Penggalan Kisah Pergolakan Identitas di Sekitar Saya
Semasa aktif kuliah dulu, saya tergabung dalam organisasi Islam ekstra kampus. Organisasi yang dikenal moderat khususnya dengan alumni-alumni yang menghasilkan karya-karya intelektual yang mendukung kebhinekaan, keindonesiaan, pluraslisme bahkan sekularisme.
Terdapat berbagai tingkatan perkaderan dalam organisasi tersebut. Tingkat paling mikro adalah komisariat yang terdiri dari kader-kader baru dan para pengurus yang menjalankan organisasi tingkat fakultas dalam jenjang strata satu. Dalam komisariat saya, hampir seluruh anggota perempuan menggunakan hijab termasuk saya. Saya pribadi menggunakan hijab sejak kelas 5 Sekolah Dasar.
Suatu kali, seorang kakak tingkat perempuan di organisasi tempat kami bergabung tersebut bercerita bahwa ia mendapat tekanan dari para pengurus untuk mengenakan hijab karena dia seorang pengurus organisasi. Hingga pada suatu hari kakak tingkat saya menggunakan hijab saat kegiatan rekrutmen anggota baru organisasi.
Saya merasa ada hal baru dari kakak tingkat saya tersebut, lalu saya bertanya, “Sudah nyaman, kak?”, kami yang sangat dekat membuatnya tidak canggung mengutarakan pikirannya kepada saya. “karena tekanan lingkungan, Fatimah”. “Kak, kakak punya hak atas diri kakak sendiri” demikian tanggapan saya kepada kakak tingkat saya tersebut.
Kisah yang hampir serupa terjadi pada pertengahan tahun 2016 lalu, saat saya mengikuti sebuah pelatihan selama dua minggu tentang Hak Asasi Manusia di Jakarta. Pada akhir sesi pelatihan, salah satu teman dalam pelatihan tersebut bercerita bahwa selama dia berkuliah yakni di salah satu universitas negeri di Jakarta, ia mendapat tekanan dari teman-teman satu kelasnya di jurusan Sosiologi lantaran hanya ia yang tidak mengenakan hijab.
Teman saya mengungkapkan bahwa hal yang paling menyakitkan bagi dia adalah ketika teman-temannya melakukan stigma bahwa ia merupakan perempuan yang belum mendapatkan hidayah kejalan yang benar. Bahkan ia sempat dijauhi dari pergaulan teman-teman sekelasnya lantaran ia tidak mengenakan hijab.
Kisah lain yang saya alami sendiri masih pada tahun yang sama ketika saya berlibur dengan teman- teman saya di sebuah danau, dua orang ibu tengah berbincang-bincang di sebelah kami, tiba-tiba menunjuk-nunjuk ke rarah kami yang duduk di samping mereka. Dua orang ibu tersebut mengatakan bahwa perempuan-perempuan muslim adalah perempuan-perempuan lemah yang posisinya rendah dibanding pria dalam segala hal terkait praktik dalam agama.
Dua orang ibu tersebut mengatakan bahwa poligami dan hak waris sebagai hal-hal menindas namun perempuan muslim tidak kuasa menolak akibat doktrin agama yang memposisikan diri perempuan-perempuan muslim lemah dan rendah. Di tempat tersebut hanya ada kami berempat, dua orang ibu tersebut, serta saya dan teman saya yang juga berkerudung.
Saya ingin mendengarkan argumentasi ibu-ibu tersebut hingga mereka selesai berbicara. Saya ingin mendengarnya dengan seksama agar saya tidak terbawa prasangka terkait argumentasi ibu-ibu tersebut. Namun, teman saya menarik tangan saya untuk segera pergi dari tempat tersebut sembari mengusap air matanya. Tak kuasa saya melihat teman saya menangis, saya menuruti teman saya agar tangisnya tidak semakin menjadi. Kami pergi meninggalkan tempat wisata tersebut.
Kisah yang hampir serupa dengan kisah diatas dan saya alami sendiri terjadi pada bulan Oktober 2017 lalu, saat saya mengikuti salah satu camp internasional bagi para pegiat sosial yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam camp tersebut, saya bertemu dengan berbagai aktivis gerakan sosial yang berkonsentrasi pada peningkatan akuntabilitas, good governance, feminisme, keterbukaan informasi publik, hak asasi manusia hingga para wartawan di wilayah Asia.
Para peserta yang bukan hanya berasal dari Indonesia mencoba untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi sosial di Indonesia, salah satunya bagi teman-teman peserta yang bertato diharapkan oleh panitia yang juga berasal dari luar Indonesia untuk menutup tatonya jika berada di luar camp. Peserta pun diharapkan menggunakan celana yang minimal panjangnya sampai lutut bahkan dianjurkan menggunakan celana panjang. Bagi perempuan diharapkan menggunakan kaos yang panjangnya minimal sampai bahu dan menutupi pusar.
Fasilitator acara mengutarakan tentang kondisi sosial-politik di Indonesia yang masih rentan dengan kekeruhan politik identitas, serta ormas-ormas yang rentan melakukan aksi kekerasan atas nama agama. Saya setuju terhadap argumentasi tersebut. Seketika itu pula muncul sebuah candaan dari peserta ditengah-tengah penjelasan oleh fasilitator tersebut. Candaan tersebut meliputi poligami dan aksi terorisme yang disampaikan secara sarkas oleh para peserta.
Dalam camp tersebut peserta yang menggunakan kerudung hanyalah saya. Ketika candaan sarkas tersebut muncul, para partisipan memandang lekat-lekat kearah saya hingga muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah saya dan identitas keagamaan yakni hijab saya mewakili pendukung poligami atau teror kekerasan atas nama agama tersebut? Atau apakah saya perlu untuk dikasihani lantaran atribut dan identitas saya adalah bentuk dari ketertindasan jenis kelamin perempuan di agama saya yang pada akhirnya mempengaruhi posisi gender di lingkungan saya?
Sebagai seorang muslimah, saya pribadi sangat tidak setuju dan sangat tidak mendukung praktik-praktik menindas yang dilakukan atas nama agama, misalnya poligami yang bagi saya merupakan KDRT psikologis bagi seorang istri, aksi-aksi kekerasan atas nama agama serta politik identitas keagamaan yang mengorbankan hak-hak kelompok minoritas yang menjadi sasaran. Bahkan memaksa atau menghakimi seorang perempuan atas pilihannya mengenakan, melepaskan atau tidak menggunakan hijab adalah masalah yang perlu diperhatikan. Bahwa setiap orang, khususnya perempuan memiliki hak atau otonomi atas tubuhnya.
Pengendalian Atas Identitas dan Tubuh Perempuan
Jauh sebelum munculnya berbagai berita dan tanggapan para pengguna internet terkait public figure (tokoh publik, red) yang memutuskan untuk melepaskan hijabnya, para perempuan di lingkungan saya banyak yang menjadi sasaran stigma dari masyarakat, yakni dengan masalah yang sama seputar otonomi perempuan atas tubuhnya, misalnya persoalan hijab.
Jika seorang perempuan mengalami stigma dan kekerasan verbal secara langsung karena keputusannya untuk menentukan ekspresi dan otonomi atas tubuhnya, misalnya persoalan hijab baik menggunakan, melepaskan atau tidak menggunakan hijab di lingkungan sosialnya, dengan munculnya media sosial yang digunakan untuk mengekspresikan penolakan dan stigma terhadap keputusan perempuan dalam menentukan ekspresi, simbol dan hal-hak yang berkaitan dengan otonomi tubuh namun bertentangan dengan pendapat dan ideologi umum, dampak tekanan psikologis yang dialami perempuan tersebut lebih besar.
Stigma dan tekanan sosial yang selama ini dianggap sebagai kontrol sosial misalnya belenggu terhadap hak-hak atau otonomi perempuan dalam mengatur tubuhnya semakin besar dampak kekerasannya di era media sosial kini. Media sosial menjadi sarana untuk melontarkan stigma dan penghakiman terhadap seorang perempuan agar patuh terhadap nilai dan ideologi yang sesungguhnya bertentangan dengan pilihannya, keinginannya, kebutuhannya, pengalamannya dan hak-haknya.
Tokoh publik yang mengalami stigma dan penghakiman oleh pengguna jagad internet di akun media sosialnya karena melepas hijabnya merupakan salah satu indikator bahwa kebebasan otonomi atas tubuh perempuan sangat sulit diperoleh di Indonesia.
Dampak stigma, diskriminasi, prasangka dan ujaran kebencian, baik di dunia sosial keseharian maupun di jagad maya yang berujung pada persekusi langsung maupun persekusi di media sosial berdampak negatif bagi psikologis seseorang yang menjadi sasaran stigma, salah satunya dengan timbunan komentar negatif di akun media sosial pribadinya atau sosoknya menjadi viral karena diberitakan seakan-akan melakukan penyimpangan sosial yang fatal.
Jika kelompok-kelompok sosial di tengah masyarakat masih kerap memanfaatkan persoalan identitas sebagai alat kepentingan, alat pengendali dan alat politik, maka masalah identitas masih akan kerap terjadi. Baik identitas keagamaan berikut atribut dan simbolnya sebagai kontrol sosial misalnya hijab dalam lingkup kehidupan sosial dianggap sebagai simbol harga diri dan kualitas seorang perempuan sehingga perempuan yang tidak menggunakan hijab atau melepaskan hijabnya adalah sebentuk penyimpangan serta sebuah kesalahan besar lalu sah untuk dipersekusi misalnya di jagad maya karena ia seorang public figure atau mendapatkan stigma karena ia seorang perempuan di lingkungan sosialnya.
Begitu pula terkait kebebasan berekspresi menggunakan identitas keagamaan menjadi ternodai akibat sikap dan perilaku oknum yang mengatasnamakan agama untuk kekerasan. Sehingga, orang yang berasal dari penganut atau identitas non-keagamaan tersebut memaknai praktik kelompok kekerasan tersebut adalah praktik dan ideologi yang dimiliki secara umum oleh seluruh penganut agama tersebut.
Mengenai persoalan identitas, perempuan sebagai kelompok rentan kerap mengalami kekerasan berlapis. Pertama adalah kekerasan muncul akibat perempuan tidak dilibatkan dalam perumusan definisi, pembentukan nilai dan distribusi norma-norma, baik yang berkaitan dengan identitas keagamaan atau identitas kebudayaan. Perempuan tidak memperoleh hak dan akses langsung terhadap pembentukan norma dan nilai padahal sangat berhubungan erat dengan kebutuhannya, mengakibatkan posisi perempuan terombang-ambing oleh tekanan-tekanan identitas sosial dan kontrol atas tubuhnya.
Hal ini sebagaimana yang dialami oleh perempuan-perempuan di sekitar saya yang berhijab karena tertekan secara psikologis akibat stigma lingkungan masyarakat. Tak terkecuali dampaknya yang secara tidak langsung dialami pula oleh public figure yang dipersekusi di jagad maya oleh masyarakat penguna media sosial karena persoalan otonomi tubuh.
Kedua, karena akses pembentukan nilai-nilai yang sedari awal tidak melibatkan perempuan, terbukti dengan banyaknya nilai-nilai dan aturan keagamaan yang misoginis, kentalnya budaya patriarki hingga keputusan-keputusan politik yang maskulin, hak-hak perempuan untuk menetukan identitas individual serta otonomi atas pengaturan terhadap tubuhnya kerap di intervensi oleh individu hingga masyarakat yang merasa memiliki otoritas dalam menentukan dan mengontrol tubuh perempuan.
Kontrol tersebut muncul akibat diberikannya hak istimewa kepada individu atau kelompok tertentu yang merasa berwenang dalam menafsirkan, memaknai dan memerintahkan dengan dalih budaya atau keagamaan guna menentukan dan mengontrol kehidupan perempuan. Tentu saja dengan bias gender karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembentukan dan penafsiran nilai serta norma. Hal ini rentan terjadi dalam kehidupan rumah tangga tradisional, yakni otoritas suami terhadap istri atau ayah kepada anak-anaknya.
Ketiga, perempuan yang mengenakan atribut keagamaannya rentan mengalami stigma akibat perilaku oknum kelompok atau individu yang melakukan kekerasan atas nama agama. Perempuan yang mengenakan atribut keagamaan tersebut meski tidak terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan, namun dianggap mewakili kelompok keagamaan yang menggunakan maskulinitas untuk kekerasan karena identitas perempuan tersebut dianggap mewakili secara genaral perilaku-perilaku kekerasan atas nama identitas keagamaan yang ia kenakan. Hal ini dialami oleh muslimah yang mengenakan hijab di negara-negara di mana muslim menjadi minoritas, ditengah meningkatnya kasus-kasus teror atas nama agama Islam.
Perempuan hanya menjadi objek dari interpretasi dan implementasi nilai-nilai serta keputusan-keputusan yang dibuat oleh pihak-pihak yang merasa otoritatif dalam mengendalikan dan mengontrol kehidupan perempuan. Otoritas tersebut eksis dalam pengendalian atas identitas dan tubuh perempuan. Pengendalian tersebut merupakan objektivikasi terhadap tubuh perempuan.
Namun, kita punya banyak pilihan, yang di antaranya yakni diam dan menjadi bagian dari sikap-sikap yang melakukan objektifikasi terhadap perempuan atau mengambil peran dengan tidak melakukan objektivikasi terhadap perempuan serta membuat langkah-langkah penyadaran terhadap sikap-sikap yang mengobjektivikasi perempuan.