Program keluarga berencana (KB) merupakan salah satu upaya dalam mengendalikan jumlah penduduk, yang telah dimulai sejak era orde baru. Pandangan mengenai banyak anak banyak rezeki saat ini sudah ditinggalkan, karena sudah tidak relevan diterapkan era sekarang, saat kebutuhan hidup dan ekonomi yang semakin mahal. Jika banyak anak maka beban dalam pemenuhan ekonomi juga bertambah sedangkan pendapatan tetap.
Faktor sebab perempuan melakukan kontrasepsi salah satunya, karena alasan ekonomi. Sehingga, bisa diasumsikan bahwa ekonomi juga berperan dalam pengendalian penduduk. Alasan lain mengapa perempuan mau memasang alat kontrasepsi karena merasa jumlah anak yang diinginkan sudah cukup. Selanjutnya faktor umur, perempuan memiliki batasan umur untuk memiliki anak agar kesehatan anak dan ibu terjamin. Namun, dari semua alasan tersebut, muncul pertanyaan mengapa mayoritas perempuan yang melakukan kontrasepsi, mengapa partisipasi dan peran laki-laki sangat kurang. Bahkan ada suami yang justru melarang tegas istrinya untuk memasang alat kontrasepsi. Alasannya karena mempengaruhi kenyamanan saat berhubungan, menginginkan anak kelamin tertentu, ada juga yang terkait agama dan kepercayaan. Bahkan untuk suami tidak tahu menahu efek kontrasepsi bagi kesehatan perempuan, jika tidak cocok. Hal ini terjadi karena sosialisasi kontrasepsi keluarga berencana sejak awal titik tumpunya adalah perempuan.
Kadang kala, dengan sadar perempuan terjerembab dalam pemikiran bahwa karena perempuan yang melahirkan anak, mengurus anak, yang memiliki rahim, maka ialah yang melakukan kontrasepsi. Jadi,seakan-akan kontrasepsi juga tugas perempuan. Pemahaman itu juga didukung dengan konstruksi sosial masyarakat yang beranggapan bahwa kontrasepsi sebagai tanggung jawab perempuan. Kebanyakan kaum pria pun menganggap bahwa kontrasepsi identik diperuntukkan untuk perempuan dan akibatnya keikutsertaan laki-laki dalam melakukan kontrasepsi rendah.
Rendahnya partisipasi laki-laki dalam menggunakan alat kontrasepsi dipengaruhi oleh pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat yang menganggap partisipasi pria belum penting. Mayoritas laki-laki tidak memiliki pengetahuan luas tentang kontrasepsi karena sosialisasi keluarga berencana biasanya selalu diidentikkan pada perempuan. Pandangan itupun dikukuhkan oleh sosial masyarakat yang menganggap bahwa kontrasepsi adalah kewajiban dan tanggung jawab perempuan terkait dengan kodrat perempuan. Bahkan kalau perempuan sampai melahirkan anak banyak yang diwejangi adalah perempuan, mengapa kamu tidak melakukan kontrasepsi, mengapa pertanyaannya tidak dibalik mengapa kamu tidak berfikir, beban yang ditanggung istrimu jika ia memiliki banyak anak. Apalagi jika pasangan suami istri tersebut tidak terbuka dalam hal keintiman suami istri, otomatis pilihan kontrasepsi akan sepenuhnya berada pada tangan istri. Sebab lainnya adalah karena kurangnya akses kepada kontrasepsi sehingga semakin menjauhkan pria dalam program KB. Pilihan alat kontrasepsi lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki. Tapi bukan berarti semata-mata itu kewajiban perempuan. Jika kontrasepsi semata-mata hanya disosialisasikan pada perempuan tanpa mengikutkan peran laki-laki, maka sama saja perempuan dijadikan objek dalam program KB. Pada akhirnya hal tersebut semakin menguatkan budaya patriakhi.
Jika kita menelaah secara historis kontrasepsi itu tidak hanya dilakukan oleh perempuan tapi juga laki-laki dengan cara coitus interruptus (ejakulasi di luar kelamin perempuan/senggama terputus). Di dalam ajaran islam dibolehkan juga namun adat kebolehannya di lima mahzab fiqih berbeda-beda. Akan tetapi, seiring perkembangan sejarah ternyata berbalik, sekarang justru yang melaksanakan kontrasepsi mayoritas adalah perempuan.
Kontrasepsi itu bukan hanya kewajiban salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan punya kewajiban yang sama. Kontrasepsi bukan tanggung jawab perempuan saja tetapi laki-laki harus punya peran, misalnya mendampingi istri dalam memilih kontrasepsi yang cocok, merencanakan jumlah anak, mengingatkan minum pil KB, mengetahui dampak dari kontrasepsi pada perempuan dan lainnya. Bahkan suatu apresiasi besar dalam program KB apabila seorang suami memutuskan untuk vasektomi, karena tidak semua pria mau melakukan vasektomi, walaupun sudah dikaruniai jumlah anak yang cukup. Memang vasektomi bukan pilihan mudah bagi laki-laki, hal tersebut dapat dimaklumi. Akan tetapi, minimal ketika sosialisasi KB di daerah setempat tidak hanya perempuan yang ikut serta tetapi laki-laki juga wajib partisipasi. Dalam kasus ini kesadaran laki-laki amat dibutuhkan agar laki-laki mengenal program keluarga lebih dekat. Juga supaya paradigma bahwa kontrasepsi tidak dimaknai sebagai kewajiban perempuan lagi dan perempuan tidak dijadikan objek lagi dalam program KB.
Oleh: Sri Yulita Pramulia Panani
Sumber: http://rifkaanisa.blogdetik.com/2013/02/07/kontrasepsi-kewajiban-perempuan-atau-laki-laki/
Tags Indonesia Keluarga Berencana kontrasepsi
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …