Wacana kali ini erat kaitannya dengan wacana yang sebelumnya pernah saya lontarkan dengan headline “Laki-laki dan Penyebaran Infeksi HIV”. Pada wacana tersebut baru sekedar mengupas sisi maskulinitas dalam penyebaran infeksi HIV dan AIDS di masyarakat. Pada wacana ini menjadi menarik ketika dalam sebuah pelatihan yang digadang oleh KPAN pada tahun lalu (2014) dengan fokus pada Pelibatan Laki-laki dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
Banyak isu yang muncul dan menjadi menarik dalam proses pelatihan tersebut, dimulai dari bagaimana cara pandang program ketika melihat laki-laki untuk dilibatkan (male involvement), re-posisi populasi kunci dalam program (inklusif) hingga autokritik terkait kalimat-kalimat media yang dilontarkan dalam berbagai ajang kampanye publik (sexism).
Ada inspirasi baru yang hidup dalam proses pelatihan tersebut adalah ketika materi masuk dalam sesi “seksualitas dan kesehatan reproduksi”. Peserta mengungkapkan tentang rangsangan seksual yang bisa muncul dari mana saja dan setiap sudut organ tubuh dapat berperan sebagai alat pemicu rangsangan tersebut, hingga kemudian mengerucut pada kesepakatan bahwa rangsangan tersebut pada akhirnya dikelola dan dikendalikan oleh otak.
Tidak berhenti pada kesepakatan tersebut, kemudian diskusi berlanjut pada observasi bahwa hanya sebagian kecil dari organ tubuh tersebut adalah organ reproduksi. Tidak selamanya rangsangan seksual dipicu dari organ reproduksi meskipun pada akhirnya organ reproduksi juga akan ikut merespon ketika diperintah otak untuk bereaksi (fantasi).
Pada titik ini, forum menjadi tegas saat mengoperasionalkan definisi hubungan seksual hingga kemudian transaksi seksual yang terjadi pada praktek prostitusi. Logikanya setiap individu ketika berhubungan seksual juga berhak untuk melindungi organ reproduksinya. Gap-nya adalah Maskulinitas hegemonik yang hadir dalam ketimpangan pola relasi seksual lah yang menempatkan superioritas kepentingan yang satu(biasanya laki-laki) atas kepentingan yang lain (perempuan)dalam relasi seksual
Beberapa mitos yang hidup dalam kemasan hegemoni maskulinitas dimasyarakat umum adalah “Istri harus siap melayani suami lahir dan batin kapanpun”, “jangan salahkan suami jika beralih ke yang lain”, “libido laki-laki lebih tinggi daripada perempuan” dan mitos lainnya yang mengisyaratkan definisi kepuasan seksualitas selalu berada pada area indikator kepentingan laki-laki saja.
Bahkan dalam praktek prostitusi, lebih tepatnya pada transaksi seksual sekalipun juga terjadi ketimpangan pola relasi ini. Perempuan (atau seseorang dengan peran perempuan) sama sekali tidak memiliki posisi setara dalam bernegosiasi, bahkan sering kali diwakili oleh pihak laki-laki (pihak superior) diatasnya seperti mami/papi dan atau mucikari.
Walhasil, bahkan sekedar penggunaan kondom saja masih menjadi bagian dari bahan negosiasi tingkat kepuasan seksual pelanggan. Padahal semestinya jika ditarik kembali tentang pemahaman seksualitas dan reproduksi, kondom bukanlah bagian dari area kepuasan seksual tetapi justru menjadi bagian dari alat perlindungan organ reproduksi kedua belah pihak. Tetapi berkat kemasan hegemoni maskulinitas, kondom menjadi bagian tak terpisah dari tingkat kepuasan seksual yang hanya berdasarkan indikator pihak laki-laki saja.
Apakah hal ini hanya terjadi pada pola relasi seksual secara transaksional saja? Jawabannya tentu tidak, dalam pola relasi seksual rumah tangga pun juga demikian, terutama jika dikaitkan dengan penggunaan kondom. Istri bahkan dianggap kurang memuaskan secara seksual ketika menggunakan kondom. Tidak hanya itu, di indonesia bahkan kondom dalam konteks pemasarannya juga cenderung dikemas dengan bahasa-bahasa tingkat kepuasan yang sangat sexism.
Hasil yang paling nyata dirasakan akibat masalah ini adalah indikasi penyebaran infeksi menular semakin meningkat di kalangan LBT (laki-laki Beresiko Tinggi) dan Kelompok Ibu Rumah tangga bahkan hingga ke kelompok Bayi.
Pemahaman atas hak-hak seksual dan reproduksi sangat penting untuk ditanamkan sejak dini dan ke semua lini agar relasi seksual yang dibangun baik itu dalam konteks pacaran, rumah tangga dan bahkan transaksional sekalipun tidak menjadi timpang karena kemasan maskulinitas hegemonik. Disamping itu, negara juga harus bersungguh-sungguh komitmen dalam memberikan perlindungan atas hak seksual dan reproduksi setiap individu warganya tanpa harus memandang status sosial, pekerjaan dan lainnya.
Penggalan wacana ini adalah bagian kecil dari bentuk infeksi HIV yang berwajah maskulin, masih banyak sudut pandang lainnya yang dapat dicermati sebagai bentuk tersebut baik dari segi pelayanan, pencegahan bahkan hingga pada segi mitigasi penanggulangan HIV dan AIDS. Program Pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) yang telah dicanangkan menjadi Paripurna adalah momen yang sangat tepat untuk mengembalikan ranah penanggulangan HIV dan AIDS dengan pijakan pondasi yang lebih kuat.
PMTS Paripurna menjadi momen yang dapat mengembalikan pengakuan atas hak dan kembali memanusiakan manusia termasuk bagi kelompok beresiko tinggi. Momen ini juga bisa menjadi alat untuk mengiris lebih tajam agar tidak seorang pun di negara ini dapat semena-mena karena seseorang yang memiliki perilaku beresiko tinggi, tidak mengetahui dengan baik status kesehatannya dan kemudian tidak mau menggunakan kondom, mendominasi, superioritas/penguasaan atas tubuh orang lain, dan bahkan menggunakan opresi terhadap tubuh orang lain sekalipun itu dalam kontek transaksional apalagi dalam konteks hubungan rumah tangga adalah bentuk dari kejahatan seksual dan reproduksi. Setiap orang dapat melakukan hubungan seksual tetapi juga berhak untuk melindungi dirinya, termasuk melindungi organ reproduksinya agar terhindar dari infeksi menular seksual terutama infeksi HIV.
Tags Aids HIV infeksi menular seksual kesehatan reproduksi
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …