Moral Panic atas Pernyataan Menteri Kesehatan

Beberapa hari setelah dilantik Menteri Kesehatan yang baru Nafsiah Mboi melontarkan pernyataan yang sangat biasa namun menuai reaksi yang luar biasa dari beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Pernyataan yang mengundang kontroversi tersebut kira-kira bunyinya begini, “Kampanye alat kontrsepsi mutlak dilakukan pada kelompok beresiko.” Nyaris tak ada masalah dalam pernyataan tersebut. Logis dan dapat dimengerti karena hanya dengan kampanye penggunaan alat kontrasepsi, upaya darurat untuk manahan laju penularan HIV dan AIDS yang meroket dapat dilakukan. Lebih-lebih ketika ditemukan kenyataan bahwa prosentase terbesar penularan HIV dan AIDS, menurut data tahun 2011, terjadi melalui hubungan seksual dalam relasi heteroseksual.
Sepertinya, pernyataan Menkes kemudian disalahpahami ketika Ia menyitir data BKKBN bahwa tahun 2010 dilaporkan sejumlah 2,3 juta remaja usia 14-24 tahun melakukan aborsi (yang kemudian disebut sebagai kelompok beresiko). Dari dua pernyataan ini kesimpulan diambil secara semena-mena, yakni Menkes menganjurkan penggunaan kondom kepada remaja secara menyeluruh. Berangkat dari kesimpulan yang tidak tepat inilah diduga hujatan bertubi-tubi menghampiri Ibu Menteri yang belum genap sebulan bekerja ini.
Reaksi yang begitu gencar datang dari berbagai kelompok, tak kurang salah satu petinggi organisasi keagamaan besar di Indonesia menyebut bahwa kampanye penggunaan kondom dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah pendekatan liberal. Reaksi ini menggiring terjadinya pergeseran wacana dari isu awal kampanye kontrasepsi untuk penanggulangan HIV dan AIDS kepada kelompok beresiko menjadi isu liberalisme versus agama. Para penentang Menkes menyebutkan bahwa hanya dengan pendidikan agama persoalan penularan HIV dan AIDS dapat ditanggulangi, dan pendidikan agama adalah cara yang dianggap tanpa efek samping seperti kampanye kondom yang dianggap dapat mengakibatkan tumbuhnya budaya seks bebas di kalangan remaja.
Kesan reaksioner dari beberapa kelompok masyarakat di Indonesia tidak dapat dihindarkan karena reaksi yang ditunjukkan lebih kental nuansa menghujat daripada memberikan solusi atas masalah sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakat kita. Atau kalaupun memberikan tawaran solusi, sifatnya sangat general dan belum tentu implementatif. Misalnya pendidikan agama. Pendidikan agama yang seperti apa? Bukankah selama ini pendidikan agama juga sudah dilakukan oleh berbagai institusi agama di Indonesia bahkan pengajian agama hampir setiap hari ditayangkan beberapa stasiun TV. Tawaran pendidikan agama tanpa desain yang jelas hanya akan menjadi jargon semata. Sementara mereka yang positive HIV dan AIDS dan memiliki perilaku seks aktif terus akan melakukan aktivitasnya dan jika tidak ada upaya darurat dan segera kemungkinan penularan akan terus terjadi dan akan semakin besar.
Pernyataan Menkes harus diletakkan dalam konteksnya. Konteks persoalan HIV dan AIDS di Indonesia inilah yang tampaknya tidak sepenuhnya dipahami oleh kelompok yang memberikan reaksi negatif atas pernyataan Menkes. Jika para penentang Menkes melihat persoalan HIV/AIDS di Indonesia berikut kompleksitasnya mungkin para penentang akan memiliki pandangan yang berbeda. Jika para penentang pernyataan Menkes tersebut memiliki keterlibatan langsung dalam perjuangan menghambat laju penularan HIV dan AIDS mungkin dapat memahami mengapa pernyataan itu muncul. Pernyataan itu juga didasarkan oleh pengalaman Ibu Menkes yang dikenal bertahun-tahun bergelut dengan isu HIV/AIDS sehingga bukan pernyataan yang tidak berdasar dan instan.
Sekedar ilustrasi tentang kompleksitas HIV dan AIDS di Indonesia, tren terbaru menyebutkan bahwa, sebagaimana disebut pada awal tulisan ini, menurut laporan Komisi Penanganggulangan AIDS Nasional penularan tidak lagi didominasi oleh penggunaan jarum suntik seperti terjadi pada enam tahun yang lalu akan tetapi melalui hubungan seksual dalam relasi heteroseksual. Jika pada Juni 2006 dilaporkan bahwa 54,42 persen penularan HIV dan AIDS melalui jarum suntik, pada Juni 2011 dilaporkan bawa 76,3 persen penularan HIV dan AIDS terjadi melalui hubungan seksual dalam relasi heteroseksual.
Tidaklah berlebihan jika apa yang terjadi dalam masyarakat kita dalam merespon pernyataan Menkes dapat disebut sebagai moral panic (kepanikan moral). Stenley Cohen dalam karyanya Folk Devils and Moral Panic (1987) menjabarkan bahwa kepanikan moral sebagai sikap kekhawatiran tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi masyarakat akan mengalami kebangkrutan. Masyarakat yang sedang mengalami kepanikan moral ini ditandai dengan kondisi atau episode munculnya seseorang atau sekelompok orang yang menentukan atau mendefinisikan sebuah ancaman terhadap nilai-nilai dan kepentingan masyarakat. Karakteristik yang diberikan Cohen demikian sempurna relevan jika melihat apa yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini. Tiba-tiba saja muncul orang atau kelompok orang yang merasa memiliki otoritas untuk mendefinisikan bentuk-bentuk ancaman terhadap nilai-nilai dan prinsip yang berlaku di dalam masyarakat. Selanjutnya melakukan hujatan dan serangan terhadap setiap upaya yang dianggap mengancam nilai-nilai dan prinsip masyarakat tersebut.
Namun, apakah kepanikan dan pendekatan moral semata-mata akan menyelesaian persoalan HIV/AIDS di Indonesia. Sepertinya jawabannya adalah tidak, pendekatan yang menyeluruh untuk menanggulangi penularan HIV/AIDS mutlak diperlukan. Hujatan tanpa tawaran solusi yang jelas tidak akan mengubah keadaan, upaya terus menerus untuk menemukan cara yang tepat dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih penting sebagai wujud implementasi Peraturan Presiden No. 75/2006 tentang Komisi Nasional AIDS serta sebagai upaya untuk pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDG’s) yang keenam, yakni menghentikan dan mengurangi laju penyebaran HIV/AIDS.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *