Seorang kawan mengunggah catatannya tentang sidang Komisi Status Perempuan PBB (CSW 60) di New York baru-baru ini. Dalam catatannya ia menyebutkan bahwa di antara isu yang diperbincangkan cukup hangat dalam kegiatan tambahan (side event) sidang PBB tersebut adalah perlunya memperluas keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender. Namun demikian, mencuat pula pertanyaan kritis tentang apa dampak yang telah dihasilkan dari pendekatan tersebut. Sudahkan ada bukti-bukti yang menegaskan bahwa keterlibatan laki-laki benar-benar memberikan dampak positif bagi kehidupan perempuan dan tatanan sosial yang lebih adil.
Pertanyaan kritis itu sangat penting dan serius, tidak hanya bagi aktivis perempuan, feminis dan tentu saja perempuan secara umum yang memang tidak semuanya menerima dengan senang hati gagasan tentang pelibatan laki-laki tetapi juga bagi para penggagasnya sendiri yang meyakini bahwa penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender mustahil terwujud jika laki-laki tidak dilibatkan atau absen.
Pengumpulan bukti-bukti dampak positif keterlibatan laki-laki menjadi penting karena akan menjadi jawaban atas kesangsian bagi sebagian perempuan dan tentu bukti-bukti ini juga akan memperkuat argumentasi bagi para pengusungnya. Namun sejauh ini bukti-bukti itu masih belum tersusun dengan meyakinkan sehingga belum cukup meredakan kesangsian perempuan seperti yang mengemuka dalam sidang komisi status perempuan PBB sebagaimana diungkapkan pada awal tulisan ini. Kebelumtersediaan bukti-bukti dampak positif pelibatan laki-laki bagi kehidupan perempuan dan tatatan masyarakat yang lebih adil juga menghalangi pegiat pelibatan laki-laki untuk memberikan argumentasi yang kokoh tentang urgensi pelibatan laki-laki dalam pencapaian keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan kecuali alasan teoritik tentang mengapa laki-laki harus dihadirkan dalam upaya pencapaian keadilan gender.
Di Indonesia, pendekatan pelibatan laki-laki dalam pencapaian keadilan gender mulai mencuat pada akhir 90an dan awal 2000an. Mulanya lebih bersifat gerakan (aktivisme) atau munculnya aktivis laki-laki yang terlibat dalam gerakan perempuan ketimbang programatik namun dalam perkembangannya ada kecenderungan pelibatan laki-laki menjadi program ketimbang sebagai gerakan seperti munculnya “Laki-Laki Peduli” dan program-program lainnya.
Seperti halnya dalam kontek global, di Indonesia, sejak awal isu pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan sudah mengundang perdebatan. Pada awal kemunculannya, saat pelibatan laki-laki sebagai isu gerakan (aktivisme), perdebatan yang mengemuka adalah isu yang bersifat politis seperti terkait dengan isu berkurang atau melemahnya leadership (kepemimpinan) dan ruang politik perempuan dalam gerakan keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan namun ketika isu pelibatan laki-laki menjadi program pembangunan maka selain beberapa isu politik sebagaimana diuraikan, muncul juga beberapa isu terkait dengan kemungkinan akan melemahnya akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya seperti dana pemberdayaan perempuan, pendidikan dan pelatihan dan seterusnya.
Pemaparan bukti-bukti yang kuat terkait dengan dampak positif pelibatan laki-laki bagi kehidupan perempuan dan keadilan gender secara umum sangat diperlukan baik di Indonesia maupun secara global. Bukti-bukti ini diperlukan untuk menjawab perdebatan yang mengiringi munculnya pelibatan laki-laki .
Meskipun sudah ada upaya untuk mendokumentasi perubahan yang muncul sebagai konsekuensi pelibatan laki-laki dalam pencapaian keadilan gender seperti yang dilakukan oleh Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) dalam buku “Laki-Laki yang Sedang Berubah”1 namun masih diperlukan dokumentasi perubahan lainnya untuk memperkuat menjadi basis argumentasi yang dapat meyakinkan bahwa keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan itu meniscayakan keterlibatan laki-laki.
Dalam buku “Laki-Laki yang (sedang) Berubah”, ALB memberikan porsi yang lebih banyak pada cerita perubahan pada level personal pada diri laki-laki yang terlibat dalam program yang diselenggarakan di tingkat komunitas. Hal-hal yang membuat dokumentasi itu terasa belum cukup adalah aspek perubahan yang dilihat adalah sikap dan perilaku sehingga tidak cukup menyediakan bukti-bukti terkait dengan perubahan relasi kuasa, sebagian besar kesaksian akan perubahan diberikan oleh fasilitator program dan belum memberikan porsi yang lebih banyak kepada penerima manfaat, partisipan atau konstuen program, dan dokumentasi tersebut belum mengakomodasi perspektif perempuan tentang perubahan yang mereka rasakan sebagai dampak langsung dari keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender.
Perubahan pada relasi kuasa menjadi aspek yang fundamental untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender sekaligus menjadi aspek yang paling sulit untuk diukur. Karena kekuasaan menyelinap dalam setiap relasi laki-laki dan perempuan dan dapat mewujud dalam banyak hal; pilihan kata, bahasa tubuh, pembagian kerja, pengasuhan anak, relasi seksual dan relasi intim lainnya. Selain itu, dimensi kuasa ini juga sangat halus (subtle) yang mungkin hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terlibat dalam relasi itu. Kehalusan isu kuasa ini membuatnya tidak mudah diobservasi, apa yang nampak equal atau setara belum tentu setara karena bagi mereka yang merasakan hubungan tersebut mungkin berbeda.
Hal lainnya yang belum mendapatkan porsi yang cukup banyak adalah perubahan pada aspek makro sosial misalnya terkait dengan norma, struktur an praktek kelembagaan sosial, dan kebijakan. Buku “Laki-Laki yang (sedang) Berubah” tidak cukup mengeksplorasi perubahan pada aspek norma sosialnya, apakah pelibatan laki-laki mengubah norma kaku terkait dengan peran sosial laki-laki dan perempuan, penerimaan terhadap kekerasan, tidak adanya sanksi sosial terkait dengan kekerasan serta anggapan rumah tangga sebagai masalah private. Lebih lanjut, ALB juga belum menggali perubahan pada aspek struktur dan praktek lembaga sosial misalnya apakah pelibatan laki-laki mendorong meningkatnya tingkat partisipasi dan representasi perempuan dalam lembaga-lembaga sosial seperti RT,RW, Dusun, Karang Taruna, Kelompok Tani, dan seterusnya. Selain itu, apakah pelibatan laki-laki menghasilkan kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan jaminan atas perlakuan yang adil bagi laki-laki dan perempuan serta perlindungan perempuan dari tindak kekerasan misalnya dengan adanya mekanisme penangananan, rujukan, rumah aman, pemulihan atau sanksi yang memenuhi rasa keadilan.
Mungkin karena beberapa hal tersebut di atas mengapa ALB memberi judul buku kesaksian fasilitator dan partisipan program pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pencapaian keadilan gender tersebut dengan “Laki-Laki yang (sedang) Berubah”. Judul ini mengandaikan proses perubahan itu sedang terjadi dan belum sampai pada perubahan ideal yang dicita-citakan.
Pentingnya Benchmark Evaluasi Dampak Pelibatan Laki-Laki
Selain masih banyak aspek yang belum tergali, belum tersedianya benchmark atau tolok ukur untuk menilai dampak pelibatan laki-laki dalam pencapaian keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang menjadi acuan banyak pihak juga menjadi masalah. Sehingga satu orang dengan orang yang lain dapat memberikan penilaian yang berbeda-beda untuk menentukan apakah pendekatan ini berdampak positif atau tidak bagi kehidupan perempuan dan keadilan secara umum.
Oleh sebab itu tolok ukur atau bechmark menjadi penting, tolok ukur ini setidaknya mencakup beberapa aspek; Pertama, aspek personal. pada aspek ini perubahan yang dilihat adalah pengetahuan, sikap dan perilaku terkait dengan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Kedua, aspek relasi atau hubungan. baik hubungan dengan pasangan maupun hubungan-hubungan lainnya seperti saudara, teman, dan seterusnya. Pada aspek relasi ini hal-hal yang dapat dilihat adalah terkait dengan pembagian kerja, pola komunikasi, proses negosiasi dan pengambilan keputusan, termasuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Ketiga, aspek struktur dan praktek organisasi sosial. Hal ini terkait dengan partisipasi dan representasi perempuan dan laki-laki di berbagai lembaga sosial seperti organisasi komunitas, partai politik, pemerintahan. Selain itu juga terkait dengan partisipasi dan representasi perempuan dan laki-laki dalam lembaga ekonomi atau yang terkait dengan produksi dan distribusi barang dan jasa.
Dari aspek-aspek tersebut perlu dirumuskan indikator-indikator perubahan termasuk kriteria penilaian sehingga aspek perubahan yang diukur lebih jelas serta ada rujukan penilaian yang digunakan.
Kelompok Perempuan Menjadi Evaluator yang Penting
Dalam isu kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender secara umum, perempuan adalah kelompok yang paling dirugikan sementara pada tingkat tertentu laki-laki juga harus menanggung konsekuensi negatif dari konstruksi gender yang ada. Namun berbeda dengan perempuan, laki-laki mendapat privelese dan kekuasaan dari konstruksi sosial yang ada. Karenanya kelompok perempuan adalah kelompok yang paling penting untuk didengarkan terkait dengan perubahan yang mereka rasakan dengan adanya laki-laki terlibat dalam upaya pencapaian keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Apakah mereka merasa lebih dihargai, didengarkan aspirasinya, diajak mengambil keputusan, dimanusiakan, dan tidak lagi ada hambatan-hambatan kultural dan struktural yang menghalangi mereka untuk menjadi yang mereka inginkan.
Dengan demikian, selain harus menjadi partisipan yang tidak diboleh ditinggalkan dalam setiap upaya pelibatan laki-laki, perempuan juga menjadi narasumber utama untuk menilai perubahan yang dicapai dari upaya pelibatan laki-laki dalam pencapaian keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
sumber: malihrupa