Perjuangan kesetaraan relasi kuasa membutuhkan gerakan bersama laki-laki dan perempuan untuk meluruhkan karakter maskulin yang agresif, dominan, dan menindas, yang sebenarnya merupakan ekspresi destruktif yang mengikis hakiki kemanusiaan laki-laki.
”Tujuan Aliansi Laki-laki Baru adalah mentransformasikan pola pikir, keyakinan, dan perilaku maskulinitas laki-laki yang patriarkis serta memberi penghormatan penuh pada hak-hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia,” ujar Nurhasyim, Ketua Aliansi Laki-laki Baru, suatu aliansi dengan sekitar 50 anggota dari Aceh, Jakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Aliansi itu diluncurkan di Jakarta pekan lalu.
Menurut Nurhasyim, aliansi ini akan melakukan pendidikan transformasi maskulinitas patriarkis sekaligus femininitas patriarkis, sehingga tak bisa dilepaskan dari gerakan perempuan yang bertujuan mentransformasikan perempuan agar tidak menjadi penopang patriarki.
Asumsi nilai-nilai patriarki hanya diadopsi laki-laki sebenarnya tidak sepenuhnya tepat. Menurut feminis Afrika, Meredeth Turshen (1998) dan Louise Vincent (2001), masalahnya adalah relasi kuasa. Perempuan tidak secara otomatis memiliki kualitas esensial, seperti kebaikan dan welas asih.
Sebagaimana laki-laki, (kepentingan) perempuan juga terbagi-bagi dalam kelas, dan ideologi. Anggapan perempuan mencintai secara alamiah, menurut Sara A Ruddict (1985), juga mitos. Kerja kepedulian, meski lebih banyak dilakukan perempuan, tidak eksklusif milik perempuan.
”Patriarki tidak lahir bersama laki-laki,” kata Nurhasyim, yang belasan tahun bergabung dengan Women’s Crisis Center Rifka Annisa, Yogyakarta, ”Nilai-nilai patriarkis dipelajari, tumbuh, dan disosialisasikan pada berbagai kebudayaan dalam bentuk privilese dan kekuasaan pada laki-laki.”
Menentang asumsi
Aliansi Laki-laki Baru akan melakukan pendidikan melalui berbagai cara, termasuk penggunaan media sosial dan melalui situs lakilakibaru.wordpress.com. Selain itu, dipersiapkan juga saluran khusus laki-laki dalam program radio Yayasan Jurnal Perempuan agar laki-laki terlibat dalam pembicaraan seputar relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan (jender).
”Kami akan mengajak laki-laki menantang asumsi tentang arti menjadi laki-laki dan mengajak mereka melihat konsekuensi negatif dari konstruksi maskulinitas patriarkis,” tutur Nurhasyim, ”Kami mempromosikan citra baru laki-laki yang menghargai dan berbagi tanggung jawab dengan perempuan.”
Aliansi Laki-laki Baru merupakan bagian dari gerakan yang bersandar pada penghormatan pada hak-hak asasi manusia tak bersekat; suatu gerakan penyadaran pada laki-laki bahwa nilai patriarkis yang selama ini dikukuhi sebagai sesuatu yang inheren, sebenarnya telah mengikis kemanusiaan mereka.
Situasi itu juga merupakan penindasan kultural selama berabad-abad karena telah mengubur aspek feminin yang secara alamiah dibawa manusia sejak lahir, tanpa melihat jendernya.
Seperti diingatkan jurnalis dan feminis Amerika Serikat, Susan Faludi (1999), laki-laki sebenarnya adalah korban patriarki karena mengandaikan kekuasaan dan dominasi sebagai cara bertahan. Padahal, kehidupan hakiki manusia justru harus dijalani dengan meluruhkan nilai-nilai patriarki itu. Transformasi tak sedikit pun memengaruhi identitas jender mereka.
Merasuknya nilai-nilai patriarki dalam seluruh sistem kemasyarakatan dan kenegaraan berakibat mendalam dan berlangsung berabad-abad. Bentuknya adalah praktik kekerasan terhadap perempuan atas nama budaya (dan agama) di berbagai kebudayaan yang sering kali diformalkan dalam kebijakan negara.
Misoginis
Prasangka dan kebencian terhadap perempuan (misoginis) adalah salah satu dampak yang melahirkan berbagai pelanggaran keji di berbagai kebudayaan. Di beberapa negara Afrika dikenal praktik mutilasi kelamin perempuan karena asumsi nafsu perempuan berlipat-lipat dibandingkan dengan laki-laki dan berpotensi menjadi ”liar”.
Di negara seperti Pakistan dan Afghanistan dikenal praktik pembunuhan perempuan atas nama kehormatan keluarga ser- ta tuduhan penyelewengan terhadap perempuan korban pemerkosaan dalam hukum yang diskriminatif.
Di China, pada masa lampau, bentuknya adalah pengecilan kaki perempuan. Namun, modernitas China tak bisa dipisahkan dengan kebijakan formal yang mengadopsi nilai-nilai tradisi dengan korban fetus dan bayi perempuan.
Di Indonesia, Nurhasyim mengutip 189 kebijakan diskriminatif dalam bentuk peraturan di berbagai tingkat, tahun 2010, tujuh terbit di tingkat nasional, 80 di antaranya menyasar langsung pada perempuan dengan mengatasnamakan agama dan moralitas.
Kebijakan menggunakan klaim mayoritas dalam proses berdemokrasi itu, menurut Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Yunianti Chuzaifah, merupakan pembenaran atas pembedaan, pembatasan, dan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara.
Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan Mariana Amiruddin menyadari, proses transformasi akan panjang dan menyakitkan. Namun, Aliansi Laki-laki Baru dapat memainkan peran besar dalam menggemakan berbagai kebijakan diskriminatif dan membuat masyarakat menaruh perhatian pada masalah itu. (MH)
Sumber : Harian Kompas, Jumat, 25 Maret 2011.
Koordinator gerakan laki-laki baru, saya punya publikasi dan film yang mendokumentasi pengalaman gerakan “laki-laki melawan kekerasan” di Nicaragua. Cukup detail menjelaskan sejarah dan pendekatan mereka. Kalau bukunya, sudah di-bahasa Indonesia-kan, tapi filmnya belum (subtitle Ingris). Tolong hubungi saya langsung pada alamat email ini.
Dear Jane, sangat menarik jika kami dapat mengaksesnya untuk memberikan referensi bagaimana merumuskan strategi yang tepat untuk konteks Indonesia. Terima kasig telah mengunjungi blog kami dan terima kasih informasinya.