Catatan dari Camp iBRO; Muda dan Setara!

10298896_279482792226057_1249353464578264293_nHari Sabtu dan Minggu, 3 – 4 Mei 2014 kemarin, saya mewakili Aliansi Laki-Laki Baru mengikuti salah satu kegiatan camp bagi remaja di Jawa Timur. Kegiatan camp itu diberi nama Indonesian Boys Respecting Others (iBRO). iBRO merupakan salah satu kegiatan camp untuk siswa Sekolah Menengah Atas/Sederajat yang diselenggarakan oleh Peace Corps Amerika Serikat. Kegiatan ini dilaksanakan seperti PERSAMI (Perkemahan Sabtu Minggu) pada Pramuka. Camp ini dilaksanakan di bawah kaki Gunung Mahameru daerah Agro Wisata Royal Family, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur. Camp seperti ini sebelumnya telah dilakukan dengan nama Indonesian Girl Leading Our World (iGLOW). Namun dalam camp iGLOW, seluruh peserta terdiri dari siswa perempuan. Sedangkan dalam camp iBRO pesertanya terdiri dari siswa laki-laki. Kegiatan ini diikuti oleh 48 peserta dari beberapa Sekolah Menengah Atas/Sederajat di Jawa Timur. Camp ini bertujuan untuk membangun pengetahuan peserta laki-laki tentang peran gender yang berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ketidaksetaraan gender. Peserta akan ditingkatkan kesadarannya terkait adanya ketimpangan kekuasaan dalam berelasi, memahami dampaknya terhadap diri sendiri dan relasinya, memahami perbedaan kekuasaan di antara individu dalam masyarakat, dan lebih memahami cara kerja relasi kuasa.
Peserta iBRO kali ini terdiri dari para siswa SMA/SMK yang terlibat dalam kegiatan ekstrakulikuler seperti Pramuka dan Palang Merah Remaja (PMR). Sekilas mereka nampak sebagai remaja yang menyukai tantangan, kedisplinan dan suka dengan pendidikan yang tegas, bahkan pendidikan semi militer. Hal itu terlihat dari pakaian mereka yang terdapat pangkat di atas bahunnya, mereka juga menggunakan celana lapangan yang memiliki kantung di bagian samping paha. Sebagian kelompok menggunakan kaos olahraga dengan tulisan SMA mereka di bagian punggung, dan ada juga yang menggunakan kaos lapangan dengan logo organisasi PMR. Beberapa kelompok dari mereka dengan lantang bernyanyi dan meneriakkan yel-yel kelompok. Selain itu, ketika berkenalan, beberapa orang dari mereka berbicara lantang dan tegas, kemudian mengatakan cita-cita mereka yang ingin menjadi tentara dan polisi.
Dalam kegiatan camp iBRO ini, saya terlibat sebagai fasilitator untuk berdiskusi tentang materi Gender dan Kekuasan. Saya memperoleh sebuah pengalaman yang sangat luar biasa dan berharga. Saya berdinamika bersama para peserta di ruang terbuka dan dikelilingi banyak pohon durian dan pohon salak. Dengan suasana alam sore hari yang segar, seolah membuat saya lupa akan perjalanan sehari-semalam Yogyakarta – Lumajang yang cukup melelahkan.
Sesi pertama kami mulai dengan perkenalan yang dilakukan dengan bernyanyi dan menari bersama. Setelah itu diskusi pun kami mulai dengan sesi tentang “Keistimewaan dan Pembatasan Menjadi Laki-Laki dan Perempuan”. Dengan berteriak lantang peserta menyebutkan tentang keistimewaan laki-laki, di antaranya bertanggung jawab, berwibawa, tegas, tidak cengeng, dan bisa berpoligami. Sedangkan pembatasannya yaitu tidak boleh menangis dan tidak menggunakan perasaan. Kemudian kami berdiskusi kembali dengan pertanyaan; bagaimana dengan perempuan? Peserta pun menyebutkan keistimewaan perempuan di antaranya adalah surga di bawah telapak kaki ibu, penyayang, dan bisa melahirkan. Sedangkan pembatasannya adalah tidak boleh melawan suami, tidak boleh tomboy, tidak boleh keluar malam-malam, dan tidak menggunakan logika.
Setelah melalui bagian mengidentifikasi keistimewaan dan pembatasan tersebut, saya mengajak peserta untuk merasakan dan memikirkan dari mana semua itu muncul. Sebagian besar dari mereka mengatakan itu sudah menjadi kodrat. Kemudian kami bersama-sama mulai mengupas lebih tajam, sebenarnya apa yang dimaksud dengan kodrat. Menggunakan beberapa pertanyaan kunci, kami menggali apa yang sebenarnya membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan siapa yang menciptakan keistimewaan serta pembatasan tersebut. Saya pun menjelaskan tentang gender dan bagaimana budaya menciptakannya serta bagaimana konstruksi gender tersebut merugikan bagi laki-laki dan terutama perempuan. Sesi pertama ini ditutup dengan penjelasan akhir dari pertanyaan: “Bisakah budaya yang selama ini merugikan kita ubah, dan bagaimana caranya?”
Sesi terakhir membahas tentang “Kekuasaan”.  Kami memulainya dengan bermain peran di mana sebagian peserta berpura-pura menjadi cermin dan sebagian lagi berperan sebagai manusia. Peserta yang menjadi manusia tampak menikmati perannya dengan bergerak sesuka hatinya. Ada yang menggerakkan tangannya naik turun dengan cepat sehingga peserta yang menjadi cermin tidak bisa mengikutinya. Bahkan ada peserta yang mengorek lubang hidungnya sehingga peserta yang menjadi cermin protes. Setelah itu, permainan dilanjutkan dengan bermain peran sopir dan mobil. Peserta yang di permainan pertama telah berperan menjadi manusia kini berubah peran menjadi mobil, dan begitu sebaliknya dengan peserta yang tadinya berperan menjadi cermin kini berperan menjadi sopir. Peserta yang tadinya menjadi cermin tampak sumringah dan tertawa, sedangkan mereka yang menjadi mobil tertawa kaget sambil melihat temannya. Saya menjelaskan tugas sopir dan mobil, yaitu sopir boleh memperlakukan mobilnya sebagaimana ia kehendaki. Setelah itu mereka mulai bermain dan berjalan menyusuri taman di mana kami berdiskusi. Dengan sesuka hatinya, peserta yang menjadi sopir menabrakkan peserta yang menjadi mobil ke mobil lainnya. Sang sopir tampak menggerakkan mobilnya ke kiri dan ke kanan, maju dan mundur, dan bahkan ada yang menabrakkannya ke pepohonan.
10308244_279482808892722_5822661529467527212_nSetelah melakukan permainan tersebut, kami pun berdiskusi kembali dan merefleksikan pengalaman selama ini. Bagaimana perasaan peserta ketika menjadi manusia dan sopir serta bagaimana perasaan peserta ketika menjadi cermin dan mobil? Siapa yang dalam kehidupan sehari-hari sering menjadi cermin dan mobil? Lalu, bagaimana perasaan peserta ketika berada dalam situasi tersebut? Peserta tampak diam, suasana yang tadinya penuh canda tawa kini tidak terlihat lagi. Beberapa dari mereka mengungkapkan sebuah pendapat tentang posisi mereka selama ini yang lebih banyak menjadi mobil. Sementara peserta lainnya terlihat menunduk. Saya pun menjelaskan tentang ketimpangan relasi yang selama ini ada di lingkungan sekitar, serta siapa saja yang dirugikan dengan adanya situasi tersebut. Tidak banyak tanggapan dari peserta, mereka hanya terdiam. Hari  mulai gelap dan tanpa kami sadari adzan maghrib telah berkumandang dan sesi kami pun berakhir.
Kami merasa waktu berjalan singkat sekali, sementara masih banyak hal yang sebenarnya masih bisa didiskusikan. Kami harus segera menyudahi sesi, dan saya pun tidak tahu kapan saya bisa berbagi pengalaman bersama peserta lagi. Namun di luar dugaan, ketika sesi berakhir dan peserta sedang beristirahat, mandi, shalat, dan makan malam, satu persatu dari mereka mulai mendekati saya, dan beberapa dari mereka mulai menceritakan pengalaman hidup mereka selama ini. Mereka curhat dan meminta solusi atas apa yang mereka hadapi di dalam rumah/lingkungan mereka. Kami semua berkumpul hingga panitia mengingatkan bahwa pada pukul 19.30 masih akan ada sesi lainnya dan kami diminta untuk segera makan malam agar waktunya tidak habis untuk mengobrol.
Meski saya tidak mengisi sesi-sesi diskusi berikutnya, saya tetap mengikuti acara hingga hari terakhir. Dan malam itu, saya juga mengikuti sesi api unggun di mana semua yang berada di situ bernyanyi dan bercanda. Dalam sesi api unggun, para peserta dan panitia diminta untuk merefleksikan pengalaman mereka dan mengungkapkan harapan mereka ke depan. Malam itu pun ditutup dengan kegiatan tersebut.
Keindahan dan kesejukan alam pun makin terasa ketika pagi hari. Suhu dingin yang menusuk hingga tulang membangkitkan semangat saya untuk menghirup nafas dalam-dalam. Dada saya benar-benar terasa lega dan segar. Sementara itu, peserta terlihat berbaris dan berlari bersama dalam kelompok-kelompok. Berlari dan meneriakkan yel-yel sambil berbaris rapi, saya melihat mereka tampak bersemangat sekali.
Setelah itu saya pun melakukan beberapa persiapan seperti mandi dan sarapan. Sambil mengantri untuk melakukan hal tersebut, beberapa peserta kembali mendekati saya untuk curhat, meminta solusi dan menceritakan pengalaman mereka. Kembali dikarenakan waktu yang kurang, kami hanya bisa berbagi dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian mereka pun harus kembali mengikuti sesi diskusi berikutnya yang dipandu oleh fasilitator lainnya.
Waktu yang sangat singkat bagi kami untuk berbagi pengalaman hidup. Kami pun harus rela berpisah karena kendaraan yang akan saya gunakan untuk pulang telah tiba sebelum kegiatan benar-benar berakhir. Sebuah pengalaman yang berharga bagi saya, dan pengalaman ini juga kembali membuktikan bahwa betapa kuatnya budaya patriarkhi dan hal tersebut benar-benar merugikan laki-laki dan terlebih lagi merugikan perempuan, terutama dengan adanya ketimpangan relasi kuasa. Dengan curhat-nya para peserta, seolah seperti membuka ruang baru bagi kepercayaan diri mereka dan tidak sungkan lagi untuk bercerita serta tidak takut untuk dikatakan laki-laki cengeng ketika curhat. Kegiatan ini juga seolah membuka harapan baru akan munculnya generasi muda yang lebih peduli dan bisa menghargai satu sama lain sebagai manusia tanpa pandang jenis kelamin, serta sebagai laki-laki yang suka perdamaian dan terhindar dari perilaku kekerasan.
Perpisahan kami akhiri dengan foto bersama, saling bertukar nomor telepon dan alamat email agar tetap bisa saling berhubungan. Kami pun berharap kerja sama semacam ini bisa untuk terus dilanjutkan agar bisa bergerak bersama untuk keadilan dan kesetaraan gender. Karena bagaimanapun kami tidak akan mungkin bisa mewujudkan hal tersebut jika kami melakukannya sendiri.

About Haryo Widodo

pegiat Aliansi Laki-laki Baru dan staf Rifka Annisa- Jogja

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

One comment

  1. siti murniasih

    Terima kasih sharingnya, sangat membantu sebagai referensi buat saya sharing tentang gender dan relasi kuasa dengan adik2 pramuka khususnya tang tergabung dalam gerakan relawan membaca; pramuka buku hidup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *