Pepatah bijak mengatakan “Sebaik-baik pria adalah pria yang memberikan perhatian sebanyak-banyaknya dan sebaik-baik wanita adalah wanita yang tidak meminta terlalu banyak kepada sang pria.”
Mahar adalah kajian menarik, terutama bagi seorang pria yang ingin melamar calon istrinya. Acapkali seorang pria gagal menikahi kekasihnya karena mahar yang ditetapkan di luar kemampuannya. Daerah yang memiliki gadis dengan mahar tinggi akan diberi gelar (laqob) tertentu. Hal tersebut menjadi peringatan bagi pria yang ingin melamar wanita dari daerah tersebut agar mempersiapkan mempersiapkan mahar yang tinggi juga. Nilai mahar di Aceh merupakan tertinggi kedua di Indonesia, setelah Sulawesi.
Mahar di Aceh dinisbatkan pada emas yang diukur dalam satuan mayam. Satu mayam emas setara dengan 3,3 gram emas. Kontruksi yang telah lama dibentuk ini tidak saja merugikan para pria, ia juga padan dengan sikap materialistis karena dikaitkan dengan sosok ideal seorang pria, yakni kaya. Pria yang tidak dapat memenuhi kriteria tersebut akan diangap jauh dari sempurna, sehingga pinangannya tidak akan serta merta diterima, atau bahkan ditolak.
Dalam Atjeh Verslag tertulis, fantastisnya maskawin di Aceh bermula dari kisah Snouck Hurgronje yang gagal menikah di Belanda. Ia datang ke Aceh untuk mengobati kekecewaannya. Dengan restu kompeni, ia menghasut masyarakat untuk meningkatkan mahar kawin di Aceh. Van Heutz mendukung niat Snouck tersebut karena strategi ini membuat gerilyawan Aceh lemah dalam perang.
Konteks Aceh Kontemporer
Suatu hari saya berdiskusi dengan seorang pemuka adat di daerah Bireuen. Saya bertanya mengapa mahar di Aceh begitu tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Pemuka adat tersebut menjawab, kebijakan itu bertujuan pasangan suami-istri tidak mudah kawin cerai, mengingat mahalnya biaya untuk menikah kembali. Di beberapa daerah yang maharnya tidak terlalu tinggi, kawin cerai sering terjadi karena mereka tidak perlu memberikan mahar yang tinggi kepada istri.
Sebagian kalangan menafsirkan bahwa semakin tinggi mahar akan mendorong pemuda untuk giat bekerja sehingga ia dapat meminang gadis pujaan hatinya. Namun, ada juga kalangan yang menilai bahwa kebijakan pada masa Kesultanan Aceh tersebut lebih banyak menimbulkan mudlarat dibandingkan dengan manfaat.
Dalam ajaran Islam, tidak ada standar minimal jumlah mahar yang wajib diberikan calon suami terhadap calon istri. Disebutkan pula mahar terbaik adalah mahar yang paling ringan. Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” Dalam hadist lain Rasulullah Saw. menjelaskan, “Pernikahan yang paling berkah adalah pernikahan yang paling murah maharnya” (HR Ahmad). Rasulullah juga mengatakan bahwa wanita yang paling mulia adalah wanita yang meminta mahar paling sedikit dan pria yang paling mulia adalah pria yang memberikan mahar dalam jumlah besar meskipun hanya sedikit yang diminta. Sebaliknya di Aceh, patokan mahar tinggi seakan menjadi prestasi dalam menikahkan anak gadis.
Dalam menentukan mahar, perlukah pemerintah ikut ambil bagian dalam merumuskan kebijakan ini, sebagaimana terjadi pada masa Sultanah Ratu Zakiatuddin yang mengatur soal mahar dalam Qanun Meukuta Alam? Diakui atau tidak, mahar yang terlalu tinggi akan menghambat pernikahan karena tidak semua pemuda dapat memenuhi harapan tersebut. Di samping itu, mahar yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah menikah. Seorang pria bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa telah memberikan mahar yang tinggi.
Marwan Idris, alumni Fakultas Ekonomi Manajemen, Universitas Syiah Kuala (2008), sedang mengerjakan Penelitian Maskulinitas di Aceh untuk UN Volunteers dan aktif dalam Aliansi Laki-Laki Baru Aceh.
Sumber gambar: http://www.pahang-delights.com
Tags Aceh Budaya kekerasan terhadap perempuan
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …