Ada seorang perempuan muda yang saya kenal, sebut saja dia Abbie. Abbie adalah perempuan lajang yang cerdas dan berpendidikan, bahkan bisa dibilang progresif. Bacaannya Marxisme, filsafat, psikologi, sastra internasional.
Jika Abbie menulis cerpen, cerpennya selalu out of the box. Hobinya di waktu senggang antara lain menganalisis lirik lagu boyband populer yang seksis. Meski baru saling kenal sebentar melalui media sosial, Abbie adalah salah satu teman diskusi paling asyik yang saya punya.
Suatu hari, Abbie diperkosa.
Abbie menceritakannya kepada saya melalui aplikasi chatting. Abbie bilang, dia tahu saya seorang dokter yang punya perhatian terhadap isu gender dan seksualitas; itu sebabnya dia mau bercerita. Pertanyaan pertama yang Abbie ajukan pada saya adalah, “Aku sendiri masih bingung ini pemerkosaan dan kekerasan seksual atau bukan. Mungkin kamu bisa kasih perspektif?”
Cerita Abbie dimulai dengan obrolannya bersama salah seorang teman baiknya, seorang lelaki. Abbie dan lelaki ini – sebut saja Tom – sudah lama berkawan, sering hang out bersama, cerita-cerita, terbuka satu sama lain. Tom adalah seorang lelaki dengan reputasi “bad boy” – yang diam-diam sedikit ditaksir Abbie, tapi tidak pernah ada hubungan romantis antara mereka. Pun mereka tak pernah saling menghakimi kelakuan masing-masing.
They’re good buddies, that’s all.
Abbie dan Tom sudah beberapa lama tidak bertemu karena Tom bekerja di luar kota. Tom mengajak mereka hang out lagi, liburan di kota Tom. Saat itu, Abbie sedang dalam keadaan kemrungsung karena beberapa masalah pribadi. Abbie merasa butuh liburan yang menyenangkan. Maka pergilah dia.
Selama di kota Tom, sementara Tom bekerja, Abbie berjalan-jalan diantar seorang teman Tom – yang khusus diminta Tom untuk menemaninya. Tom, sang sahabat yang perhatian. Get away yang menyenangkan untuk Abbie.
Suatu malam mereka bertiga hang-out di sebuah bar. Biasa saja, seperti anak-anak muda urban biasanya – nge-beer, mengobrol, tertawa. Abbie sesungguhnya bukan peminum berat, juga bukan anak clubbing. Biasanya dia hanya minum bir, atau mencicipi wine sesekali. Tapi malam itu, Tom dan temannya menyuguhi Abbie dengan arak lokal, yang enak, dan dikira Abbie tidak terlalu keras.
Malam itu, Abbie mabuk paling berat dalam hidupnya.
Mereka pulang. Sebelum pulang, Abbie ingat Tom bertanya, “Jadi aku pulang ke kosanku atau ke hotelmu, nih?” Abbie tidak terlalu ingat apa jawabannya. Mungkin “terserah”? Entahlah. Abbie pulang ke hotelnya, diantar teman Tom. Tom entah naik apa. Ia meminta Abbie untuk menunggunya di lobi hotel.
Abbie dan Tom bertemu di lobi, lalu naik ke kamar. Sampai di kamar, Abbie sudah nyaris blackout. Abbie tidak ingat banyak, mungkin cuma 20%. Samar-samar ia ingat Tom bergerak di atasnya, Abbie entah dipegangi atau diperintah agar tetap diam.
Abbie baru sadar ketika ia merasa sakit. Dan melihat darah. Darah. Ia bangun, pergi ke kamar mandi, bermaksud membersihkan diri. Dan darah di mana-mana. Bukan cuma bercak, tapi mengalir dari antara pahanya. Di seprai, di bedcover, di karpet yang menutupi lantai. Di lantai kamar mandi, di bathtub. “Kayak serial pembunuhan aja,” cerita Abbie pada saya.
Akhirnya Abbie duduk di bathtub supaya tidak semakin mengotori tempat lain. Tom pergi keluar sebentar membeli pembalut, lalu berkata bahwa mereka harus ke dokter. Waktu Tom kembali, Abbie sudah nyaris pingsan.
Abbie masuk Unit Gawat Darurat (UGD) malam itu. Ia mengalami perdarahan berat, hingga hemoglobinnya tinggal separuh dari jumlah seharusnya. Setelah itu, operasi, tranfusi. Saat bercerita pada saya, Abbie baru pulang dari kontrol jahitan di dinding vaginanya, yang mengalami robekan hingga 6 cm. Sesuatu yang juga menjadi pertanyaan Abbie.
“Aku benar-benar nggak ingat waktu itu gimana. Memangnya gesekan penis ke vagina itu bisa separah apa, sih? Kira-kira artinya dia main brutal, atau cuma karena kurang foreplay, atau gimana?” Abbie memang baru pertama kali melakukan hubungan seksual. Jujur, saya juga bingung.
Saya pernah mendengar tentang pemerkosaan yang brutal hingga korban mengalami perdarahan hebat, tapi tidak pernah menyaksikan sendiri. Robekan vagina yang pernah saya lihat dengan perdarahan banyak hanyalah pada seorang ibu yang habis melahirkan, itu pun kehilangan darah lebih sedikit. Sempat tebersit dalam pikiran saya, jangan-jangan Tom memasukkan benda tajam ke dalam vagina Abbie.
Dan Abbie sempat berkata, “Sampai sekarang aku masih bingung soal consent aku ke Tom. Bahkan aku sempat merasa bersalah, minta-minta maaf sama dia.”
Keluarga Abbie tidak berencana menuntut secara hukum. Abbie pun tidak. “Aku nggak akan bikin jadi kasus Sitok kedua,” katanya. Keadaan Abbie yang mabuk saat itu membuatnya tidak yakin penyelidikan kasusnya akan berjalan lancar, meskipun jika saat itu dilakukan visum secara medis, saya kira cedera yang ada akan cukup jelas untuk dijabarkan. Jadi, Abbie dan keluarganya memilih penyelesaian kekeluargaan.
Menurut Abbie, di tengah sebuah diskusi panas bersama Abbie, ibu Abbie, (saat itu masih) pacar Abbie, dan Tom, lelaki itu sempat dipojokkan oleh kekasih Abbie. Dan Tom menjawab, “Aku cuma korban dari pusaran masalahnya Abbie.”
Korban. Dia. Bukan Abbie.
Tom juga sempat berjanji akan ikut bertanggung jawab – garis bawahi kata “ikut” – dengan datang ke kota Abbie dan menanggung separuh biaya pengobatan. Sampai hari ini belum ada kabar darinya. Semua kontak dengan Abbie di media sosial dan aplikasi chatting diblok. Tom hanya bersedia melakukan kontak lewat salah satu teman baik mereka.
Itulah kisah Abbie.
Definisi “pemerkosaan” sesungguhnya adalah “hubungan seks tanpa persetujuan”. Rape is sex without consent. Sungguh sederhana.
Namun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pemerkosaan” adalah “proses, perbuatan, cara memerkosa”. “Memerkosa” sendiri diartikan sebagai “menundukkan dng kekerasan; memaksa dng kekerasan; menggagahi; merogol”.
Dari segi hukum, menurut pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, “pemerkosaan” (atau “perkosaan” seperti ditulis dalam KUHP) adalah “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan”.
Satu, harus ada kekerasan dan ancaman. Dua, korban haruslah perempuan, yang tidak dalam ikatan perkawinan dengan pelaku. Tiga, harus ada persetubuhan, yang artinya penetrasi penis ke vagina – memasukkan benda-benda lain ke dalam vagina, seks oral, atau seks anal tidak termasuk.
Pasal 286 KUHP juga menyebutkan, “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya….” – menambahkan perihal korban yang tidak berdaya secara fisik atau pingsan.
Saya bukan ahli hukum. Tapi, saya tetap berpendapat bahwa, ya, menurut definisi pemerkosaan di Indonesia yang sangat sempit itu sekalipun, Abbie memang diperkosa. Tapi, Yuyun yang diperkosa beramai-ramai dan dibunuh saja ada yang mempersalahkan.
Saya mulai bisa membayangkan kalimat-kalimat sumir yang akan dilontarkan sebagian orang pada Abbie. “Lha, siapa suruh mabuk?” “Kok, pergi sama laki-laki, perempuan sendirian, mabuk-mabukan lagi?” “Kok, anak perawan mau disamperin laki-laki ke hotel, sampai masuk kamar lagi?” Itu baru pendapat orang biasa.
Belum lagi kalau pendapat itu mulai dijadikan pertanyaan oleh pengacara, atau malah oleh penyidik kepolisian sendiri. Belum lagi soal pakaian dan clubbing. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Saya dan Abbie bercakap-cakap soal consent, atau persetujuan, terhadap suatu hubungan seksual. Dalam kasus Abbie, menurut saya sudah jelas: tak ada consent, karena yang bersangkutan dalam keadaan tak dapat memberikannya dengan sadar dan bertanggung jawab. Itulah arti consent sesungguhnya: persetujuan yang diberikan dengan tegas, sadar, tanpa paksaan, dan disertai pemahaman atas segala konsekuensinya.
Tapi saya secara pribadi pernah memiliki pengalaman lain soal consent. Hubungan seksual saya yang pertama kali saya lakukan dengan seorang mantan kekasih saat saya SMA. Saya sudah tidak terlalu ingat detailnya, tapi yang saya ingat adalah hubungan saya dengannya selama 2 tahun lebih sedikit bukan hubungan yang sehat secara emosional. Mantan saya itu, meski tak pernah melakukan kekerasan fisik atau berkata kasar, adalah seorang pencemburu, posesif, dan pandai membuat saya merasa bersalah atau rendah diri. Sejak hubungan pertama itu, dia sering meminta jatah dengan segala bujuk rayu. Termasuk meminta eksperimen seperti seks anal.
Mungkin perempuan lain pernah merasakan apa yang saya alami. Dibujuk rayu, didesak-desak, dimanipulasi secara emosi, pokoknya bagaimana caranya agar kita mau memberikan apa yang diminta. Sampai hari ini, saya pun masih berkutat dengan pertanyaan ini: apakah pada waktu itu saya, seorang bocah SMA dengan kepercayaan diri rendah dan korban bullying di sekolah yang setengah mati takut ditinggalkan kekasih, betul-betul telah memberikan consent? Di masa-masa itu, saya bahkan pernah melakukan percobaan bunuh diri karena ia mengancam meninggalkan saya. Kisahnya saya tuliskan di sini.
Entahlah. Kisah Abbie membuat saya ngeri. Lebih daripada karena kekerasan yang dialaminya, saya ngeri mendengar seorang perempuan cerdas dan terdidik masih bingung, apakah pemerkosaan yang dialaminya adalah suatu pemerkosaan atau bukan. Betapa dalam cara berpikir patriarkis berakar dalam kepala kita semua. Betapa mengakar patriarki dan bias gender dalam kehidupan kita.
Entahlah pula, apakah apa yang Abbie dan saya alami akan bisa dicegah bila kita mengajarkan sejak dini kepada anak-anak kita tentang otoritas kepemilikan tubuh? Bahwa tubuh kita adalah milik kita sendiri, otoritas kita sendiri? Bahwa kita harus selalu menghargai otoritas orang lain atas tubuh mereka? Bahwa tubuh kita tidak boleh dijadikan obyek, apalagi dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan baik kekuasaan antarpribadi, gender, budaya, agama, maupun politik?
Bila kita mengajarkan pada anak-anak kita sejak dini, bukan cuma soal apa yang akan membuat mereka masuk surga atau neraka, tapi juga tentang Hak Asasi Manusia dan bahwa semua orang memiliki derajat serta kehormatan yang sama, apakah semua ini akan berakhir?
Bila Tom paham tentang itu semua – dan bukan seorang pengecut – apakah ia akan tetap memerkosa Abbie?