Sebuah Catatan Dari Camp Ciremai
Pada Jumat 20 Februari 2015 , saya dan rekan saya, Bagia Saputra (Begi) mewakili dari Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) bertolak ke Kuningan, Jawa Barat. Untuk mengikuti kegiatan Youth Camp yang diselenggarakan oleh Peace Corps. Ini adalah lanjutan camp yang pernah diadakan sebelumnya oleh Peace Corps di Lumajang Jawa Timur.
Sedikit mereview kembali, Pada Tahun 2014, untuk pertama kalinya ALB bekerja sama dengan Peace Corp Amerika terlibat dalam camp di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Camp tersebut bernama Indonesian Boys Respecting Others (iBRO). Camp ini ditujukan kepada para pelajar SMA laki-laki untuk memberikan pemahaman tentang keterlibatan laki-laki dalam keadilan gender. Dalam camp iBRO, ALB menyampaikan materi “Gender and Power” dan “Act like a man.”
Keterlibatan ALB dalam camp ini mendapat apresiasi positif dari pihak sekolah dan Peace Corp. Selain itu, respon positif dari siswa pun nampak dengan keterbukaan siswa membahas tentang bagaimana menjadi laki-laki.
Kali ini Aliansi laki-laki Baru kembali diberikan kesempatan untuk terlibat kembali dalam kegiatan camp berikutnya dinamakan “Camp CIREMAI” . Kegiatan ini merupakan gabungan dari 2 program yaitu Indonesian Girl Leading Our World (iGLOW) dan Indonesian Boys Respecting Others (iBRO).
Tujuan utama dari Camp CIREMAI ini adalah berusaha meningkatkan kepercayaan diri pelajar perempuan dan laki laki agar bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki sebagai usaha mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia dan tentunya anti kekerasan (red). Saya dan rekan saya pun merasa sangat terhormat bisa mewakili Aliansi Laki Laki Baru dalam camp ciremai untuk memfasilitasi materi tentang “Act Like A Man” dan “Gender and Power”.
Perserta kegiatan Kamp CIREMAI tahun 2014-2015 adalah siswa dan siswi dari sekolah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Gebang, SMKN I Susukan, SMKN 1 Kuningan, Sekolah Menegah tingkat Atas (SMAN) 1 Lemahabang, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Plered. Masing-masing sekolah mengirimkan 7 siswi dan 7 siswa yang terbaik dari hasil seleksi esai.
Kami tiba di Cirebon pukul 19.00 WIB di hari yang sama. Walaupun materi kami baru akan dimulai pada keesokan hari, kami ingin melihat dan mengenal situasi serta karakter peserta, sekaligus berkenalan dengan seluruh panitia Camp Ciremai. Kami langsung mengunjungi kembali camp setelah menaruh ransel kami. Setiba di lokasi kami, disambut dengan hangat oleh teman teman dari Peace Corp dan panitia acara yang lainnya.
Wow, kami bertemu dengan 70 peserta camp yang sangat bersemangat dan antusias dengan sesekali meneriakkan yel yel kelompoknya dan aktif berdiskusi. Kami lebih fokus memperhatikan peserta disaat mereka memasuki sesi “Peran Berdasarkan Gender” yang dibawakan oleh teman-teman UNSWAGATI.
Menurut pengamatan kami, para peserta sudah dapat membedakan antara sex dan gender. Dan benar saja , kami menemukan sesuatu yang menarik di saat ada beberapa yang masih terjebak dalam pandangan Budaya Patriarki. Akan tetapi pada akhirnya para peserta dapat memahami “Peran Berdasarkan Gender”.
Sabtu 21 Februari 2015, udara sejuk khas nuansa kaki gunung membuat kami bersemangat untuk memulai sesi “Act Like A Man,” dan kali ini Begi bertindak sebagai Fasilitator utama, materi ini hanya diikuti oleh peserta Laki-laki saja dan peserta perempuan mengikuti materi lainnya. Setelah semua peserta laki-laki berkumpul, Begi pun segera memulai dengan mempersilahkan semua peserta memperkenalkan dirinya dan mengungkapkan keistimewaannya sebagai Laki-Laki. Diantaranya Selalu menjadi pilar utama, kuat, menjadi pemimpin dan berani.
Setelah selesai dengan perkenalan kami pun membagi mereka dalam 6 kelompok dimana kami meminta 3 kelompok untuk menuliskan keistimewaan dan pembatas sebagai Laki-Laki serta 3 kelompok lagi menuliskan keistimewaan dan pembatas sebagai Perempuan. Setelah selesai, kami meminta untuk masing masing kelompok mempersentasikan dan menjelaskan kepada kami serta peserta lainnya. Dan disinilah kami coba membuka pemahaman mereka lebih lanjut, diawali dengan diskusi dan memberikan kesempatan peserta untuk berdiskusi dan memberikan pendapat tentang keistimewaan dan pembatas yang dibuat oleh masing masing kelompok, kami pun masuk ke kelompok yang menjelaskan tentang keistimewaan dan pembatas sebagai perempuan.
Peserta pun menyebutkan keistimewaan perempuan di antaranya adalah lembut, penyayang dan bisa melahirkan. Sedangkan pembatasannya adalah tidak boleh melawan suami, tidak boleh tomboy, tidak boleh keluar malam-malam, dan tidak menggunakan logika. Kami coba mengajak para peserta untuk melakukan komparasi dengan Keistimewaan dan pembatas laki-laki dan coba meminta mereka untuk bertanya apakah yang menyusun keistimewaan dan pembatas atas laki-laki dan perempuan?
Sebagian besar menyatakan itu adalah Kodrat dan Takdir, dan kami coba membuat mereka lebih terbuka lagi dengan menanyakan apa artian dari kodrat dan takdir. Lalu, kami coba menggali lebih dalam ini dan menanyakan; apakah dalam Keistimewaan dan Pembatas ini apa pihak laki-laki lebih diuntungkan? Mereka menyetujuinya tetapi tetap menganggap itu adalah takdir dan kodrat sebagai laki-laki dan perempuan.
Kami coba menggunakan pertanyaan kunci lainnya, salah satu yang menurut kami mengena adalah disaat kami membuat mereka untuk membayangkan figur Ibu atau Saudara Perempuan mereka dan merefleksikan; apakah perempuan rentan untuk menjadi korban tindakan kekerasan/perampasan hak jika mereka masih ditempelkan stigma? Apakah kodratnya jika perempuan harus mengalah dan dianggap lemah?
Setelah itu kami merasa para peserta mulai memikirkan jika memang ternyata ada banyak unsur yang menyusun keistimewaan dan pembatas antara laki-laki dan perempuan. Melihat moment ini kemudian kami menjelaskan tentang gender dan bagaimana budaya berperan untuk menciptakannya. Serta berdiskusi dan menjelaskan bagaimana konstruksi gender itu bisa merugikan bagi Laki – Laki dan terutama Perempuan. Dan kami menutup sesi ini dengan pertanyaan reflektif, apakah kita mau meninggalkan budaya yang merugikan orang yang kita sayangi?
Malam mulai menemani peserta Camp Ciremai dan kini tiba saatnya sesi kami yang terakhir yang akan memaparkan materi tentang “Gender and Power,” kali ini saya bertindak sebagai fasilitator utama didampingi oleh rekan saya Begi. Sebelum sesi dimulai ada beberapa peserta yang menanyakan tentang ALB dan cara untuk mendapatkan informasi-informasi tentang ALB dan juga ada yang coba menceritaka tentang pengalamannya di sekolah dan kami pun coba memberikan informasi untuk website dari ALB dan sosmed-nya, serta merespon beberapa pertanyaan lainnya.
Untuk sesi kali ini pesertanya dibuat bersama laki-laki dan perempuan. Sebagai permulaan saya coba memulai dengan me-refresh kembali perbedaan Seks dan Gender dengan cara memberikan dua orang peserta untuk menjelaskan perbedaannya dan setelahnya saya meminta persetujuan oleh peserta lainnya untuk jawabannya.
Selanjutnya kami masuk ke point Kuasa/Power, saya mencoba untuk memakai metode games terlebih dahulu dan yang kami gunakan adalah games supir dan mobil, kami membagi mereka berpasang-pasangan dimana ada yang menjadi mobil dan pengemudinya , si pengemudi bebas menggerakkan mobilnya kemanapun dia suka dan si mobil harus menurutinya, tidak jarang mereka menabrakkan ke mobil yang lainnya dan menggerakkan mobil sesuka hatinya dan yang menjadi mobil terlihat terpaksa menurutinya.
Saya coba untuk menukar perannya dan hal yang sama seperti sebelumnya terjadi. Setelah selesai games Supir dan Mobil, saya meminta kembali 4 orang yang bersedia untuk menyampaikan pengalamannya sebagai Supir dan Mobil.
Rata rata mengeluhkan disaat menjadi mobil harus mengikuti instruksi si supir walaupun sampai menabrak temannya dan sedikit merasakan sakit. Begitu pula senada dengan menjadi supir mereka merasakan mempunyai hak dan kuasa atas mobilnya dan merasa dapat melakukan apapun.
Kami pun langsung memberikan makna dari games ini bahwa Kuasa/Power dalam hal ini Relasi Kuasa dapat mempengaruhi dan penyebab terjadinya ketidaksetaraan dan rentan akan kekerasan. Karena kali ini peserta digabung laki-laki dan perempuan maka kamipun menanyakan opini mereka khususnya perempuan (karena di sesi “act like a man” kami sudah menanyakannya kepada peserta laki-laki); Siapakah yang dapat berkuasa dalam suatu relasi? Kebanyakan para peserta masih terjebak dalam pemahaman patriarki dimana mereka menganggap laki-laki lebih berkuasa dan perempuan mempunyai batasan untuk mendapatkan kesetaraan.
Mendengar ini kami segera melakukan games kedua yaitu “Power Walk”. Kami membagikan kartu profesi kepada semua peserta yang sudah kami acak. Suasanapun seketika meriah disaat mereka melihat kartu profesi tersebut untuk mendapatkan peran yang akan mereka lakukan; ada yang berperan sebagai Anggota DPRD, Istri Anggota DPRD, Petani Laki-laki/Perempuan, Polisi/Polwan, Tukang Ojek laki-laki sampai anak jalanan Laki-laki/Perempuan.
Kamipun memberikan instruksi kepada mereka untuk mendalami peran tersebut dan mendengarkan peryataan yang kami berikan lalu bergerak ke dalam kolom Bisa (Setuju), Ragu ragu, Tidak bisa (Tidak Setuju) sesuai dengan peran dan pemahaman mereka akan kesempatan peran yang mereka jalani.
Pernyataan yang kami buat menyangkut tentang akses kesehatan, kesempatan mendapatkan pendidikan, akses layanan masyarakat, pernikahan usia dini dan perlindungan hukum jika menjadi korban kekerasan.
Di saat saya menanyakan tentang “mudah untuk mengakses fasilitas kesehatan” mereka pun membagi barisan di 3 tempat yang sudah kami sediakan. Ada yang bergerak ke kolom Ya/Bisa dikarenakan mendapatkan peran sebagai anggota DPRD dan Istri anggota DPRD, dan Ragu-ragu untuk petani Laki-laki/Perempuan dikarenakan mereka beropini cukup sulit mendapatkan aksesnya dengan baik, sampai kolom Tidak Bisa/Tidak Setuju seperti yang berperan sebagai anak jalanan Laki-laki/Perempuan dikarenakan mereka merasa kaum minoritas kurang mendapat perhatiaan.
Sampai di pertanyaan terakhir kami tentang jika menjadi korban kekerasan mereka dapat melaporkannya ke pihak yang berwajib, mereka pun menempati bloknya masing masing di mana di barisan Ya/Bisa masih ditempati oleh yang berperan sebagai profesi istri anggota DPRD, istri pemilik pabrik, dst. Di kolom Ragu-ragu ada petani Laki-laki/Perempuan serta supir angkot. Lalu, di kolom Tidak Bisa/Tidak Setuju dihuni oleh golongan minoritas anak jalanan Laki-laki/Perempuan, pengangguran lulusan SD, dll.
Setelah semua pernyataan habis kami memberikan kesempatan peserta untuk menyimpulkan tentang apa saja yang dapat mempengaruhi gender power seseorang, dan mereka mulai membuka pemahaman bahwa ternyata laki-laki pun bisa menjadi korban kekerasan karena adanya relasi kuasa yang dibentuk oleh status sosial, faktor ekonomi dan budaya yang berlaku. Kami memberikan informasi tentang bentuk-bentuk kekuasaan: Power over, Power within, Power with, Power to, dan Powerless .
Kemudian memberikan pemahaman jika bentuk kekuasaan dapat bersifat destruksif (merusak) seperti Power over dan power less, karena kekuasaan menjadi tidak seimbang ketika kekuasaan itu digunakan untuk menekan orang lain seperti orang yang powerless. Akan tetapi kami juga memberikan informasi bahwa sebenarnya kekuasaan juga diperlukan untuk melakukan perubahan-perubahan yang positif, asalkan seharusnya kekuasaan itu digunakan untuk tujuan kesejahteraan bagi semuanya.
Kami pun menutup sesi Gender And Power dengan pernyataan “Pemimpin sejati selalu menjungjung tinggi nilai kesetaraan dan tidak menggunakan pengikutnya sebagai alas kaki” diikuti dengan nada setuju peserta.
Setelah selesai sesi kami, kami pun diberi kehormatan untuk ikut serta melihat sesi rahasia yaitu upacara lilin, semua peserta dan panitia berkumpul lalu menyalakan lilin yang dilanjutkan tentang harapan mereka satu per satu. Harapan dan tujuan mereka ke depan yang kami dengarkan membuat kami yakin bahwa mereka bisa melakukan kebaikan dan bertoleransi antar sesama manusia serta harapan akan menjadi seorang yang bisa melakukan kebaikan untuk sesama.
Minggu 22 Februari 2015
Walaupun sesi kami sudah habis tapi kami tetap datang untuk mengikuti camp ciremai, dan terlihat peserta masih asik mengikuti acara camp ciremai dengan antusias. Akhirnya saat perpisahan pun tiba, acara penutupan camp ciremai pun diakhiri dengan doa bersama lalu sesi foto bersama.
Sungguh pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga untuk kami. Bertemu dengan teman baru, karakter yang berbeda dari yang pernah kami alami sebelumnya serta keramahan para peserta dan panitia/fasilitator lainnya.
Kami pun berharap akan banyak ckegiatan seperti ini selanjutnya dengan daerah yang lebih luas serta berharap kerja sama semacam ini bisa untuk terus dilanjutkan agar bisa bergerak bersama untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Karena bagaimanapun kami tidak akan mungkin bisa mewujudkan hal tersebut jika kami melakukannya sendiri dan bersama kita akan bisa menjadi lebih baik lagi.