Beberapa minggu terakhir, tingkah polah pendukung-pengikut klub sepak bola kembali hadir dan menghiasi media. Kekerasan dan tawuran seolah lekat dengan citra suporter bola.
Jika kita lebih dalam menyingkap fenomena kekerasan para suporter, terbentang sebuah kepelikan masalah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan, dunia bola adalah arena yang menampilkan realitas sosial itu sendiri. Sepak bola pun, seperti diungkapkan sosiolog Bourdieu (Programm fuer eine Soziologie des Sports, 1992), tak hanya sebuah permainan serius, tetapi lebih jauh menampilkan sebuah sistem dan struktur masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kekerasan para suporter bola mesti dibaca sebagai persoalan sistem sosial masyarakat kita pula.
Selanjutnya, pokok dari kategori struktur masyarakat adalah persoalan jender karena berkat perbedaan jender sebuah tatanan sosial terkonstruksi.
Berangkat dari fondasi tesis di atas, pemahaman tingkah kekerasan, kemudian, tidak gampang jatuh pada penyederhanaan masalah bahwa amuk para pendukung-pengikut klub sepak bola hanya disebabkan oleh variabel kelaparan, kemiskinan, dan dunia preman kota.
Laki-laki dan hegemoni
Tak diragukan, dunia bola adalah dunia yang dikuasai para lelaki. Mereka merasa bahwa sepak bola selalu identik dengan kejantanan, kegagahan, dan keberanian. Tengoklah komentar Luciano Moggi, bekas presiden klub sepak bola Juventus, yang dengan eksplisit menyebut bahwa dunia bola adalah dunia lelaki dan bukan dunia para gay.
Contoh yang tak jauh, dalam salah satu wawancara saya dengan informan terungkap bahwa suporter perempuan kadang dilarang tampil secara terbuka dan bersemangat di dalam stadion. Penyebabnya sepele, klub bola pujaannya selalu kalah dalam pertandingan jika suporter perempuan bersorak dan berjingkrak terlalu menonjol. Kehadiran perempuan dianggap tabu dan jika dilanggar akan memicu kekalahan.
Apa yang diimajikan oleh para lelaki tentang dunia bola tersebut terlihat biasa dan seolah tak mengandung persoalan. Namun, jika ditelisik lebih jauh tersembul sebuah praksis laki-laki atau ritual laki-laki. Itulah praksis konkret dari ideologi maskulin yang di dalamnya terentang kompetisi dan praksis ”homososial” di mana laki-laki dengan laki-laki bersama-sama mengonstruksi dunia sosial yang tertutup bagi perempuan. Tujuannya, sadar atau tidak, laki-laki membangun sebuah imaji komunitas yang imun, tak tersentuh dan aman dari ancaman perempuan.
Ruang-ruang sosial semacam kelompok pendukung-pengikut klub sepak bola lalu menjadi arena di mana laki-laki berjuang mendapatkan kehormatan, kekuasaan, dan identitas maskulin. Bahkan, praksis maskulinitas ini tak hanya mengedepankan aspek pembedaan dan penutupan terhadap perempuan, tetapi juga akan melebar dalam bentuk persaingan dengan kelompok lain atau secara khusus kelompok suporter bola lain.
Permainan kekerasan
Kerakusan dan kehausan akan kekuasaan mendorong para lelaki untuk tak berhenti pada penutupan akses-akses perempuan. Lebih jauh lagi praksis maskulinitas memerlukan legitimasi keunggulan dengan jalan penundukan terhadap kelompok lain atau ”sang liyan”.
Kekerasan pun diambil sebagai metode penundukan. Pertandingan sepak bola adalah momentum yang pas untuk mengidentifikasi ”sang liyan” secara jelas. Maka, persaingan antarkelompok pendukung klub sepak bola pun lebih mudah jatuh pada praktik kekerasan yang kasatmata sebab hal itu dianggap paling kental berkarakter laki-laki. Tanpa kekerasan niscaya hanya dianggap sebagai praktik bukan laki-laki, tetapi banci.
Gampang ditebak, praktik kekerasan atas kelompok lain adalah upaya praksis maskulinitas untuk membangun imaji bahwa laki-laki akan semakin menemukan jati dirinya jika memperoleh kekuasaan dan kemenangan. Individu kuasi kelompok akan bermegah menjadi semakin laki-laki jika paling kuat dan paling ditakuti pihak lain.
Intimidasi dan praktik kekerasan itu kemudian dipamerkan dan dipraktikkan di jalan, di stadion, atau di ruang-ruang publik kota. Di sinilah kita melihat, penjarahan, perusakan, dan tawuran antara kelompok suporter dan kelompok pendukung bola lain, atau antara suporter dan warga, harus dipahami sebagai upaya para lelaki ingin menguasai ruang lebih luas. Tak hanya ruang imaji, tetapi ruang konkret bernama kota atau masyarakat secara luas.
Akhirnya, memahami kekerasan para suporter bola adalah membaca realitas sosial masyarakat kita sendiri. Dari sini kita memperoleh pemahaman bahwa mengeliminasi kekerasan suporter bola juga segendang sepermainan dengan agenda penghapusan ketidakadilan struktur berbasis jender. Penanganan kekerasan suporter bola pun mesti komprehensif jika akan berhasil.
Penulis: Bambang K Prihandono Pengajar Prodi Sosiologi Bisnis dan Media Universitas Atma Jaya, Yogyakarta; sedang riset tentang kekerasan suporter sepak bola Indonesia
Sumber : Kompas Jumat, 12 Februari 2010 | 05:12 WIB
Tags Kekerasan maskulinitas Olahraga
Check Also
Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL
Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …