Partisipasi Laki-laki dalam Agenda Keadilan Gender

Apakah mungkin laki-laki menjadi seorang feminis? Pertanyaan itu telah lama ada dari beberapa tahun yang lalu. Jurnal perempuan edisi 12 berjudul “Men Doing Feminism? Why Not?”, telah mengangat isu tersebut.

Setelah itu kemudian muncul deklarasi laki-laki anti kekerasan yang dilakukan Yayasan Jurnal Perempuan untuk membuka peluang masuknya gerakan laki-laki dalam isu gender.

Untuk Aliansi Laki-laki Baru yang terdiri dari Yayasan Jurnal Perempuan, Rifka Annisa, WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, WCC Rumah Perempuan Kupang, Men’s Forum Aceh dan Yayasan Pulih Jakarta mengadakan talkshow dan workshop (17-18/3) dalam konsultasi nasional Aliansi Laki-laki Baru.

Aliansi Laki-laki baru merupakan sebuah jaringan yang mendorong dan melibatkan laki-laki dalam isu kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Adapun tujuan dari kegiatan tersebut adalah untu menyediakan ruang dialog jaringan aktivis maupun masyarakat umum tentang visi dan strategi Laki-Laki Baru serta untuk melakukan penguatan dan penorganisasian pelibatan laki-laki melalui mekanisme dan kode etik yang dibentuk.

Hingga kini, kebutuhan atas keterlibatan laki-laki dalam berbagai gerakan perempuan, minimal untuk mulai diakuinya laki-laki yang bekerja dalam institusi perempuan. Beberapa organisasi perempuan perlahan-lahan mengajak dan mendorong laki-laki untuk terlibat dalam gerakan mereka, bahkan menjadi juru bicara dalam penanganan kekerasan yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kekerasan terhadap perempuan dalam bingkai perjuangan gender.

Seiring dengan fenomena gerakan ini, tidak sedikit kritik terhadap laki-laki yang terlibat dalam gerakan keadilan gender yaitu dalam beberapa hal berikut ini:

  1. Laki-laki bersedia terlibat hanya karena proyek atau mata pencaharian, bukan komitmen atau ideology dan kesadaran yang terbangun;
  2. Laki-laki bersedia terlibat karena dianggap sebagai teori baru yang berkembang;
  3. Kecurigaan atas terjadinya diominasi laki-laki dalam gerakan perempuan dan menutupi suara perempuan itu sendiri.

Konsultasi nasional atau membangun dialog antar jaringan aktivis HAM dan aktivis perempuan serta masyarakat umum dilakukan untuk memetakan sejauh mana laki-laki terlibat dalam strategi gerakan perempuan – dengan tanpa mengabaikan kritik atau perdebatan tentang ini. Inisiatif pelibatan laki-laki ini dinamai Aliansi Laki-Laki Baru, artinya yang telah memiliki komitmen dan kesadaran penuh tentang kesetaraan gender.

Dalam talkshow sesi pertama mencoba mempertanyakan kemanakah tujuan gerakan laki-laki baru dan apa visinya. Hadir sebagai narasumber dalam sesi ini adalah Nur Hasyim (Rifka Annisa dan Aliansi Laki-Laki Baru), KH. Hesein Muhammad (Komnas Perempuan) dan Rocky Gerung (Akademi). Sesi ini dimoderatori oleh Mariana Amiruddin dari Yayasan Jurnal Perempuan.

Nur Hasyim menjelaskan bahwa laki-laki tumbuh melalui konstruksi masyarakat dan dibentuk oleh budaya kelaki-lakian (patriarki). Ada kesadaran bahwa patriarki tidak melulu negatif terhadap perempuan, tapi juga terhadap laki-laki. Suka melakukan tindak kekerasan, mengalami tekanan tanggung jawab untuk menikah (heteroseksual), punya anak, memimpin, bekerja mapan, merupakan sifat dan pengalaman yang dimiliki oleh banyak laki-laki.

Sementara talkshow kedua menghadirkan Gadis Arivia (Yayasan Jurnal Perempuan), Myra Diarsi (Women Research Institute) dan Debra H. Yatim (KOMSENI). Yanti Muchtar dari Kapal Perempuan menjadi moderator dalam talkshow yang mengambil tema Kritik dan Perdebatan keterlibatan Laki-laki dalam Gerakan Perempuan.

Menjawab pertanyaan mungkinkan laki-laki menjadi seorang feminis, Gadir Arivia menganggap bahwa laki-laki dapat menjadi pro-feminis, akan tetapi tidak dapat memastikan bahwa laki-laki bisa menjadi feminis seutuhnya.

“Ada kesan laki-laki berkontribusi secara teori bukan arti “mempertaruhkan jiwanya” akan tetapi lebih pada sekedar simpati atau empati paling jauh “merasakan kepiluan” korban”, ungkapnya. “Namun, sikap seperti ini pun merupakan kemajuan yang luar biasa karena tidak banyak laki-laki yang bisa bersikap seperti itu”, tambahnya.

Laki-laki di dalam sistem patriarchal tidak dapat sungguh-sungguh membebaskan diri dari kekuasaan dan privelese mereka dalam relasi perempuan. Karena menjadi feminis bukan saja cukup mencari solusi keterpurukan perempuabn tapi juga menjadi bagian dari kelompok yang terpuruk.

Sedangkan menurut Myra Diarsy, Aliansi Laki-laki Baru, yang lahir dari gerakan perempuan harus bisa berjalan beriringan dengan gerakan perempuan.

Hari kedua, dibahas platform dan kode etik Laki-Laki Baru. Ada beberapa hal yang dibahas dalam workshop ini, antara lain mengenai keanggotaan, isu-isu strategis, kelompok sasaran dan sebagainya. Ada 4 isu strategi yang dibahas antara lain Kekerasan berbasis gender, Hak Seksual dan kesehatan reproduksi, Tafsir agama yang bias gender dan Maskulinitas baru terkait dengan feminis laki-laki. Namun keempat isu strategis tersebut masih memungkinkan untuk dibahas kembali.

Pertanyaan juga muncul dari Lanny Harijanti, dari UNFPA terkait dengan isu strategis yang akan diangkat karena dari keempat isu belum terlihat kekhasan dari Aliansi Laki-Laki Baru. “Dari keempat isu tersebut belum ada kekhasan dari Aliansi Laki-laki Baru, ini menjadi PR bagi ALLB untuk menentukan isu strategis yang memperlihatkan ciri khasnya”, demikian ungkapnya.

Sumber: Kalyanamitra

About Redaksi ALB

Check Also

Webinar Konsultasi Nasional: Refleksi Pelibatan Laki-laki di Indonesia

Pengantar Upaya mencapai keadilan dan kesetaraan gender dilakukan dengan mendorong perubahan norma budaya patriarki yang …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *