Sewaktu saya berkuliah, saya sering menjumpai perilaku catcalling, baik ketika saya sedang bersama teman-teman atau catcalling yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang duduk di kantin.
Bila saya perhatikan, para pelaku catcalling ini umumnya hanya berani ketika beramai-ramai alias kroyokan. Korban dari tindakan yang mereka lakukan tidak mengenal laki-laki atau perempuan, meski pihak perempuan yang lebih banyak menjadi korban.
Selain itu, catcalling yang saya perhatikan ini biasanya tidak pandang bulu. Perempuan yang memakai hijab ataupun berpakaian tertutup bisa saja menjadi sasaran catcalling.
Meski catcalling itu bisa jadi tidak berdampak secara eksplisit, namun tindakan tersebut tentu menjadikan korban merasa terganggu. Dengan begitu, saya pikir catcalling ialah tindakan yang dapat dikategorisasikan sebagai pelecehan seksual dan tidak dapat dilihat sebagai pujian yang dapat dimaklumi.
Bentuk catcalling tentu dapat beranekaragam. Di Indonesia, bentuk catcalling dapat berupa siulan atau bunyian seperti “Hai cantik, mau ke mana?” atau “Sendiri aja neng?” Jika sang korban tidak menjawab, pelaku catcalling ini biasanya menambahkan keributan lainnya, seperti “Sombong banget sih jadi cewek?”.
Kasus lain pun saya alami ketika saya berlibur bersama teman perempuan saya. Teman perempuan saya ini pernah menjadi korban catcalling berupa siulan plus ajakan “ayo neng ke kamar kosong” oleh orang yang bekerja menyewakan kuda.
Tentu teman saya merasa tidak nyaman dan ia langsung memutuskan untuk segera pulang saja. Waktu kuliah saya sering menjumpai perilaku catcalling baik bersama teman-teman atau orang yang sedang duduk di kantin, bila diperhatikan para pelaku catcalling ini beraninya beramai-ramai alias kroyokan.
Korbannya tidak mengenal laki-laki atau perempuan meski pihak perempuanlah yang lebih banyak menjadi korban dan tidak pandang bulu yang mereka kenakan bisa memakai hijab ataupun berpakaian tertutup.
Tentu menjadi hal yang sulit bagi orang-orang yang mengalami catcalling untuk melawan tindakan yang mereka alami. Permasalahan di lingkungan sosial ini harusnya mengubah pola pikir kita semua mulai dari lingkungan terkecil pada kehidupan sehari-hari kita, baik dalam pertemanan dan keluarga untuk berani bersuara.
Dengan demikian, kita harus bisa menyadari bahwa upaya melawan catcalling bukan sekadar tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengalami catcalling saja.
Kita harus dapat memanusiakan perempuan mulai dari pikiran dan berhenti memandang perempuan sebagai objek yang dapat dieksploitasi.
Hal ini tentu tugas yang berat karena catcalling menunjukkan bahwa budaya patriarki telah mendarah daging dan siapapun dapat mengalami catcalling, sebagai salah satu tindakan yang terejawantah karena adanya budaya patriarki.