Bulan lalu, seorang remaja perempuan bernama Yuyun diperkosa oleh 14 remaja laki-laki di Bengkulu dan kemudian dibunuh. Dia baru berusia 14 tahun. Seorang gadis muda, dengan begitu banyak mimpi dan harapan untuk masa depan, sekarang hanya tinggal kenangan untuk keluarganya
Coba bayangkan peristiwa itu dalam sesaat.
Bajingan sinting macam apa yang berbuat demikian?
Cerita ini hanya didengar baru-baru ini, ketika kelompok feminis dan pendukung hak-hak perempuan memprakarsai hashtag #NyalaUntukYuyun (Light Up untuk Yuyun) yang telah memperoleh perhatian di Twitter, meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual yang mempengaruhi perempuan di negara ini.
Kemarahan, duka, kemurkaan, semua dinyatakan oleh seluruh bangsa. Banyak orang Indonesia yang mengutuk insiden tercela dan biadab ini, yang sayangnya bukan satu-satunya. Hasil yang diharapkan dari momentum ini adalah agar reformasi hukum yang akan dibuat, yang salah satunya saya harapkan akan lulus. Rancangan undang-undang yang saya maksudkan di sini adalah untuk memberikan hukuman penjara maksimal 15 tahun untuk pelaku kejahatan seks dan akan mencoba untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban perkosaan. (Anda dapat mendukung rancangan undang-undang ini dengan menandatangani petisi di sini, mendesak pemerintah untuk mempercepat peninjauan). Saya berkeyakinan bahwa perkosaan dan kekerasan seksual harus menjadi tanggung jawab penuh pelaku dan tidak boleh ada keringanan hukuman atau faktor mitigasi yang diberikan kepada mereka.
Tentu saja, tidak semua orang setuju dengan saya. Fahira Idris, seorang anggota parlemen sayap kanan, telah menyerukan regulasi yang lebih ketat pada alkohol, mengusulkan untuk bahkan melarangnya, karena beliau percaya bahwa alkohol adalah sumber dari kejahatan dalam masyarakat kita. Sementara saya setuju bahwa alkohol berdampak buruk pada pikiran dan penilaian waras seseorang dan saya pikir seharusnya tidak dapat diakses oleh semua orang – pemerkosaan dan kekerasan seksual bukan hanya karena alkohol. Untuk menyalahkan alkohol hanyalah mengurangi tanggung jawab pelaku dari tindakan mereka. Dan hal tersebut menunjukkan sistem cacat yang kita miliki yang melanggengkan budaya perkosaan.
Sebelum itu, apa budaya perkosaan? Para editor dari Transformasi Budaya Pemerkosaan mengartikannya sebagai “keyakinan kompleks yang mendorong agresi seksual laki-laki dan mendukung kekerasan terhadap perempuan [dan anak perempuan], sebuah masyarakat di mana kekerasan dipandang sebagai seksi dan seksualitas sebagai kekerasan, dan kontinum ancaman kekerasan yang berkisar dari pernyataan seksual hingga sentuhan secara seksual hingga pemerkosaan itu sendiri. Budaya perkosaan membenarkan terorisme fisik dan emosional terhadap perempuan [dan anak perempuan] dan menyajikannya sebagai norma. ”
Apa yang akan terlihat seperti “keyakinan kompleks”? Dalam tanggapannya terhadap artikel Caroline’s Kitchen yang konservatif ini, analis politik Zerlina Maxwell memberi contoh mitos perkosaan yang berkontribusi terhadap budaya pemerkosaan. Ini termasuk keyakinan seperti: “. Hanya perempuan ‘nakal’ yang diperkosa”; “Pemerkosaan berkaitan dengan seks.”; “Perempuan memancing laki-laki untuk memperkosa.”; “Pemerkosaan hanya terjadi pada perempuan muda yang menarik.”; “Perempuan diam-diam menikmati diperkosa.”
Lantas, bagaimana Indonesia memiliki masalah budaya pemerkosaan?
Pertama, sistem pendidikan kita kacau, oke? Secara harfiah tidak ada pendidikan seks dalam kurikulum kita. Saya mendapatkannya hanya karena saya memiliki hak istimewa untuk belajar AS selama 2 tahun dan mereka mengajarkan kita pendidikan seks saat kelas 4. Biar lebih jelas, pendidikan seks yang saya maksudkan adalah kelas yang dibentuk untuk membahas seks sebagai kegiatan dan beberapa aspek terkait – dari kesehatan, psikologi, dampak sosial, dan lain-lain – tidak hanya pelajaran biologi sederhana dengan “oh lihat, inilah penis dan inilah vagina, ini adalah anatomi mereka, dan jadilah, pendidikan seks! “. Di sini, anak-anak perempuan terus-menerus diceramahi untuk mempertahankan keperawanan mereka atau tidak akan ada pria yang ingin menikahi mereka. Tidak ada satu anak laki-laki pun yang pernah diajarkan untuk tidak memperkosa. Mungkin ini dianggap masuk akal, tapi tidak ada yang secara eksplisit memberitahu anak laki-laki dan ini tidak baik. Kita perlu diskusi terbuka dan jujur tentang persetujuan, dan pendidikan seks adalah satu-satunya platform yang dapat menjangkau setiap orang.
Lucunya, ketika kejahatan seksual terjadi, terutama yang dilakukan oleh anak di bawah umur, ‘psikolog’ dan politisi Indonesia dengan sigap langsung menyalahkan: baik itu karena alkohol, pornografi, terlalu banyak kebebasan berinternet, pamer aurat yang berlebihan, kelompok teman yang ‘terlalu liberal’, dan daftarnya semakin panjang. Mengapa tidak menyalahkan kurangnya pendidikan seks? Karena lebih mudah untuk menyalahkan pengaruh luar lainnya, bukannya mengakui bahwa kita telah melakukan kesalahan dengan tidak mendidik generasi muda kita dengan benar.
Kedua, hal ini diperparah oleh budaya patriarkal kita. Anak perempuan disuruh untuk berbusana serba tertutup dan ‘sederhana’, sehingga tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan. Saya pernah melihat ibu yang malu anak perempuan mereka mengenakan rok yang terlalu pendek. Yang membuatnya begitu mengerikan adalah bahwa hal itu menyiratkan: “Pastikan kalian memperkosa gadis lain”. Narasi konstan ini mengabadikan budaya menyalahkan korban, yang merupakan bagian integral dari budaya perkosaan.
budaya perkosaan adalah memberitahu anak perempuan dan perempuan dewasa untuk berhati-hati dengan busana yang Anda kenakan, bagaimana Anda memakainya, bagaimana Anda membawa diri, di mana Anda berjalan, ketika Anda berjalan di sana, dengan siapa Anda berjalan, siapa yang Anda percaya, apa yang Anda lakukan, di mana Anda melakukannya, dengan siapa Anda melakukannya, apa yang Anda minum, berapa banyak Anda minum, apakah Anda melakukan kontak mata, jika Anda sendiri, jika Anda dengan orang asing, jika Anda dalam kelompok, jika Anda berada di sekelompok orang asing, jika di tempat gelap, jika di daerah tidak dikenal, jika Anda membawa sesuatu, bagaimana Anda membawanya, jenis sepatu yang Anda kenakan jika Anda harus berlari, apa jenis tas yang Anda bawa, perhiasan yang Anda kenakan, pukul berapa, di jalan apa, di lingkungan mana, berapa banyak orang yang tidur dengan Anda, orang macam apa yang tidur dengan Anda, siapa teman-teman Anda, kepada siapa Anda memberikan nomor Anda, siapa yang ada bersama Anda saat kurir antar-pesan datang, di apartemen mana Anda dapat melihat siapa di pintu sebelum mereka dapat melihat Anda, untuk memeriksa sebelum Anda membuka pintu untuk kurir pesan-antar, haruskah memelihara anjing atau mesin pembuat suara anjing, untuk mendapatkan teman sekamar, untuk ikut bela diri, untuk selalu waspada selalu memperhatikan selalu menengok ke belakang Anda selalu waspada dengan sekitar Anda dan tidak pernah membiarkan Anda lengah sejenak supaya Anda tidak diserang secara seksual dan jika Anda tidak mengikuti aturan itu maka Anda-lah yang salah. – Sesuai pernyataan Melissa McEwan dalam Budaya Pemerkosaan 101
Tapi tidak ada yang pernah mengajari anak-anak laki-laki agar tidak memanggil-manggil atau bersiul pada perempuan di jalanan (catcalls). Bahkan, banyak yang bangga melakukannya. Banyak yang menganggapnya pujian bagi perempuan dan seharusnya perempuan merasa senang/tersanjung. Yang sangat mengkhawatirkan dari tindakan catcalling ini adalah bahwa catcaller yang tidak tahu bahwa mereka sadar sasaran mereka tidak akan serta-merta lari ke pelukan mereka dan memohon ‘ayo, saatnya berhubungan seks dengan saya, sekarang!’. Seringnya, mereka tahu itu dan mereka tidak melakukannya untuk itu. Para laki-laki yang berteriak ‘toket (payudara, red.) gede!’ atau ‘mbak, seksi koq cemberut, senyum dong!’ tidak berusaha mengencani Anda. Mereka berusaha untuk mempermalukan Anda, menunjukkan posisi dominasinya atas Anda. Ini merupakan kebiasaan menunjukkan kekuasaan laki-laki, dengan cara berkomunikasi: Saya bisa ngomong dan melakukan apa saja ke kamu, nggak peduli itu pantes atau kamu merasa nggak nyaman, dan coba tebak? Kamu nggak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya’. Catcalling bukan pujian, tapi intimidasi secara psikologis.
Tapi setiap kali kejahatan seksual terjadi, yang disalahkan lagi-lagi: Waktu itu kamu lagi pakai baju apa?Kamu kali, yang ganjen? Ngapain kamu keluar malam-malam? Ngapain jalan sendirian? Mengapa tidak menyalahkan para laki-laki? Karena lebih menguntungkan dan secara budaya lebih diterima bila yang disalahkan adalah perempuan.
Ketiga, penegakan hukum kita memuakkan bagai neraka. Sistem hukum kita mengharuskan jika Anda ingin menuntut, Anda akan perlu bukti fisik dan minimal 2 saksi. Hukum pidana Indonesia tidak mengakui perkosaan dalam pernikahan, itu hanya terintegrasi kemudian di UU KDRT. Yang dianggap pemerkosaan juga hanya penetrasi ke vagina, jadi jika ada orang yang memaksa orang lain untuk melakukan seks anal atau oral seks, hal itu tidak dianggap sebagai perkosaan, melainkan hanya sebagai pelecehan seksual (perbedaan terminologi ini benar-benar penting dengan separah apa perbuatan tersebut di mata pengadilan dan hukum). Bagian terburuknya: perempuan hanya dapat membuktikan bahwa dia tidak menyetujuinya dengan, dan hanya dengan, adanya bukti fisik kekerasan atau ancaman kekerasan – yang berarti jika dia bilang “tidak” tidak bilang “boleh/mau” tidak cukup untuk menjadi bukti bahwa dia tidak setuju. Batasan yang tidak menguntungkan ini semakin menyulitkan penyintas kasus perkosaan untuk mengadu. Bahkan ketika kasus-kasus ini bisa dilaporkan, hanya beberapa yang bisa sampai ke pengadilan, karena penegak hukum Indonesia biasanya meminta pelapor untuk “menempuh jalan damai dulu”, yang jadinya semakin menyiksa secara emosional.
Masalah ini sangat pribadi bagi saya. Saya diserang secara seksual ketika saya berusia enam tahun. Saya tidak pernah berbicara tentang hal itu kepada siapa pun. Rasanya traumatis sekali melihat pelakunya datang saat acara keluarga, berlagak kayak nggak pernah ada apa-apa.
Saya masih kecil waktu itu. Kepada siapa saya bercerita? Apa yang dapat saya lakukan? Siapa yang akan percaya pada saya?
Saya beruntung karena saya telah menemukan kekuatan dalam orang-orang di sekitar saya. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemewahan berupa dukungan kuat. Jadi seingin apa pun saya melihat agar rancangan undang-undang yang lebih keras disetujui, saya juga ingin reformasi pada aspek lain, karena budaya pemerkosaan jelas bukan masalah uni-dimensi dan saya berharap orang lain juga sepakat.
Source: medium.com