Tidak terasa sudah dua tahun yang lalu Gerakan Laki-laki Baru dilahirkan oleh gerakan perempuan. Dalam refleksi ulangtahun gerakan ini, kami mengingat kembali betapa tidak mudah melibatkan laki-laki dalam gerakan perempuan, dan tidak mudah pula bagi laki-laki untuk secara terbuka mendukung gerakan perempuan.
Sepuluh tahun yang lalu, staf laki-laki yang bekerja di organisasi perempuan sering mengalami pertanyaan sinis, bagaimana mungkin laki-laki bekerja ditempat yang dipimpin dan semua aktivitasnya adalah urusan perempuan? Bagaimana mungkin laki-laki bicara soal kesehatan reproduksi, kekerasan dan pelecehan seksual?
Stigma banci dan keperempuanan juga sering terjadi pada laki-laki yang mendukung gerakan perempuan.
Iklim demokrasi saat reformasi digulirkan menguatkan sejumlah individu laki-laki untuk lebih mudah memahami prinsip kesetaraan (equality).
Prinsip kesetaraan sebagai landasan berpikir membuat mereka bisa untuk bersinergi dengan isu-isu gender, sebab keadilan tak mungkin tanpa kesetaraan . Dan demokrasi tak mungkin berjalan bila cara berpikir kita masih hirarkis (ada yang di atas dan ada yang dibawah, ada yang berkuasa, ada yang dikuasai).
Kesetaraan gender akhirnya dikumandangkan pula oleh laki-laki untuk menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari ciri masyarakat yang demokratis, bahwa perempuan setara dengan mereka dan memiliki hak yang sama.
Sejumlah organisasi perempuan pun menganggap kampanye masyarakat yang adil gender memiliki banyak keuntungan dan dampak yang lebih dengan mengajak laki-laki.
Secara perlahan akhirnya mereka membuka pintu untuk laki-laki yang mau bekerjasama, tak terkecuali para tokoh agama (yang biasanya paling sulit untuk bicara tentang hak-hak perempuan) seperti Nasarudin Umar dan Kiai Husein Muhammad. Bahwa sudah saatnya isu perempuan menjadi bagian dari kepentingan semua jenis kelamin.
Adopsi istilah “Yang Pribadi adalah juga Urusan Publik”
Telah lama persoalan-persoalan yang dialami perempuan berangkat dari ruang pribadi seperti pembagian peran rumah tangga, relasi pasangan, perkawinan, perceraian dan tubuh. Problem perempuan kebanyakan berputar di persoalan pribadi.
Kekerasan dalam rumahtangga, pelecehan seksual, perkosaan, pengasuhan, reproduksi perempuan untuk mengatur kelahiran dll, adalah persoalan pribadi yang tabu untuk didiskusikan di ruang publik. Ruang publik hanyalah tempat seluas-luasnya bagi diskusi tentang politik kekuasaan, ekonomi, hukum, karir, bisnis dan nyaris tidak menyentuh hal-hal pribadi.
Dalam skala ini, laki-laki ternyata juga menjadi mahluk yang memiliki persoalan pribadi dalam kehidupannya dan sering tidak terungkap dalam pembicaraan-pembicaraan umum.
Misalnya dari aspek psikologi, mengapa budaya maskulin membuat laki-laki yang tidak suka berkelahi mengalami diskriminasi atau dibilang tidak jantan, lalu laki-laki yang kesulitan mencari nafkah karena keadaan krisis ekonomi distigma tidak berfungsi sebagai laki-laki, tidak ada harga diri.
Kesadaran bahwa yang pribadi adalah juga publik/politik ini menghadirkan laki-laki dalam gerakan perempuan untuk mengungkapkan masalah pribadinya dan ikut serta sampai pada persoalan regulasi. Laki-laki juga membicarakan persoalan perkawinan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelecehan, hak reproduksi, dll.
Misalnya kesadaran bahwa korban perkosaan pada perempuan menjadi sangat menyedihkan bagi laki-laki apabila itu terjadi pada anak, saudara, atau pasangannya.
Laki-laki juga memiliki keingintahuan yang besar tentang, mengapa mereka selalu menjadi pelaku kekerasan, — yang sebetulnya secara bawah sadar mereka juga tidak terima hal tersebut.
Kehendak untuk Peduli pada Sesama
Keterbukaan ruang bagi laki-laki untuk soal sektor-sektor pribadi ini tentu saja membebaskannya dari segala beban kultur masyarakat bahwa mereka harus terlihat tegar, keras dan penuh persaingan, sebaiknya menutup perasaan mereka yang sesungguhnya.
Kelelahan psikis yang dialami mereka terakomodasi dalam ruang pribadi yang diciptakan oleh gerakan perempuan. “Pria ingin membuka topengnya dan mengatakan siapa mereka sesungguhnya”. Bahwa kepedulian, pengasuhan, kelembutan hati dan lain-lain adalah sifat-sifat yang dipendam jauh di bawah sadar laki-laki dan jarang mereka olah dan ekspresikan di ruang publik.
Kebanyakan pria ditekan potensi kepeduliannya menjadi potensi bersaing dan saling menjatuhkan, dapat kita lihat dalam dunia politik. Karena kepedulian dianggap bukan sikap maskulin, bukan sikap laki-laki.
Dampak dari kepura-puraan laki-laki yang dipaksa untuk menjadi terus menerus bersaing ini terlihat dari bagaimana mereka mengejar kekuasaan, mengelola negara, memperlakukan buruk lingkungan atau mengeksploitasi alam, membuat keputusan yang represif, dan tentu saja akibatnya lebih banyak buruknya.
Budaya korupsi salah satu contoh dalam politik maskulin, mengeruk keuntungan melalui dana publik untuk mengejar status ekonomi dan mengartikan kemapanan hidup sebagai satu-satunya keberhasilan laki-laki.
Dalam gerakan perempuan, laki-laki sangat dianjurkan untuk mengekspresikan sikap lembut dan kepeduliannya pada sesama, termasuk mengasuh anak-anak yang mereka kasihi, memperhatikan keharmonisan rumah tangga, dan ketika menjadi pejabat publik, sifat peduli itu terbawa dalam mengelola negara dengan tidak korupsi, tidak membuat keputusan yang mengorbankan orang lain dan hanya menguntungkan dirinya, tidak membohongi publik dan memanfaatkan jabatannya.
Inilah yang disebut Laki-Laki Baru, yaitu pria yang telah menjadi intepretasi baru atas dirinya. Bahwa pria bisa percaya pada dirinya sendiri sebagai manusia yang bisa memberi kasih sayang, perhatian dan peduli. Dan karena kepedulian dan perhatian tersebut, pria berhasil mengolah sensitifitasnya atas persoalan ketidakadilan, korupsi, dll, termasuk ketidakadilan pada perempuan.
Kritik dan Evaluasi
Laki-Laki Baru bukanlah menganjurkan agar laki-laki bisa menjadi seperti perempuan. Laki-laki Baru adalah tempat laki-laki mengolah dan mengekspresikan potensi kemanusiaan dirinya sebagai mahluk yang ingin mencapai keadilan dan kesetaraan.
Namun kritik dalam gerakan perempuan sendiri mengatakan bahwa sangat mustahil bagi laki-laki untuk berubah menjadi betul-betul “Laki-Laki Baru” karena kuatnya kultur dari masa kanak-kanak tidak sedemikian rupa berubah begitu saja.
Apalagi seburuk-buruknya ketidaknyamanan pria dalam dunia maskulinnya, mereka tetap lebih banyak diuntungkan daripada menjadi seorang perempuan. Karena itu perlu ada evaluasi gerakan Laki-Laki Baru dalam kerangka gerakan perempuan dalam perjalanannya.
Sejauhmana gerakan ini pada akhirnya berdampak pula pada tercapainya hak-hak perempuan dalam kehidupan masyarakat, dan keadilan atas lainnya.
(Tulisan ini dibuat untuk memperingati dua tahun Aliansi Laki-laki Baru)
Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan
S umber: www.jurnalperempuan.com