Pemerkosaan adalah bentuk kejahatan yang hampir sama sekali tidak memiliki celah alasan paling rasional yang bisa dinalar oleh akal sehat. Tidak ada satupun. Suatu jenis kejahatan yang hanya benar-benar bertumpu oleh kesalahan si pelaku sedari awal. Salah satu jenis kejahatan yang terjadi murni karena human error dan juga ambisi pribadi. Sulit rasanya membayangkan bahwa tindakan pemerkosaan terjadi semata-mata karena adanya tekanan eksternal di luar diri si pelaku.
Lucunya, entah mengapa, seperti banyak artikel dan tulisan sebelumnya, ada fakta menarik tentang cara berpikir absurd seorang pemerkosa melakukan victim blaming untuk menjelaskan alasannya memperkosa. Tidak kah rasanya aneh menyalahkan korban yang rata-rata perempuan atas cara berpakaiannya yang dianggap vulgar di mata si pemerkosa? Bahkan saya tidak menemukan titik temunya.
Dari seringnya sang pelaku melakukan pembelaan dengan cara tersebut membantu saya merefleksikan bahwa sesungguhnya jati diri seorang pemerkosa adalah seorang pengecut. Argumentasinya adalah keinginan besar untuk lari dari tanggung jawab. Tanggung jawab ini saya bagi dua: tanggung jawab terhadap hukum dan tanggung jawab kepada korban juga keluarganya.
Boleh jadi ini adalah sebuah hal spontan umum dirasakan oleh orang yang berbuat salah. Tetapi, saya kira ada bedanya untuk diri si pemerkosa. Perbedaan signifikannya adalah pikiran utamanya untuk menetralisir bahwa dirinya dan tindakannya sebetulnya tidaklah salah. Selalu ingin mencari aman dengan cara memojokkan si korban. Selalu ingin mencari aman.
Ya, pemerkosa adalah seorang patriarkis yang surplus nafsu, defisit tanggung jawab.
Mental Pengecut Pemerkosa
Hal yang paling klise dan menjijikan dari tindak pemerkosaan adalah pemerkosa selalu berlindung di balik dalih irasional untuk mengeruk keuntungan total bagi dirinya sendiri dan menciptakan kerusakan total bagi orang lain. Dan, sejarah sudah membuktikan itu.
Di Indonesia misalnya, studi dalam buku yang ditulis oleh Anna Mariana berjudul “Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru” berhasil menunjukkan bahwa pada kedua rezim itu, semua tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dilegalkan atas nama dalih politik.
Pada rezim Jepang, tentara laki-laki boleh saja datang ke ianjo (rumah bordil) sebagai kompensasi atas kerja keras berperang seharian. Selain itu, berdalih bahwa harus ada pemuas hawa nafsu karena jauh dari rumah. Sedangkan, pada rezim Orde Baru, lebih tidak masuk akal lagi, pencabulan, pemerkosaan dan segala tindak kekerasan seksual lain dilakukan dengan dalih “Anti-PKI”. Aneh bukan?
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Ada ragam dalih aneh dan irasional lainnya. Salah satu dalih yang paling menggelikan adalah ingin memastikan bahwa seorang anak perempuan itu masih perawan atau tidak. Terlebih, untuk menguatkan dalihnya, menggunakan tameng atas nama moral dan agama.
Dan, yang paling umum adalah dalih bahwa korbannya berpakaian seksi dan mengundang syahwatnya. Padahal, pada akhirnya kita tahu bersama-sama bahwa korban pemerkosaan tidak selalu berpakaian seksi, bahkan korban dengan pakaian sangat tertutup pun tidak lepas dari sesat berpikirnya seorang pemerkosa.
Pertanyaan mudah bila kita ingin melakukan deadlock terhadap pola pikir pemerkosa adalah apa hubungannya antara ketiga hal tersebut dengan tindakan yang dilakukannya? Bahkan, jikalau ini kita jadikan sebuah pertanyaan penelitian kuantitatif, korelasi antara variabel independen dengan variabel dependennya sama sekali tidak berkorelasi. Akan gagal sejak awal penelitian. (Tentu seorang pemerkosa tidak akan sampai pada pemikiran seperti itu.)
Patut dicatat, pemerkosa tidak hanya menggunakan dalih untuk membenarkan tindakannya tetapi juga ingin berdalih sedemikian rupa untuk lolos dari jerat hukum dan tanggung jawab. Karena pemerkosa adalah pengecut sejati maka ia harus melakukan hal itu.
Sialnya, pemerkosa yang memang dasarnya malas berpikir, hanya berujung pada dua hal: kabur atau menghilangkan jejak. Berkaca pada kasus Yuyun, para pelaku melakukan tindak kriminal lanjutan pada dengan cara membunuh untuk menghilangkan jejak. Bukankah, sekali lagi, itu adalah tindakan pengecut?
Lalu, pun berhadapan dengan hukum, ia tetap ingin berlindung di balik dalih bahwa apa yang dilakukannya atas dasar khilaf dan dalih lainnya. Oh ya, saya ingat satu alasan paling klise digunakan oleh seorang pemerkosa adalah mengatasnamakan “suka sama suka” hanya untuk aju banding agar hukuman pidananya diturunkan. Lagi-lagi ia ingin kabur dari masalah.
Mari kita deadlock kembali pikiran seorang pemerkosa dengan pertanyaan, “seandainya Anda sudah menikmati kepuasan seksual dan telah senang karena berhasil menunjukkan kejantanan Anda pada korban, maka apakah Anda bersedia diberikan hukuman yang sama, seperti kebiri?”
Seyakin-yakinnya saya bahwa mereka akan menolak mentah-mentah hukuman yang menyangkut organ seksualnya. Itu baru satu opsi saja, bagaimana dengan opsi hukum memberatkan lain. Padahal, mereka jauh lebih merusak tidak hanya organ vital tetapi juga seluruh kehidupan si korban? Seharusnya pemerkosa itu harus menerima segala hukuman yang setimpal atas tindakan dengan senang hati, bukan?
Dan, bukankah hanya seorang pengecut yang hanya berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab?