Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan Kabinetnya yang diberi nama Kabinet Kerja, salah satu nama yang muncul adalah Susi Pudjiastuti, yang kemudian ramai diperbincangkan. Namun entah mengapa, pembahasan media profesional maupun perbincangan di media sosial justru bukan soal prestasi seorang Susi, yang memulai bisnisnya dari nol hingga menjadi pengusaha yang selain sukses pada bisnis perikanan juga sukses pada bisnis penerbangan. Pendekatan pembahasan terkait Susi, tidak tentang bagaimana, dan strategi apa yang ia gunakan sehingga seorang penjual ikan biasa bisa menjelma menjadi pengusaha besar. Sebagian publik justru lebih cenderung merendahkannya karena ia tidak memiliki gelar akademik setinggi langit, dan mengadili pilihan ekspresinya yang memiliki tato, merokok, dan tidak berjilbab, lalu mengkait-kaitkannya dengan moral.
Ya, kehadiran Susi di lembaga Negara telah memporakporandakan apa yang disebut dominasi patriarki. Sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia masih menjadi salah satu bangsa di mana laki-laki menjadi pihak yang dominan, baik dominasi dengan pasangan, hingga mendominasi untuk keputusan publik, baik keputusan pada tingkat daerah maupun nasional, praktis didominasi oleh laki-laki. Dominasi yang dimaksud berupa ide, gagasan, peraturan, kepentingan, keputusan, hingga kekuasaan. Situasi yang demikian kemudian disebut sebagai dominasi patriarki.
Dominasi Laki-laki pada Ekspresi
Sorotan sebagian publik terhadap Susi, bukan semata-mata karena ia merokok, bertato, dan tidak berjilbab, tetapi tepatnya karena ia seorang perempuan. Karena bila Susi adalah seorang laki-laki, maka pilihannya untuk merokok dan mengukir tato pada bagian tubuhnya, tentu bukan soal, justru sebaliknya tato dan rokok merupakan ciri dari maskulinitas laki-laki. Dengan kata lain, ekspresi Susi menjadi persoalan karena ia seorang perempuan, dan ekspresi, bagi masyarakat yang masih menganut budaya patriarki, merupakan domainnya laki-laki. Itulah mengapa ketabuan demi ketabuan disematkan pada tubuh perempuan bila ia berekpresi, dan bila ada perempuan yang berani berekspresi sebagaimana Susi, maka ideologi patriarki akan segera mengkaitkannya dengan moral. Padahal ekspresi merupakan bagian dari kebebasan pilihan individu, dan pilihan individu dibatasi oleh hak orang lain. Dengan kata lain, apakah memiliki tato, dan berpenampilan cuek merugikan orang lain?
Dominasi Laki-laki dalam Ekonomi
Sesukses apapun seorang perempuan dalam mengumpulkan pundi-pundi uang, ideologi patriarki berusaha untuk tetap menyangkal keberhasilannya, karena perempuan yang mencari nafkah dalam budaya patriarki hanya sebagai pelengkap saja, bukan hal yang luar biasa. Itulah mengapa perempuan yang bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, dan itu (label pencari nafkah tambahan) berakibat pada sebagian kebijakan upah untuk perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, pekerja perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga dengan alasan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan saja. Sama halnya dengan Susi, prestasinya dalam membangun bisnisnya, menjadi hal yang diabaikan, karenanya publik yang menolak ia sebagai seorang menteri, cenderung untuk melihat hal yang tidak dimilikinya, yakni pendidikan tinggi dan pengalaman di kepemerintahan, sementara kelebihan yang ia miliki, semuanya diabaikan.
Dominasi Laki-laki dalam Perkawinan
Sisi kontroversial lain yang disorot oleh publik dari seorang Susi, ialah tentang bahtera rumah tangganya yang 2 kali gagal. Lagi-lagi bila saja yang melakukan itu adalah laki-laki, maka bukanlah persoalan bagi masyarakat, tetapi karena Susi adalah seorang perempuan, lagi-lagi ketabuan mendera dirinya, dan masyarakat yang masih menganut ideologi patriarki kembali menganggap itu (kawin cerai) sesuatu yang tidak lazim dilakukan perempuan, karena memutuskan untuk bercerai merupakan domainnya laki-laki.
Dominasi Laki-laki atas Pendidikan
Ketika nama Susi Pudjiastuti disebutkan sebagai salah satu menteri di Kabinet Kerja, banyak pihak keberatan. Selain soal ekspresi yang dianggap tidak pantas, Susi tidak memiliki sederet gelar akademik, di mana gelar-gelar akademik saat ini padahal didominasi laki-laki, tetapi mengapa pilihan menjadi menteri, sebuah posisi yang terhormat justru jatuh ke seorang perempuan perokok, bertato, tidak berjilbab, dan tidak lulus SMA?
Dominasi Laki-laki atas Ilmu dan Pengalaman
Laki-laki dianggap lebih memiliki ilmu dan pengalaman dibanding perempuan. Padahal ilmu dan pengalaman bisa dimiliki siapa saja sejauh ia memiliki akses untuk mendapatkannya. Minimnya perempuan yang memiliki ilmu dan pengalaman, karena ideologi patriarki “mengkerangkeng” perempuan dalam ranah domestik, sehingga hanya segelintir perempuan saja yang memiliki kesempatan untuk bisa mengakses ragam pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman sebagaimana yang didapati laki-laki. Akibatnya laki-laki lah yang dianggap layak mendominasi posisi-posisi strategis di ranah publik.
Itulah mengapa ketika Susi, yang kaya akan pengalaman dalam mengelola sumber daya alam dari sektor laut, kembali disangkal atas ilmu yang ia dapati dari pengalamannya. Karena dalam ideologi patriarki, ilmu dan pengalaman merupakan domainnya laki-laki. Apalagi bila melihat yang terjadi di masayarakat, laki-laki adalah pihak yang menyampaikan cerita-cerita hebat, sementara perempuan hanya menjadi pendengar, dan mungkin itulah mengapa pada buku-buku sejarah atau cerita rakyat kesan androsentris (berpusat pada laki-laki) sangat kuat sekali. Dalam perspektif masyakarakat yang masih menjadikan budaya patriarki sebagai ideologinya, pengalaman dan pengetahuan perempuan sulit diterima, karenanya dalam pertemuan-pertemuan masyarakat, baik pertemuan adat, Rukun Tetangga (RT), pembahasan penyelesaian konflik, pembahasan persoalan sumber daya alam, dan lainnya, selalu yang diundang adalah laki-laki dan mengabaikan eksistensi perempuan.
Mendobrak Dominasi
Setidaknya ada dua dominasi yang didobrak Susi, antara lain:
- Dipilihnya Susi sebagai salah satu menteri telah mengurangi kesempatan dan menghambat dominasi laki-laki berpendidikan tinggi untuk menduduki posisi starategis. Karenanya kemudian memilih Susi menjadi menteri, selain dianggap tidak menghargai pendidikan, juga mengancam eksistensi laki-laki sebagai penguasa ranah publik.
- Berekpresi dengan memiliki tato, penampilan cuek, merokok, kuat secara ekonomi, memiliki posisi tawar sehingga bisa memutuskan untuk bercerai, merupakan dominasi laki-laki yang “dirampas” oleh Susi. Karenanyalah kemudian Susi dianggap melakukan perbuatan yang tidak pantas sebagai perempuan, dan ketidakpantasan itu kemudian anggap menjadi ketidakpantasannya untuk diangkat sebagai menteri.
Fenomena Susi yang bukan seorang sarjana tetapi kemudian menjadi orang besar, sesungguhnya banyak terjadi di tanah air maupun di luar negeri, tetapi lagi-lagi karena Susi seorang perempuan yang diangkat menjadi menteri, telah menjadi persoalan tersendiri, terutama bagi orang-orang yang selama ini sangat mengedepankan formalitas, dan mengatur tubuh serta hidup perempuan. Semoga dari fenomena Susi bisa menjadi insfirasi untuk banyak orang, bahwa tidak memiliki gelar setinggi langitpun tetap bisa meraih sukses. Tetapi begitu, bukan berarti pendidikan formal tidaklah penting, sejauh bisa menempuh pendidikan formal, maka selesaikanlah, tetapi bila nasib bertkata tidak, jangan pernah berkecil hati untuk meraih cita-cita.[]