bareng saat premiere film terbarunya.

Perihal Seleb:

Sutradaranya malah minta maaf atas “kelakuan” si aktris. Seakan belum cukup, media mem-blow up insiden ini ketimbang film yang dibintangi aktris tersebut. Netizen langsung mem-bully si aktris dengan sebutan “artis sombong” dan “seleb cantik tapi belagu.”

Saya nggak mau munafik. Nggak setiap hari bisa ketemu selebriti, apalagi yang dari luar negeri. Selain minta tanda tangan, fans biasanya suka minta foto bareng juga. Lebih untung lagi bila si seleb bersedia diajak mengobrol juga, meski barang sebentar.

Sayangnya, kita sering lupa. Seleb juga manusia biasa. Mereka bisa capek, bete, atau bahkan lagi malas pura-pura soal perasaan mereka sebenarnya. Nggak banyak lho, yang tahan bisa kayak gitu – senyum-senyum depan orang banyak meski tidur hanya dua-tiga jam, kostumnya bikin nggak nyaman, sampai lagi ada masalah pribadi. (Putus sama pacar, anggota keluarga meninggal, dan lain sebagainya.)

Yang pasti, mereka juga BUKAN BONEKA. Asal dipegang-pegang, dijambak, dan bahkan sampai dicakar-cakar. (Oke, ini ngeri. Ngapain juga, ya?)

Saya, Pipi Tembam, dan Senior Iseng:

Waktu TK, setiap pagi saya selalu dicegat serombongan kakak kelas (perempuan semua) SD yang badannya pasti lebih gede. Ngapain? Nggak, bukan malak. Mereka hanya mau menjawil dan mencubit (untuk nggak keras, karena pasti sakit) pipi saya yang tembam.

Keisengan mereka selalu berlangsung selama sekitar lima-sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Saya? Berhubung lebih kecil dan masih takut, saya hanya diam. Pasrah. Tapi, sebenarnya saya marah. Sayangnya, ekspresi jutek saya waktu itu malah dianggap lucu sama mereka.

“Hiii, mukanya galak. Lucu amat. Makin gemesss…”

Tuh, ‘kan?

Mama bahkan pernah menceritakannya beberapa kali kepada orang-orang, seakan itu kisah yang lucu. Ya, zaman itu memang belum pada kenal yang namanya ‘ranah pribadi’, terutama untuk anak. Mungkin mereka juga nggak mau percaya bahwa anak kecil pun berhak marah dan menolak saat disentuh orang seenaknya.

Bahkan, sampai ada pepatah: “Children are meant to be seen, not heard.” (Anak-anak hanya buat dilihat, bukan didengar.) Percuma juga ngomong kalau hanya dianggap objek belaka.

Saya, Kunciran, dan (Lagi-lagi!) Senior Iseng:

Saya selalu menganggap Masa Orientasi Siswa di minggu pertama sekolah untuk murid baru itu menjemukan dan nggak ada gunanya. Hanya jadi ajang bullying senior kurang kerjaan. Coba, untuk apa waktu itu saya harus ke sekolah dengan rambut dikuncir sepuluh? Kata mereka sih, buat ‘lucu-lucuan’.

Ha-ha.

Waktu itu, salah satu teman kakak saya (kali ini senior laki-laki) punya niat jahil. Maunya sih, menjawil dan menarik-narik kesepuluh kunciran saya. Ketahuan, kakak saya langsung menepis tangannya.

“Heh, jangan sentuh adek gue!”

Temannya malah tertawa-tawa, sementara saya hanya memandangnya tanpa ekspresi. Dingin.

Hak Otonomi Tubuh Manusia:

Mungkin karena tidak pernah suka diperlakukan kayak boneka (dipegang-pegang sembarang orang), saya suka bingung dengan kelakuan penggemar Indonesia saat ketemu idola mereka, terutama yang dari luar negeri.

Ngejar-ngejar, lalu asal meluk/cium/jambak/nyakar…

Hiii…

Bukannya mau sok alim, tapi mungkin saya termasuk fangirl paling harmless. Saya lebih suka meminta tanda tangan mereka dengan baik-baik, syukur-syukur ada bonus foto. Kalau nggak mau, ya udah.

Mungkin juga karena saya lebih peduli hasil karya mereka. Saat menyapa mereka saja (entah di guestbook website mereka atau akun media sosial), saya lebih suka bertanya tentang rilisan terbaru buku/album/film mereka. Saya nggak peduli mereka udah punya pacar atau urusan pribadi lainnya. Langsung dijawab syukur, enggak juga tinggal menunggu.

Pernah ada kerabat laki-laki yang lebih tua iseng mengajak bercanda. Mungkin karena waktu kecil saya belum berani bersuara, beliau kira menyentuh perut saya tidak apa-apa.

“Hiii, kok makin gendut aja, siiih?”

PLAK! Refleks saya menepis tangan beliau sambil melotot. Mungkin begini perasaan kucing saat ada manusia yang sembarangan menyentuh perut mereka.

Si kerabat shock. Hening sesaat dan kami saling menatap. Saya masih pasang muka jutek, sengaja menantang.
Apakah saya langsung akan dibilang galak/sensi/baper (bawa perasaan, red) dan hinaan sejenis? Haruskah saya menjelaskan berkali-kali dengan bahasa paling sederhana, bahkan sampai mulut berbusa?

Untunglah, kali ini tidak. Beliau minta maaf. Semoga itu artinya mulai banyak orang yang menganggap serius ranah pribadi setiap orang, termasuk hak otonomi tubuh perempuan.

Salahkah si artis yang menepis tangan penggemar yang iseng menowel? Bisa kok, ngajak foto bareng tanpa perlu pegang-pegang segala. Kalau mereka menolak, itu juga hak mereka. Menyebut mereka sombong hanya menunjukkan kurangnya kadar kedewasaan Anda dalam menerima penolakan.

Kecuali, ya… Anda masih menganggap mereka boneka, alias boleh dipegang suka-suka…

About Ruby Astari

Penulis, penerjemah, dan pengajar bahasa Inggris. Saat ini menjadi kontributor untuk ALB

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *