Perjuangan keadilan gender yang selama ini berkembang seringkali hanya terfokus pada perempuan yang identik menjadi korban. Banyak pula gerakan feminis yang masih sakleg menyoroti bahwa munculnya kekerasan berbasis gender merupakan akibat nilai patriarki di masyarakat.
Hal itu pula yang masih menjadi skenario besar perjuangan keadilan sosial di Indonesia. Awalnya upaya penghapusan kekerasan berbasis gender berangkat dari mindset melihat perempuan selalu sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku kekerasan.
Namun, cara berpikir tersebut perlu mendapat dekonstruksi ulang melalui serangkaian upaya pendefinisian kembali perihal nilai-nilai mendasar dalam konstruksi budaya yang memicu terjadinya kekerasan berbasis gender.
Sehingga menjadi penting mencermati akar permasalahan yang menyebabkan kekerasan berbasis gender dengan realitas hubungan yang terbangun antar individu di masyarakat.
Negara berkembang seperti Indonesia, munculnya kekerasan berbasis gender dapat dipicu oleh langgengnya maskulinitas negatif yang dimiliki laki-laki. Ada baiknya framing isu kekerasan berbasis gender perlu dilihat dengan membongkar konstruksi maskulinitas yang ada selama ini.
Setidaknya upaya tersebut dapat menghasilkan dua hal : pertama, untuk melihat bagaimana kekerasan muncul dari konstruksi maskulinitas.Kedua, untuk menelusuri bagaimana seharusnya konsep maskulinitas dikonstruksikan agar tidak berpotensi menjadi kekerasan.
Eli Nur Hayati dalam diskusi Rifka Annisa, Jumat (23/12), berbagi pengalaman tentang penanganan kekerasan di Swedia. Negara Swedia memiliki konsep dan pengalaman yang cukup menarik perihal maskulinitas. Diskusi yang mengangkat tema “Maskulinitas Laki-laki Swedia” ini merupakan paparan hasil riset serta kajiannya terhadap Mens Centrum (sebuah lembaga pelayanan konseling untuk laki-laki).
Di Swedia, menurut Eli, maskulinitas digambarkan dalam sosok laki-laki yang penyayang dan berempati, bukan laki-laki superior maupun dominan. Dengan menganut nilai dan prinsip demikian, laki-laki Swedia sangat minim untuk melakukan kekerasan.
Dalam konteks rumah tangga misalnya, laki-laki dan perempuan sudah cukup baik dalam berbagi peran dan pemahaman akan posisi masing-masing. Dengan konstruksi maskulinitas yang disebutkan di awal, laki-laki Swedia justru sangat menerima untuk berbagi peran domestik dengan istri mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan pun saling berbagi peran misalnya perihal mengurus anak. Mereka juga saling bekerja sama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi. Persoalan komunikasi dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari ini sangat penting untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga.
Karenanya, kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak menjadi permasalahan prioritas di Swedia. Kekerasan dalam rumah tangga masih ada tetapi tidak begitu tinggi. Selain itu, kekerasan yang terjadi bukan lagi karena permasalahan gender melainkan akibat konflik psiko sosial antar individu.
“Kalau di Swedia, saya rasa permasalahan (baca : kekerasan berbasis gender) tersebut boleh dikatakan sudah selesai. Memang ada kasus kekerasan (terhadap perempuan), namun presentasenya sangat kecil dan tidak bisa diperbandingkan,” tegas Eli.
Kekerasan dapat dilihat sebagai keburukan individual yang muncul atas tiga sebab: pertama, adanya gen buruk manusia yang membuatnya begitu agresif; kedua, adanya perkembangan yang tidak baik dalam fase kehidupannya; dan ketiga, kekerasan dapat muncul akibat penggunaan kualitas dan sikap laki-laki dalam interaksi sosial.
Jika ekologi kekerasan lebih dipandang sebagai faktor individual maka solusi yang dilakukan juga lebih menyasar kepada perbaikan sikap individu masing-masing. Menilik dari pengalaman Mens Centrum, konseling yang dilakukan kepada laki-laki pelaku kekerasan lebih efektif jika pendekatannya individual.
Tidak ada kerangka ekologis yang cukup kompleks dalam kekerasan di Swedia. Dibandingkan dengan Indonesia yang kerangka ekologis kekerasannya begitu kompleks mencakup individu, keluarga, masyarakat, kultur, hingga struktur yang lebih luas.
Di Swedia penyebabnya cenderung individual, maka solusinya lebih sederhana dan langsung menekan individu pelaku kekerasan. Bahkan, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, tekanan (pressure) yang paling efektif datang dari pasangan.
Maka, dalam hal ini laki-laki dituntut untuk mau mendengarkan serta berkomunikasi secara lebih baik dengan pasangannya.
Sebuah Pelajaran Berharga
Kasus kekerasan berbasis gender minim terjadi di Swedia. Menurut Eli ini dipengaruhi beberapa faktor, pertama, sudah jelas karena Swedia merupakan salah satu negara maju di Eropa dan dunia.
Kemajuan yang dimaksud meliputi tingkat demokrasi, perihal regulasi (law enforcement ), tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat cukup tinggi. Pencapaian ini tentunya tidak terlepas dari kemajuan sistem yang ada di negara tersebut.
Di Swedia, telah lama diterapkan prinsip-prinsip keadilan gender dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Seperti di parlemen, mereka sudah menetapkan pembagian jatah kursi untuk laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 50:50 atau sama rata.
Hal ini menunjukkan bahwa warga Swedia telah mengaplikasikan kesetaraan posisi antara laki-laki dan perempuan secara nyata, bahkan di level tertingginya, yakni pemerintahan. Di sisi lain, pendidikan tentang keadilan gender di Swedia sudah diajarkan sejak dini dan menjadi kurikulum dalam sekolah.
Ini membuat pemikiran akan kesamarataan hak laki-laki dan perempuan, serta tidak boleh adanya diskriminasi dan ketimpangan yang mengatasnamakan gender. Kesemuanya itu sudah ditanamkan kepada para warganya dengan baik dan kontinuitasnya pun senantiasa terjaga dari generasi ke generasi.
Eli menambahkan, penegakan supremasi hukum di Swedia sudah sangat tegas dan jelas. Dalam kasus prostitusi, misalnya, saat penggrebekkan pihak yang berwenang akan menangkap mereka yang mempekerjakan (bandarnya), bukan para pekerja seksnya.
Prosedur penanganan yang demikian ini menjadikan akar permasalahan langsung tuntas, tanpa menimbulkan ketidakadilan pada pihak lain yang sebenarnya adalah korban. Jika hal ini dibandingkan dengan yang terjadi di Indonesia, maka jurang perbandingannya akan sangat lebar.
Di Indonesia, masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Penyelesaiannya pun kadang tidak menyentuh pada persoalan. Untuk mengatasi hal tersebut, tentu banyak hal yang harus dilakukan.
Terutama dari pemerintah melalui berbagai kebijakannya, juga dari pendidikan dan hukum perlu untuk dibenahi agar bisa lebih melindungi perempuan, yang selama ini masih banyak mengalami diskriminasi.
Kemudian satu hal yang juga penting untuk dicermati adalah segi agama. Di Indonesia, seringkali agama hanya diajarkan sebagai ilmu, bukan secara amaliyah atau penerapannya. Masyarakat terlalu sibuk berkutat pada ritual, sedangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan sikap dan moral kurang ditekankan.
Padahal agama mengajarkan kepada kita untuk berbuat baik pada sesama, terutama dalam hal ini kaitannya dengan keadilan terhadap perempuan.
“Jadi, tantangan ke depan adalah bagaimana ajaran-ajaran agama yang menyangkut akhlak yang baik tersebut bisa diterapkan dalam kehidupan riil. Ini dilakukan supaya tidak ada lagi perilaku yang membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat,” ungkapnya. (One/Witia)
Sumber: Rifka Annisa