Aquarini: Feminis Tidak Selalu Harus Perempuan

Bagi Aquarini Priyatna Prabasmoro, MA., MHum., PhD., dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad, hakikat dari feminisme adalah sebuah gerakan atau ideologi yang melihat bahwa ada ketidakadilan atau ketimpangan dalam struktur budaya sosial manusia. Dalam hal tersebut, orang-orang feminis melihat ketimpangan itu sebagai sebuah ketidakadilan dari suatu sistem, lalu mengambil posisi sebagai penentang. Dengan kata lain, feminisme adalah posisi ideologis terhadap ketimpangan yang secara umum merugikan perempuan, tetapi pada prinsipnya merugikan laki-laki juga.
“Di indonesia sendiri dikenal dengan budaya patriarki, yakni sistem dengan kekuasaan utama terletak pada laki-laki, misalnya laki-laki yang menjadi pemimpin dan pencari nafkah utama bagi seorang keluarga. Kenyataannya sekarang tidak semuanya laki-laki menjadi pencari nafkah utama. Bagaimanapun juga dalam konstruksi perkawinan kita yang sekarang banyak terjadi adalah, laki-laki yang menjadi superior,” ungkap Aquarini ketika ditemui di Pusat Bahasa FIB Kampus Unpad Bandung, Jumat (13/07) lalu.
Lebih lanjut Aquarini menegaskan bahwa dirinya tidak setuju jika feminisme dianggap sebagai aksi kaum perempuan yang berjuang ingin melebihi laki-laki. Namun, feminisme lebih pada menyeimbangkan perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan, juga perlakuan yang berbeda jika ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dialami oleh perempuan itu sendiri.
Dalam suatu kehidupan rumah tangga, suami diibaratkan sebagai seorang “kapten” untuk menjalankan kehidupan. Namun seorang kapten tentunya harus mau mendengar pendapat bawahannya, dalam hal ini adalah istrinya, sehingga kapten tersebut tidak menjadi seorang kapten yang otoriter. Oleh karena itu, feminisme bukan bermaksud untuk melebihi laki-laki tapi untuk menjadikan suatu perkawinan merupakan sebuah proyek mutual yang dilakukan bersama.
”Tidak ada salahnya apabila seorang istri pun berprestasi, toh atribusinya juga untuk keluarga juga. Seorang suami juga bila berprestasi atribusinya juga untuk keluarga juga,” tegas dosen yang lahir pada 1 Juni 1968 tersebut.
Lantas, bagaimana jika feminisme tersebut diterapkan di Indonesia? Aquarini menjelaskan bahwa pada dasarnya feminisme bersifat contextual, located, and situated. Artinya gerakan feminsime tidak bisa dianggap sama di setiap negara, sebab gerakan feminisme berakar dari situasi budaya yang ada di suatu daerah sehingga konsep feminisme di beberapa daerah atau negara akan berbeda pemaknaannya.
Ideologi feminisme di Indonesia sendiri menurut Aquarini masih menganut feminisme liberal, yakni ideologi feminisme yang perhatian terhadap isu-isu pendidikan, kesehatan, kesehatan reproduksi, serta kekerasan terhadap yang memang pressing bagi kaum feminisme di Indonesia untuk melakukan sebuah perubahan. Hal ini tentu saja berbeda dengan aliran feminisme di Barat, yakni sudah menganut feminisme radikal.
Feminisme pun tidak selalu frontal terhadap budaya yang memang sudah ada. Banyak hal yang bisa dinegosiasikan terhadap struktur budaya yang sudah ada, sebab budaya telah dibangun lama sehingga kita tidak bisa mengubahnya secara singkat, sehingga feminisme pada dasarnya bisa “memiliki tempat” dalam sistem budaya yang patriarkat.
“Tentunya sebelum melakukan perubahan, kita harus mengerti juga budaya yang kita hadapi sudah terbangun selama berabad-abad, sehingga yang paling penting bukanlah pada keseteraan gender, dalam arti semua harus dihitung sama, melainkan penanaman nilai-nilai feminis yang seimbang yang dilakukan menjadi peran bersama antara perempuan dan laki-laki,” ujar penulis buku “Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop” serta “Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabun”.
Bagi Aquarini, mempelajari feminisme menjadi ketertarikan tersendiri baginya. Berawal dari ajakan sang ayah, Prof. Dr. Soeganda Priyatna, Guru Besar Fikom Unpad, ia aktif di gerakan buruh. Dari sana, Aquarini mulai tertarik pada isu perempuan. Terlebih, anak pertama dari 4 bersaudara ini mengambl Magister di Kajian Perempuan yang sekarang menjadi Kajian Gender di Universitas Indonesia juga Feminist Cultural Theory and Practice di Lancaster University, Inggris,  serta program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University Australia.
Di akhir, Aquarini menegaskan bahwa seorang feminis tidak selamanya harus perempuan. Laki-laki pun bisa dikatakan sebagai feminis.
“Jika perempuan yang memakai rok dan bersikap lembut, itu lebih tepat disebut feminin, karena feminin mengacu pada atribusi sosial kultural. Kalau feminis lebih mengacu pada posisi ideologis sehingga ia tidak mengacu pada jenis kelamin.  Banyak laki-laki yang feminis. Apabila seorang lelaki yang concern atau memihak terhadap hak-hak perempuan, dia bisa dikatakan feminis,” tutup Aquarini.*
Sumber: www.unpad.ac.id

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *