Memperkenalkan Konsep “Laki-laki Baru”

Penghapusan kekerasan selama ini banyak difokuskan pada perempuan korban kekerasan. Dalam konsep “laki-laki baru” pendekatan ini dibalik. Laki-lakilah yang menjadi pusat.

Sebagai pengantar dalam lokakarya kecil (mini-workshop) di Distrik Arso (3-6 Oktober), Pastor Johanes Djonga, Pr, pembela hak asasi manusia, mengatakan, banyak dampak negatif yang terjadi dalam masyarakat di Kabupaten Keerom, antara lain, yang disebabkan perkembangan zaman dan kehadiran pihak keamanan.

Dampak itu meluas dan berpengaruh karena pemerintah daerah bersikap tidak peduli. Kedua faktor ini memberikan pengaruh yang berbeda, baik terhadap keberadaan laki-laki maupun perempuan. Masyarakat asli hanya sekitar 37 persen dari jumlah penduduk Distrik Arso, Kabupaten Keerom, kata Djonga di ruang pertemuan Wanita Katolik Gereja Katolik Arso Kota.

Kegiatan bertema “Laki-laki Baru Mini-Workshop” dimaksudkan untuk memperkenalkan konsep “laki-laki baru” yang sudah dikembangkan oleh Rifka Annisa Yogyakarta (Pusat Pengembangan Sumber Daya untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) dan United Nation Women (Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) di Aceh dan wilayah lain, sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat Papua, khususnya di Kabupaten Keerom.

Rifka Annisa dan UN Women sudah lebih dulu menggagas dan menyelenggarakan kegiatan ini di wilayah masing-masing.

“Kami juga ingin membentuk sebuah kegiatan atau mengembangkan model ‘Laki-laki Baru’ di Papua sebagai salah satu komponen untuk mengembangkan ‘kampung damai’ di kampung Arso Kota, Kabupaten Keerom,” ujar Wulan dari UN Women wilayah Papua.

Sedikit dari banyak contoh bentuk kekecewaan yang dirasakan laki-laki disampaikan Fransiskus Tafor, petugas Kantor Distrik Arso. Katanya, perubahan gaya hidup membuat kami sedih dan marah.

Anak-anak muda tidak hirau pada nilai-nilai budaya karena orang tua sudah tidak menjadi panutan. Anak-anak lebih suka bepergian dan meniru gaya hidup baru yang masuk ke kampung. Tapi, ini tidak semata “kesalahan” mereka. Misalnya, kebiasaan berburu yang sekarang sudah menjadi langka di kalangan laki-laki Arso. Selain itu, di mana mau berburu, jika lahan saja sudah tidak ada?

Begitu juga dengan Antonius Ruben Gusbager. Bapak muda dari kampung Arso ini mengatakan, dia kadang sulit menyakinkan dirinya sendiri dan istrinya: apakah dia laki-laki Arso yang sejati?

Banyak pengalaman pahit masa lalu dalam hidup warga kampung Arso yang membuat terjadi lompatan generasi dan kehilangan identitas. Situasi yang sama, dengan dampak yang berbeda, memunculkan perasaan kecewa, marah, pernyataan bodoh dan terbelakang, akhirnya membuat para laki-laki kehilangan kepercayaan diri.

Karena itu, dalam kegiatan Mini-Workshop di Arso ini harus muncul inisiatif bagi proses tentang pemaknaan akan harga diri bagi kaum laki-laki sendiri yang pada gilirannya akan mempengaruhi cara komunikaksi dengan istri dan anak-anak. Agar selanjutnya tidak ada lagi anak-anak yang kehilangan contoh dan teladan yang baik dari orang tua.

Wulan menambahkan, kegiatan yang bekerja sama dengan Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) dengan dimotori Johanes Djonga, Pr dan gereja Katolik di Kampung Arso Kota, Kabupaten Keerom, bertujuan menguatkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Upaya ini akan difokuskan pada tiga hal.

Pertama, regulasi dan kebijakan daerah. UN Women bekerja sama dengan Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua untuk membuat draf pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kedua, penatalayanan. Program ini merupakan penyedia layanan (service provider) bagi korban kekerasan dan anak.

Ketiga, pengembangkan “sekolah bebas kekerasan” dan “kampung bebas kekerasan” yang dinamakan “sekolah ramah anak” dan “kampung damai”.

Menyangkut komponen ketiga inilah, UN Women bekerja sama dengan YTHP dan Djonga untuk mengembangkan kampung Arso Kota sebagai Kampung Damai. Dan mengembangkan sekolah SMP YPPK Tegasa, SMA YPPK Tegasa dan SMP Negeri 1 Arso sebagai Sekolah Ramah Anak.

Mini-workshop di kampung Arso memfokuskan pembahasan pada laki-laki sebagai pelaku tindak kekerasan sebagaimana dalam berbagai macam kasus yang terdata. Tidak seperti pendekatan atau program yang selama ini lebih banyak berupa penguatan kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Sebagai pelaku tindak kekerasan, tidak ada pendekatan terhadap laki-laki.

Warga kampung damai terdiri dari keluarga-keluarga yang, antara suami-istri dan anak-anak saling  berelasi. Dengan menjadi sosok yang “baru,” laki-laki mengenal identitas dirinya dengan baik.

Laki-laki kampung Arso Kota dapat menjadi lebih bertanggung jawab kepada istri dan anak, bisa mengembangkan hubungan yang harmonis. Akhirnya, damai  tidak tidak sekadar kata-kata, tapi diwujudkan dalam relasi rumah tangga.

Dalam sebuah pernikahan, diharapkan ada hubungan yang harmonis antara suami terhadap istri, orangtua terhadap anak, keluarga inti dengan keluarga luas, seperti dengan om dan tante, kakek dan nenek. Damai itu menyebar dalam seluruh masyarakat di kampung Arso Kota.

Lokakarya lebih dititikberatkan pada laki-laki, tapi dibuka peluang untuk peserta perempuan, pemuka agama, adat, dan masyarakat yang selama ini memang terlibat dalam penanganan masalah rumah tangga dan lingkungan setempat.

Mini-Workshop ini akan dipandu oleh Nur Hasyim, Koordinator Rifka Annisa Yogyakarta yang juga penyusun buku Warna Warni Lelaki dan Begini Idealnya Laki-laki, didampingi oleh Koordinator UN Women wilayah Aceh, Farid Muttaqin. Kegiatan yang sama sudah dilakukan di wilayah Bengkulu, Jakarta, Yogyakarta dan Kupang.

Rima Making 

Sumber: http://suaraperempuanpapua.org

About Redaksi ALB

Check Also

Webinar Konsultasi Nasional: Refleksi Pelibatan Laki-laki di Indonesia

Pengantar Upaya mencapai keadilan dan kesetaraan gender dilakukan dengan mendorong perubahan norma budaya patriarki yang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *