Dalam rangka menekan kekerasan terhadap perempuan dan ana yang dari tahun ke tahun semakin meningkatkan, maka lembaga Rumah Perempuan Kupang, mendorong partisipasi unsur masyarakat terutama laki-laki dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender tersebut.
Partisipasi yang dilakukan ini melalui kegiatan pertemuan bersama sebanyak 15 orang laki-laki yang terdiri tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat yang terdiri dari laki-laki hebat,tokoh masyarakat maupun pemimpin agama yang telah dilakukan di Hotel Olive Kupang selama dua hari yang dimulai dari Kamis 21 Juni hingga Jumat 22 Juni 2013.
Demikian dikatakan Koordinator Divisi Pendampingan Rumah Perempuan Kupang, Wati Bagang usai kegiatan kepada wartawan di Hotel Olive Kupang, belum lama ini.
Menurut Wati, data Rumah Perempuan menunjukkan data kasus tahun 2010 sebanyak 167, tahun 2011 sebanyak 180 dan tahun 2012 sebanyak 249. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya KTPA antara lain faktor ekonomi, sosial, hukum, budaya terutama budaya patriarki yang terinternalisasi dalam norma, nilai dan aturan yang berlaku di Indonesia. Upaya untuk meminimalisir KTPA/A terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak untuk mencapai hasil yang lebih optimal.
“Dalam perjalanannya saat ini kami perlu menguatkan keterlibatan laki-laki dalam agenda keadilan gender sehingga peran mereka bisa menjadi semakin jelas “bentuk” dan posisinya dalam konteks gerakan perempuan di Indonesia,” katanya.
Selain itu,lanjut Wati, sebagai sebuah strategi dalam perjuangan meraih keadilan gender termasuk di dalamnya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, keterlibatan laki-laki-laki diharapkan akan berpengaruh secara signifikan untuk meruntuhkan stigma bahwa agenda pemenuhan hak-hak perempuan dan keadilan gender hanya sekedar urusan perempuan saja.
Wati menjeleskan, strategi pelibatan laki-laki dalam agenda penegakan gender, di antaranya, dengan perubahan pandangan laki-laki sebagai ‘musuh’ menjadi laki-laki sebagai ‘partner’, mendorong tanggung jawab mereka dalam upaya mewujudkan keadilan gender bersama-sama perempuan.
Laki-laki yang berperan sebagai partner menyadari bahwa budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki lebih dominan daripada perempuan seringkali membuat laki-laki bertindak sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Konstruksi maskulinitas dalam budaya patriarkhi juga disadari telah menempatkan laki-laki, tidak saja perempuan, sebagai pihak yang turut mengalami akibat negatif dari konstruksi sosial yang tidak adil gender.
“Kegiatan ini sebagai suatu upaya penguatan pengetahuan dan kesadaran (awareness) masyarakat dari berbagai kalangan dan tingkatan usia dengan melibatan laki-laki dalam pencegahan dan penanganan KTP/A, dan juga bisa menjadi mereka sebagai konselor laki-laki dalam pencegahan dan penanganan KTP/A”, katanya.