Maskulinitas, Makna dan Dampaknya pada Konstruksi Jender di Dalam Masyarakat dan Lingkup Akademis

Changing Masculinities Workshop
Tanti Noor SaidMemenuhi undangan dari guru antropologi dan seksualitas yang juga adalah supervisor saya, Professor Niko Besnier, selama tiga hari lamanya saya mengikuti sebuah workshop yang berlangsung dari tanggal 11 sampai dengan 13 Desember 2013 di Universitas Amsterdam. Tema workshopnya adalah Changing Masculinities. Waktu saya meng-iyakan untuk menghadiri workshop ini, saya kurang menyadari betapa intensif debat yang akan terjadi. Workshop ini dihadiri oleh para mahasiswa Doktoral dan Postdoc dari beberapa Universitas di Eropa dan Amerika yang saat ini sedang melakukan penelitian yang terkait erat dengan masalah jender.
Tanpa kita sadari, konsep bersifat dikotomis (maskulinitas dan femininitas) telah menjadi unsur pokok yang membentuk dan menjadi penuntun perilaku individu dan kelompok manusia, yang terkadang membatasi dan memaksa dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak tau sejak kapan pembagian ini dimulai dan diterapkan dalam masyarakat. Namun perlu saya tekankan, penitikberatkan sisi maskulinitas ataupun femininitas seseorang atau kelompok masyarakat sebagai salah satu sisi yg menarik, maka saya, kamu, kami dan kita sedang berada di wacana jender. Namun tentu saja wacana jender itu sangat luas serta ada sebagai bagian dalam kebudayaan setiap masyarakat, mekipun kemudian prakteknya berbeda-beda bentuk.
Perdebatan seputar maskulinitas dan patriarki
Apa itu maskulinitas?
Ini adalah pertanyaan yang pertama muncul di kepala saya ketika saya dengan sangat panik berusaha membuat thinkpiece yang harus saya kumpulkan dalam waktu tidak kurang dari 12 jam itu. Belum pernah saya panik hingga saya bahkan tidak ingat satu teoripun yang pernah saya pelajari. Ternyata, saya tidak punya ide dan jawaban yang instan. Untuk membaca teori lagi, saya tidak mampu. Akhirnya saya berusaha berfikir dengan merunut jawaban2 yang pernah diberikan oleh teman-teman saya pada masa penelitian dulu. Menurut jawaban teman-teman saya di saat penelitian dulu, maskulinitas adalah perilaku maskulin. Berjalan dan bergerak tidak dengan lemah gemulai, tidak menggunakan bahasa banci sebagai bahasa sehari-hari, dan tidak menggunakan kosmetika seperti layaknya sebagian perempuan dan banci dandan.
Kemudian, perdebatan yang terjadi di awal workshop kami ini adalah “Is gender matter?” Apakah jender adalah sesuatu yang relevan lagi untuk diperdebatkan dan merupakan masalah, baik sosial maupun akademis? Ataukah kita sekarang sebenarnya hanya memelukan 2 dikotomi ini, yaitu maskulinitas dan femininitas, kemudian segalanya yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan kedua term ini adalah sebuah performative semata. Artinya gendernya sendiri sebagai sebuah studi dan konsep tidak lagi produktif dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan. Tentu saya kecewa mendengar pernyataan yang sangat sinis, pesimis dan terkesan menafikan kegunaan dan kerumitan ilmu yang saya tekuni selama beberapa tahun ini. Saya menangkap kekecewaan dimata para peserta lainnya.
Jawaban versi saya, “Maskulinitas merupakan sebuah payung yang dapat merangkum apa saja yang termasuk dan disebut maskulin dan atau juga tolak ukur yang menyangkut nilai dan norma yang maskulin. Maskulin yang saya maksud adalah oposisi dari feminin.”
Ketika kelas menjadi ramai, saat itu saya segera sadar, saya tidak sedang political correct, saya sedang thinking out loud. Saya meneruskan jawaban saya di dalam kelas yang penuh dengan suara dengung para rekan-rekan peserta workshop.
“Karena maskulinitas, begitu juga femininitas merupakan sebuah hasil kebudayaan dan proses berbudaya, yang dapat ditemukan di berbagai masyarakat, namun juga dipraktekkan dengan variasi yang berbeda-beda. Maka, kita baru dapat mengerti perbedaan dan kesamaannya dalam bentuk praktek yang kita saksikan atau dengan dalam masyarakat, ketika kita sedang melakukan penelitian lapangan.” Ujar saya dengan gaya yang sangat yakin.  Memang jawaban ini seperti sudah standar ditengah kalangan antropolog yang menjunjung tinggi relativisme dan dinamika.
Patriarki dalam studi jender
Konsep selanjutnya yang terkena giliran adalah (tidak lain dan tidak bukan), patriarki. Buat saya, kata ini adalah momok. Saya punya “hate and love relationship” dengan kata ini. Itu sebabnya, saya sangat jarang menggunakan kata ini dalam tulisan saya, seperti juga saya takut menggunakan kata maskulinitas atau femininitas di dalam thesis saya. Mengapa saya terkesan agak segan menggunakan kata ini. Sadar tidak sadar, karena sejak saya menulis skripsi saya mengenai strategi perempuan di parlemen, 10 tahun yang lalu, saya telah akrab dengan tulisan-tulisan yang membahas patriarki sebagai biang keladi ataupun “laki-laki adalah predator,” yang kemudian sangat sering diperkuat dengan argumentasi yang kembali melompat kepada budaya patriarki.
Keberatan saya, karena kata ini sering digunakan secara sporadis, namun tanpa menjelaskan makna dan batasan serta konteks dimana patriarki ini sedang dibicarakan. Bagaimana mungkin, jika konteks, konsep-konsep lain juga mengalami pergeseran maupun perubahan makna, namun patriarki seperti tidak digugat dan dijelaskan dengan rinci maknanya. Jika maskulinitas dilekatkan pada laki-laki, begitu juga dengan patriarki. Tulisan Rianne Subijanto berjudul “Moral yang minim: Mempertanyakan kembali perjuangan perempuan” seperti berbicara kepada keresahan saya mengenai konsep-konsep lawas ini dan penggunaannya dalam tulisan akademis serta non-akademis.
Workshop mengenai maskulinitas ini membangunkan beberapa dari kami semua dari sebuah status quo tentang apa itu studi jender, femininitas dan maskulinitas. Secara produktif dan kemudian menjadi reproduktif kami berusaha mengeksplore pengetahuan yang pernah kami telan bulat-bulat itu. Jender selama ini suka tidak suka telah dikaitkan atau kadang misinterpretasi dengan woman studies. Karena, prejudice, yang dianggap memiliki masalah ketidakadilan dan menjadi korban adalah perempuan. Maka secara taking for granted, banyak akademisi seperti juga saya yang tidak mengeksplore maskulinitas dan studi terhadap laki-laki dengan serius.
Pertanyaan yang kemudian juga timbul, apakah maskulinitas ini harus selalu dikaitkan dengan praktek seksual dan jender? Dalam hal ini saya merasa kemudian terjebak habis-habisan dan sadar bahwa jalan keluar itu tidak ada lagi. Maskulinitas tidak harus membahas laki-laki. Potongan rambut dan gaya berpakaian saya belakangan ini sangat sering mendapatkan komentar dari teman. Perempuan yang maskulin adalah salah satu panggilan baru saya, yang kemudian bukan hanya identitas jender yang terkena dampaknya, namun orientasi seksual saya juga banyak dipertanyakan. Dan tentu, seperti juga transwoman, saya harus menjelaskan diri saya kepada orang lain.
Menggunakan kata patriarki baik dalam ilmu sosial, maupun dalam artikel populer
Karena kita akan dengan sangat mudah jatuh dalam sebuah fenomena yang memberi kesan bahwa konsep ini tidak mengalami perkembangan dan proses seperti layaknya setiap konsep yang digunakan dalam ilmu pengetahuan. Setiap konsep lahir dengan latar belakangnya sejarahnya sendiri, namun ia akan selalu mengalami perkembangan. Ia tidak ahistoris. Dalam ilmu antropologi, pendekatan ini ini dikenal sebagai diakronik. Diakronik merupakan salah satu pendekatan metode dalam ilmu sosial yang sangat penting dan berkontribusi terhadap perkembangan teori.
Kita juga harus menyadari dalam menggunakan konsep patriarki, konteks dan sejarah setiap masyarakat berbeda. Itu sebabnya, penting, jika kita menggunakan penjelasan-penjelasan mengenai mengapa dan bagaimana konsep patriarki ini digunakan dalam masyarakat, dalam hal ini dalam masyarakat di Indonesia. Selain hal ini penting untuk memberikan informasi pada pembaca, hal inipun sangat penting dalam berlatih memahami konsep yang kita gunakan atau baca secara kritis. Sikap kritis terhadap sebuah konsep maupun teori, tidak membuat konsep atau teori ini menjadi lemah atau mati. Kritik dan kajian tersebut justru yang memperkaya keragaman makna dan fungsi sebuah konsep dan teori.
Perlu kita sadari, tidak semua pembaca memiliki pengetahuan yang sama mengenai sebuah konsep. Menurut saya pribadi, ini tidak masalah, karena tidak mungkin semua orang, dengan latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda, memiliki pengertian yang sama mengenai sebuah konsep, dalam hal ini, patriarki ataupun maskulinitas. Oleh sebab itu penting untuk dijelaskan batasan dan maksudnya, sehingga, patriarki bukanlah sekedar laki-laki yang menekan perempuan, tanpa ada penjelasan sejarah dan mekanismenya.
Moralitas sebuah masyarakat dan relativisme
Meskipun kami, para antropolog telah dilatih untuk menggunakan pendekatan relativisme atau mengambil jarak untuk mengerti nilai moral yang lain, baik itu individu dan dalam masyarakat, bukan berarti lantas kami tidak mempunyai prejudice dan tidak mengukur moral orang lain. Terkadang masih ada ledekan atau senyum tidak enak ketika salah satu dari kami sedang membicarakan praktek seksual sebuah masyarakat. Bahkan saya keceplosan menggunakan kata setia dalam ketidakpercayaan saya menanggapi hasil temuan machoisme kaum laki-laki atau suami di Cuba yang menunjukkan rasa cinta dan setianya terhadap istrinya, namun tetap mempertahankan affairnya dengan kekasihnya.
Apa yang salah dengan affair dan poligami dalam masyarakat Betawi di Jakarta atau poliandri dalam masyarakat Islam di Kerala? Bahkan bukan lagi serial monogami, tapi serial poligami yang terjadi di Cuba, dimana semua suami punya affair, begitu juga dengan para istri. Semua itu masih terkait dengan tujuan dalam rangka menjaga langgengnya tradisi, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, yaitu nilai machoisme dan kesetiaan. Kesetiaan, dalam prakteknya memiliki kompleksitasnya sendiri. Dan saya hanyalah individu yang terekspos dengan tradisi serupa, meskipun disaat yang sama menuntut budaya yang straightforward dan tidak menjebak saya sebagai anggota masyarakatnya.
Relativisme tidak semudah yang diajarkan oleh para guru antropologi kami. Kami masih tertawa, bisik-bisik dan berprasangka, karena kami memang sekedar manusia yang merupakan hasil dari budaya yang diajarkan pada kami. Suka atau tidak suka.
Maskulinitas yang mengalami pergeseran atau perubahan
Artikel dari Kageha dan Moyer berjudul Putting sex on the table mengenai kehidupan seksual dan perubahan makna maskulinitas dalam sebuah masyarakat di Nairobi, Afrika setelah intervensi dalam rangka menangani epidemi HIV&AIDS adalah tulisan yang memberikan penjelasan yang paling gamblang mengenai perubahan maskulinitas. Mungkin karena dari seluruh artikel yang saya baca, hanya artikel ini yang dapat memberikan penjelasan mengenai hasil observasi lapangan sebelum dan setelah intervensi dilakukan terhadap sebuah kelompok masyarakat. Kita memang dapat melihat perubahannya dengan jelas. Dan maskulinitas dalam hal ini memiliki konteks yang sangat jelas. Masa epidemi HIV dan aids dan kaitannya dengan sebuah program intervensi yang spesifik.
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa laki-laki dalam masyarakat Nairobi (seperti juga masyarakat yang lainnya) memiliki pressure untuk dapat memuaskan para istri dalam hal seksualitas. Kemampuan seks atau sexual prowess seorang laki-laki adalah salah satu tolak ukur penting dari maskulinitas mereka. Namun ketika mereka sadar akan adanya epidemi HIV dan aids serta kaitannya dengan perilaku seks, lantas banyak dari mereka menjadi murung. Bagi mereka yang HIV+ juga tidak berani mengakui pada pasangan bahwa mereka mengidap virus ini.
Kebanyakan program intervensi yang ada menganjurkan mereka untuk abstain atau tidak terlalu aktif untuk melakukan hubungan seks lagi. Belum lagi obat yang sangat keras yang berpengaruh kepada prestasi seks mereka. Kehidupan seksual dengan pasanganpun menjadi perlahan-lahan hilang. Salah seorang lelaki bicara bahwa untuk mereka yang sejak awal aseksual, bukanlah masalah besar untuk tidak berhubungan seks. Tetapi untuk mereka yang terbiasa menikmati seksualitasnya, maka ini adalah sebuah malapetaka besar.
Program intervensi baru yang dipraktekkan di Nairobi adalah program untuk tetap hidup dengan HIV yang telah diidap melalui medikasi atau pengobatan, namun tidak menghilangkan hasrat seksual yang ada. Program ini memiliki kelompok atau grup terapi yang memberikan stimulasi untuk dapat kembali menikmati seksualitas mereka. Mereka juga diberikan obat seperti viagra untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka ssampai kemudian kemampuan tersebut kembali pulih. Setelah pulih, mereka tidak lagi butuh viagra.
Berbagai contoh kasus yang saya pelajari dari studi etnografi yang membahas mengenai maskulinitas. Namun kemudian memang hanya dengan mempelajari prakteknya dalam masyarakat, yang membuat kita mengerti bagaimana maskulinitas ataupun femininitas dipraktekkan di dalam sebuah masyarakat. Perubahan bisa terjadi dengan sebuah peristiwa berskala sangat besar yang menimpa sebuah masyarakat. Contohnya seperti krisis ekonomi dan wabah penyakit. Namun, maskulinitas tidak memiliki bentuk dan definisinya yang universal.
Daftar Pustaka

  • Harkonen, Heidi. 2013. Negotiating Wealth and Desirability: Changing Expectations on Men in Post-Soviet Havana. University of Helsinki.
  • Kageha Igonya, Emmy and Eileen Moyer.2013. Putting sex on the table: sex, sexuality and masculinity among HIV-positive men in Nairobi, Kenya. University of Amsterdam.
  • Odinga, Agnes. 2011. “I am not Tassa, He Is not a Man like other Men”: Feminising Infertility and Masculinising Fertility in South Nyanza, 1945–1960. In African Sexualities: A Reader. Sylvia Tamale, ed. Pp. 474–480. Cape Town: Pambazuka Press.

Penulis: Tanti Noor Said, Penulis adalah kontributor Our voice Indonesia dan  edukator jender dan seksualitas.
Sumber: SuaraKita.org

About Redaksi ALB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *