Menjadi Pemerkosa

Beberapa waktu terakhir seakan tak berhenti kabar tentang perkosaan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Berita-berita tersebut tidak disertai kabar penindakan yang memenuhi rasa keadilan atas pelaku kejahatan seksual sehingga berita perkosaan telah berubah menjadi teror yang menakutkan bagi perempuan. Berita perkosaan seperti mengabarkan kepada perempuan bahwa ruang publik tak lagi aman bagi perempuan. Pesan itu begitu terasa jika pembaca mendengar perbincangan sambil lalu di kalangan masyarakat: “Hati-hati ya kalau naik angkutan umum, jangan terlalu malam, pastikan bahwa ada teman dan tidak sendirian pada saat naik angkutan umum.”
Secara tidak langsung teror perkosaan juga memberi pesan kepada perempuan bahwa tempat perempuan adalah ruang domestik, bukan ruang publik. Pesan lainnya lagi adalah perkosaan merupakan ongkos yang harus dibayar perempuan karena melanggar batas-batas ruang tersebut. Dengan mengacu pada pesan implisit perkosaan tersebut maka tak berlebihan jika perkosaan juga dapat dikenali sebagai sebuah mekanisme kontrol terhadap perempuan atau alat untuk mendomestikasi perempuan. Atas dasar argumentasi inilah perkosaan tidak semata-mata persoalan kekerasan interpersonal atau kekerasan yang terjadi dalam relasi antarorang, akan tetapi merupakan kekerasan yang bersifat struktural karena perkosaan terkait dengan ide atau pandangan tertentu terkait dengan laki-laki dan perempuan, yakni pandangan yang memisahkan secara tegas ruang bagi perempuan dan laki-laki, pandangan yang menempatkan perempuan berada dalam posisi subordinat dan sebaliknya memposisikan laki-laki superordinat dalam sebuah sistem sosial yang hirarkis dan tidak adil.
Pendapat bahwa perkosaan adalah kekerasan seksual yang berdimensi struktural juga dapat dilihat dari bentuk respon negara yang cenderung abai terhadap persoalan perlindungan warga negara dari tindak kejahatan perkosaan. Bentuk-bentuk pengabaian itu dapat dikenali dari sikap menyalahkan kepada korban sebagaimana ditunjukkan oleh para pejabat publik di Indonesia. Ketiadaan sistem perlindungan yang meliputi mekanisme intervensi bagi korban, penindakan kepada pelaku serta ganti rugi yang efektif bagi korban.
***
Dalam kasus-kasus perkosaan, laki-laki adalah kelompok yang dianggap biang kerok. Hal ini tidaklah berlebihan karena laki-laki adalah mayoritas pelaku dalam kasus perkosaan yang terjadi di Indonesia. Sejauh pengamatan penulis, belum ditemukan informasi atau data kasus perkosaan yang melibatkan kelompok selain laki-laki sebagai pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lainnya. Perkosaan yang terjadi di ruang domestik, baik berupa incest maupun perkosaan terhadap pasangan, pelakunya pun didominasi oleh laki-laki. Perkosaan di ruang publik juga dilakukan oleh laki-laki. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan, sejak tahun 1998 sampai 2010, setidaknya, terjadi 4.845 kasus perkosaan yang dilaporkan (Komnas Perempuan, 2011). Demikian juga dalam situasi konflik. Terekam dalam dokumentasi Komnas Perempuan bahwa di Indonesia antara tahun 1998-2010 telah terjadi 1.503 kasus kekerasan seksual dari 3.283 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik seperti Aceh, Poso, Maluku, Papua, Timor Leste, Tragedi 65, dan Mei 1998 (Komnas Perempuan, 2011).

www.tanjungpinangpos.co.id
Ketika, secara statistik, laki-laki dikenali sebagai mayoritas pelaku tindak perkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penting untuk mencari jawaban mengapa laki-laki cenderung melakukan perkosaan atau kejahatan seksual lainnya? Apakah kecenderungan itu melekat (given) pada laki-laki? Mungkinkah terjadi sebaliknya? Apakah mungkin laki-laki dapat terlibat dalam upaya menanggulangi perkosaan?
Tak dipungkiri, dalam tatanan sosial kita yang patriarkhis, laki-laki memandang dirinya superior atas perempuan, tak terkecuali dalam hal seksualitas. Laki-laki memahami dirinya sebagai subyek seksual dan sebaliknya memahami perempuan sebagai obyek seksual. Pemahaman ini dapat dilacak dari anggapan yang hidup di dalam masyarakat, misalnya bahwa laki-laki dianggap memiliki dorongan seksual yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki cenderung diterima membincang masalah erotisme secara terbuka dibandingkan perempuan, bahkan masyarakat cenderung memberi nilai kepada laki-laki yang menunjukkan diri sebagai penyerang dan pengejar aktivitas seksual. Lebih jauh laki-laki diajarkan untuk mengasosiasikan aktivitas seksual, bukan semata sebagai keintiman akan tetapi penguasaan dan penaklukan (Elya Munfarida, 2009). Atas dasar anggapan ini maka laki-laki yang memiliki pasangan lebih dari dari satu (poligami) mendapatkan posisi superior dalam hirarkhi kelelakian karena hal tersebut menunjukkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Menjadi subyek seksual merupakan bagian dari konsep menjadi laki-laki atau konsep maskulinitas yang hidup dan diyakini oleh laki-laki di dalam masyarakat.
Laki-laki harus dapat menunjukkan diri sebagai pengejar aktivitas seksual dan aktivitas tersebut diibaratkan sebagai perang (baca: penguasaan dan penaklukan). Kegagalan laki-laki membuktikan diri sebagai pengejar aktivitas seksual yang tangguh berarti kegagalan menjadi laki-laki. Kecenderungan laki-laki menjadi agresif secara seksual adalah buah dari proses belajar secara sosial yang dilalui laki-laki baik melalui pola asuh, sosialisasi laki-laki dengan laki-laki lainnya, atau melalui norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Menjadi memperkosa bukan hal yang melekat kepada laki-laki. Sistem sosial-lah yang membuat laki-laki menjadi pemerkosa. Pandangan bahwa laki-laki menjadi pemerkosa sebagai akibat dari konstruksi sosial bukanlah pemaafan kepada laki-laki yang memperkosa karena perkosaan tetaplah perkosaan dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus mendapatkan hukuman yang memenuhi rasa keadilan korbannya.
Pandangan laki-laki memperkosa adalah akibat dari konstruksi sosial dan bukanlah inheren pada diri laki-laki untuk menegaskan bahwa laki-laki pada dasarnya memiliki pilihan untuk tidak menjadi pemerkosa dan hidup menjadi lebih beradab dan manusiawi. Dan ketika menjadi pemerkosa itu adalah melalui sebuah proses pembelajaran yang dilalui laki-laki maka laki-laki dapat melakukan pembelajaran baru yang memungkinkan laki-laki untuk dapat menghargai integritas tubuh perempuan seperti dia menghargai integritas tubuhnya sendiri.
Dengan pandangan ini, laki-laki tidak semata-mata dianggap sebagai biang kerok dari persoalan perkosaan, akan tetapi laki-laki juga dapat dijadikan sebagai mitra untuk dapat terlibat aktif dalam upaya penghapusan perkosaan di Indonesia. Karena laki-laki juga memiliki kepentingan dalam upaya penghapusan perkosaan, yakni terlepas dari stigma sebagai biang kerok, berperilaku tidak manusiawi, serta kepentingan laki-laki untuk membangun kehidupan yang adil dan bebas dari kekerasan.
Upaya pelibatan laki-laki ini dapat dijadikan sebagai pelengkap dari upaya-upaya lain, seperti membangun sistem perlindungan bagi perempuan dari tindak perkosaan yang meliputi mekanisme pencegahan, penanganan, penindakan kepada pelaku yang memenuhi rasa keadilan dan ganti rugi yang efektif bagi mereka yang menjadi korban perkosaan. Semoga.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *