Setelah Pesta Tahun Baru ditiap awal tahun, kini masyarakat pun sibuk dengan ‘pesta’ berikutnya. Bulan Februari yang dikenal sebagai sebuah bulan yang penuh kasih sayang dan cinta, masyarakat dunia pun tentu tidak ada yang tidak tahu bahwa setiap tanggal 14 Februari akan ada sebuah perayaan besar bernama Valentine Day’s.
Perayaan Valentine Day’s dirayakan hampir di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Dirayakan oleh hampir sebagian besar penghuni bumi tak terkecuali para muda – mudi yang sedang dalam hubungan asmara. Euphoria Valentine Day’s sampai saat ini sepertinya masih menjadi sebuah kesepakatan bersama yang harus diperingati setiap tahun oleh sebagian besar remaja. Mindset para remaja seakan telah terprogram secara otomatis untuk memperingati 14 Februari sebagai hari untuk mengungkapkan kasih sayang. Namun seringkali kita menemukan banyak diantara para remaja itu menyalahgunakan moment Valentine Day’s sehingga menimbulkan efek negatif bagi remaja itu sendiri. Sebagian besar muda–mudi kita mengalami kesalahan berpikir karena menganggap, hari Valentine merupakan moment puncak untuk mencurahkan kasih dan sayang kepada setiap pasangannya. Mulai dari kartu ucapan, seikat bunga, sebatang cokelat hingga “kado special”.
Penulis tidak ingin berada dalam wilayah perdebatan soal boleh dan tidak boleh merayakan Valentine. Yang ingin penulis kupas dalam tulisan ini adalah modus kekerasan seksual berpayung kasih sayang yang sering terjadi pada setiap perayaan Valentine Day’s. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ajang perayaan Valentine Day’s dirayakan dengan cara saling memberi dan bertukar Kado seperti saling memberi bunga atau coklat kepada pasangannya yang dikenal dengan istilah pacar. Akibat kebiasaan yang saling memberi kado dalam bentuk barang maka tanpa disadari akhirnya dalam pola pikir mereka memunculkan presepsi bahwa di hari Valentine Day’s harus dirayakan dengan saling memberi sehingga cowok berani meminta kepada pasangannya untuk memberikan hubungan seks pra nikah sebagai bentuk kasih sayang dan pembuktian cinta. Dengan alasan pembuktian cinta dan kasih sayang merupakan jurus maut sang pria untuk meluluhkan hati ceweknya dan akhirnya si cewek pun termakan bujuk rayuan tersebut sebagai pembuktian cinta dan kasih sayang hingga terpaksa melakukan hubungan seks pranikah.
Yah inilah fenomena yang kemudian menunjukkan terjadinya kekerasan seksual yang tidak disadari oleh para pelaku dan korbannya. Dengan cara aman maupun tidak aman dalam berhubungan seksual pra nikah telah membuat lingkaran kekerasan yang tak terputus terjadi. Korbannya kemudian akan menyadari dan merasa mengalami kekerasan setelah sebulan kemudian panik karena terlambat menstruasi. Rantai kekerasan ini kemudian akan bersambung dengan pelaku menolak bertanggung jawab dan memaksa tindakan aborsi pada korban. Jika tindakan aborsi tidak dilakukan maka sang korban kemudian akan menjalani kehamilan dengan situasi psikologis yang sangat tidak mendukung. Jika pelaku menolak untuk bertanggung jawab maka sang korban siap tidak siap harus menjadi single parent’s pada usia yang masih sangat belia.
Apakah deskripsi di atas merupakan imajinasi penulis, perlu diingat bahwa dari tahun ke tahun kejadian kehamilan tidak direncanakan (KTD), aborsi serta ingkar janji menikah merupakan fenomena gunung es yang tak terbantahkan. Berbagai data menunjukkan kasus kekerasan tersebut masih saja menjadi musuh kemanusian yang belum tuntas penanganannya. Bahkan saat menulis tulisan ini, sebuah media lokal di kota Kupang sedang mengangkat berita utama tentang seorang suami yang ketahuan oleh istrinya menghamili perempuan muda lain (Kursor,13/01/2015).
Banyak alasan yang kemudian menjadi faktor pemulusan terjadinya kasus hubungan seksual pra nikah dalam relasi. Salah satunya adalah pemahaman yang keliru dalam memahami hakikat cinta, kecenderungan seks pra nikah di kalangan kaum terpelajar ini pada umumnya disebabkan oleh pemahaman yg salah tentang relasi. Hal ini bisa dipahami karena banyak remaja yang tidak mendapatkan informasi mengenai relasi seksual yang sehat. Masalah seksualitas dianggap tabu sehingga remaja tidak memiliki keterampilan hidup dalam menghadapi persoalan seperti. Karena ketidak-tahuan tersebut, banyak remaja justru tejebak dengan relasi yang tidak sehat dan penuh dengan kekerasan. Salah satunya adalah pemaksaan hubungan seks secara sepihak atas nama “cinta” di hari kasih sayang.
Menutup tulisan ini penulis ingin menumpahkan kesedihan penulis melihat kondisi diatas tentunya, pelaku yang notabene adalah seorang laki-laki, rela meninggalkan kesejatiannya sebagai lelaki yang semestinya untuk hidup setara dengan pasangannya serta membangun hubungan asmara yang sehat menuju mahligai rumah tangga yang diidamkan. Pahaman kesejatian yang keliru banyak dialami sebagian besar laki–laki yang dibesarkan dalam penjara patriarki yang menyajikan pahaman sejati semu nan keliru.
Salah satu pahaman yang keliru dikebanyakan laki–laki adalah dapat berhubungan badan dengan pacarnya merupakan bukti kelelakian. Hal ini terbukti dari survei partisipatoris yang dilakukan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang juga bergerak dalam isu kesetaraan yaitu CIS TIMOR, pada komunitas Laki–laki Baru pada awal masa pembentukan di 3 kelurahan di kota kupang dan 2 desa di kabupaten Kupang tahun 2014.
Sudah saatnya para laki–laki merubah paradigma berpikirnya untuk menyajikan kesejatian lelaki yang esensial dengan menumpahkan kasih sayangnya dengan jalan yang benar hingga membahagiakan perempuan yang kita cintai bukan malah sebaliknya kita menolak mereka ke jurang kesengsaraan seumur hidupnya. Karena laki – laki hidup dengan prinsip semakin anda sabar, setia, perhatian, penuh cinta kasih, supportif, egaliter, dan anti kekerasan maka anda semakin laki–laki.
Salam Laki – Laki Baru.
Penulis: Firmansyah A. D. Mara, S.KM, Penggiat ALB tinggal di Kupang
