Dengan memeriksa ulang tema-tema peringatan Hari Perempuan Internasional (IWD) di berbagai belahan dunia sepanjang seratus tahun terakhir, kita disadarkan gerakan perempuan telah memperluas fokus sorotan mereka dari sebatas memperjuangkan hak-hak perempuan ke perjuangan menuntut keadilan sosial bagi semua entitas marginal. Gerakan perempuan dengan lantang berbicara tentang hak buruh, solusi krisis monoter dunia, perang dan perdamaian, serta isu-isu lainnya.
Hal yang sama diperlihatkan oleh perempuan Aceh. Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2012 di Aceh memilih tema “Pilkada Tanpa Kekerasan Perkuat Perdamaian”. Lebih luas dan melampaui isu hak-hak perempuan. Perluasan perhatian gerakan perempuan Aceh ini tentu tidak berhenti dalam sebuah tema. Pada kenyataannya, organisasi-organisasi non-pemerintah yang digerakkan oleh perempuan Aceh selama ini telah bekerja pada hampir semua isu, mulai dari kerja-kerja penguatan ekonomi kelompok terpinggirkan, pendidikan politik masyarakat, hingga isu lingkungan, dan pembangunan perdamaian.
2012 bukan kali pertama gerakan perempuan mengangkat isu perdamaian. Di tingkat Aceh dan dunia, perjuangan perempuan dalam isu ini memiliki sejarah panjang. Gerakan perempuan Aceh telah mengangkat tema perdamaian sebelumnya saat peringatan Hari Perempuan Internasional 2002. Pada tahun 2000, Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) Pertama merekomendasikan konflik Aceh harus diselesaikan secara damai di meja perundingan. Rekomendasi ini memberi dukungan politik kaum perempuan untuk terselenggarakannya perundingan RI-GAM yang difasilitasi Henry Dunant Center (HDC).
Gerakan perempuan
Di Eropa, perhatian gerakan perempuan pada isu perdamaian dimulai sejak 1913. Menjelang perang dunia I, perempuan seluruh Eropa mengkampanyekan isu anti-perang dan perdamaian. Pada 1917, merespons gugurnya dua juta pemuda Rusia di medan perang, jutaan perempuan Rusia melancarkan mogok kerja dengan isu “roti dan perdamaian”. Meski tidak mendapat dukungan dari partai berkuasa, mogok tetap berlangsung selama empat hari dan memaksa Tsar turun tahta (internationalwomensday.com website, 2012).
Theresa Moriarty dalam catatannya “100 Years of Women’s Struggle: The Origins and Evolution of March 8 as International Women’s Day” menulis pada 1936 Hari Perempuan Internasional di Italia digunakan untuk melakukan protes terhadap keputusan pemerintah menginvasi Ethiopia. Pada 1938, peringatan Hari Perempuan Internasional di Chekoslovakia dilakukan dengan membawa bendera merah sebagai simbol perlawanan terhadap fasisme Nazi.
Sejarah gerakan perempuan mewujudkan perdamaian di negerinya terlalu banyak untuk bisa disebutkan satu persatu di sini karena nyaris terjadi di semerata penjuru dunia. Di antara yang paling apik, terjadi pada gerakan perempuan Liberia pada 2002. Sebagaimana direkam dalam film dokumenter terkenal Pray The Devil Back to Hell karya Abigail E Disney and Gini Reticker, gerakan perempuan Liberia berhasil memaksa dua suku yang telah bertikai sejak 1990 untuk mengakhiri konflik mereka di meja perundingan. Gerakan perempuan Liberia berhasil menghentikan konflik berusia 15 tahun.
Saat juru runding kedua suku berkonflik gagal mencapai kesepakatan setelah berhari-hari melakukan negosiasi, para perempuan Liberia mendatangi gedung perundingan dan menggembok ruangannya dari luar. Mereka ingin memastikan tidak boleh ada satu juru runding pun keluar sebelum perundingan damai tercapai. Setelah dua hari perundingan berjalan di bawah pengawalan gerakan perempuan, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan untuk mengekstradisi presiden berkuasa saat itu yang korup dan penjahat perang. Perundingan juga menyepakati diselenggarakannya pemilu damai dengan melibatkan dua suku bertikai.
Pemilu damai itu mengantarkan Ellen Johnson Sirleaf menjadi presiden perempuan pertama Liberia. Sirleaf berhasil memimpin Liberia dalam suasana demokratis dan damai sepanjang masa pemerintahannya. Prestasi ini membawanya menjadi pemenang Nobel perdamaian pada 2011.
Pilkada damai
Kisah perjuangan gerakan perempuan Liberia menyelesaikan konflik antarsuku yang menahun, mengawasi berjalannya pemilu damai pascakonflik, dan bekerja untuk memenangkan Ellen Johnson Sirleaf menjadi presiden perempuan pertama Liberia telah menginspirasi gerakan perempuan Aceh untuk mengambil tanggung jawab serupa. Pilkada berdarah disadari sebagai musuh bersama rakyat Aceh dan gerakan perempuan harus mengambil posisi di lini terdepan melawan segala upaya menghilangkan kesempatan rakyat Aceh menikmati Pilkada damai.
Inilah pesan utama gerakan perempuan Aceh dalam memperingati Hari perempuan Internasional 2012. Kekuatan-kekuatan politik internal Aceh yang selama ini terlibat konflik kekerasan menjelang Pilkada 2012 harus dipaksa memahami pesan ini. Kasus-kasus penembakan, pembakaran rumah, pemukulan, teror, dan intimidasi yang selama ini mewarnai musim pelaksanaan Pilkada telah menarik perhatian gerakan perempuan Aceh untuk mengambil beban lebih besar memastikan Pilkada 2012 tidak menginterupsi perjalanan perdamaian Aceh yang masih berusia muda.
Maka gerakan perempuan Aceh tidak mungkin membatasi kampanye dukungan mereka terhadap Pilkada damai hanya selama peringatan Hari Perempuan Internasional. Program kampanye Pilkada damai selazimnya disusun lebih sistematis dan dijalankan lebih meluas setelah Hari Perempuan Internasional ini hingga hari pemungutan suara pada 9 April depan. Masyarakat di gampong-gampong harus dibekali informasi-informasi mencerahkan, yang memungkinkan mereka menjaga jarak dari elit politik pencipta kerusuhan dan ketidakamanan untuk memenangkan Pilkada.
Mengapa tidak, jika gerakan perempuan Aceh berinisiatif memediasi kelompok-kelompok politik Aceh yang potensial menghambat Pilkada damai. Mengingat panjangnya deretan kasus kekerasan sejak musim Pilkada ini dimulai, seharusnya usaha memediasi menjadi mungkin karena tidaklah begitu rumit mengidentifikasi kelompok-kelompok bertikai. Jika saja inisiatif memediasi kelompok-kelompok politik yang potensial mengancam pemilu damai dapat dilakukan dengan cemerlang oleh gerakan perempuan Aceh, maka satu lompatan sejarah baru dapat diukir kembali di Aceh.
Bagaimanapun juga, harapan terselenggaranya Pilkada damai pada hakikatnya adalah tantangan serius gerakan perempuan Aceh tahun ini. Juga pada saat yang sama menyediakan kesempatan berharga melakukan lompatan sejarah menarik. Tidak ada keraguan lagi, sejarah Aceh mengajarkan kita perempuan selalu mampu melakukan lompatan besar dalam setiap momentum yang tersedia. Maka berdirilah di depan, selamatkan perdamaian ini!
Affan Ramli, Kepala Sikula Mukim Prodeelat dan pendukung Gerakan Perempuan Aceh
Sumber: Harian Serambi Indonesia