Eksekusi Mati Ala Media Sosial

Tidak tahan dengan bullying (perundungan, ed) yang didapat melalui media sosial, Carolina Picchio (14), dari Italia dan Rebecca Sedwick (12), dari Amerika Serikat, pada 2013 memilih mengakhiri hidupnya. Begitu juga dengan Hannah Smith (14), dari Inggris, walau ia meminta orang-orang di media sosial berhenti merundung dirinya, pada akhirnya ia tidak tahan dan memilih bunuh diri.
Jauh sebelum media sosial berkembang, perundungan telah berlangsung. Namun setelah berkembangnya media sosial sebagaimana sekarang ini, perilaku perundungan semakin massif bahkan lebih menyeramkan. Itu (menyeramkan) karena perundungan melalui media sosial selain bisa dilakukan lintas wilayah, pelaku perundungan juga bisa menyembunyikan identitasnya. Sebagaimana yang dialami oleh mendiang Hannah Smith, pelaku yang merundung dirinya bersembunyi di balik identitas palsu dalam melancarkan aksinya.
Baru-baru ini jagad media sosial tanah air digemparkan dengan kasus siswi sekolah yang saat perilakunya dianggap tidak terpuji berhasil direkam. Saat itu mobil yang ia dan kawan-kawannya tumpangi dihentikan oleh seorang Polwan, dan siswi tersebut mengaku sebagai anak salah satu petinggi di Kepolisian. Tidak butuh waktu lama video rekaman tersebut menjadi viral di sosial media hingga menjadi perhatian tersendiri dari masyarakat dan media konvensional. Hasilnya siswi yang tengah “diadili” netizen tersebut, menurut pengakuan sang ibu mengalami ketakutan. Bahkan lebih dari itu, tidak lama kemudian sang ayah meninggal dunia.
Terlepas apakah kematian ayahnya terkait dengan pemberitaan di media sosial dan media konvensional, patut diajukan satu pertanyaan untuk kita, apakah anda sudah puas dengan penderitaan yang dialami keluarga tersebut? Bila ada orang, terlebih bila ia adalah perempuan yang dianggap melanggar norma soial, mengapa mereka, bahkan kita, tiba-tiba menjadi pengadil? Haruskah kasus tewasnya Carolina Picchio, Rebecca Sedwick, dan Hannah Smith, baru bisa menghentikan langkah kita untuk menjadi pengadil? Apakah karena nama-nama di atas adalah perempuan kemudian dianggap boleh dan layak diadili? Bagaimana bila yang melanggar norma sosial adalah laki-laki?

Perempuan dalam Bekap Norma Sosial vs Keistimewaan Laki-laki

Mengapa perempuan lebih rentan mendapatkan perundungan dan stigma atas perilakunya yang dianggap melanggar norma sosial? Tapi sebaliknya mengapa ketika laki-laki yang melakukan pelanggaran terhadap norma sosial dianggap hal wajar? Contoh, bila di ruang publik ada seorang perempuan yang merokok, tertawa terbahak, tergabung dalam suatu komunitas motor, apalagi berkelahi, reaksi masyarakat selain akan menganggap itu perbuatan yang melanggar norma sosial, juga akan memberikan stigma buruk. Berbeda halnya bila yang melakukan hal di atas adalah laki-laki, selain dianggap wajar, perilaku di atas justru digunakan untuk mengukur tingkat kehebatan/keberanian laki-laki.
Dari ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa laki-laki memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki perempuan terutama untuk di ruang publik. Ruang publik dalam konteks ini juga termasuk media sosial. Itu artinya norma sosial untuk perempuan juga berlaku ketika perempuan memanfaatkan media sosial. Itulah mengapa ketika ada seorang perempuan yang dianggap melanggar norma-norma sosial, sebagaimana kasus Carolina Picchio, setelah videonya yang tengah dalam kondisi mabuk tersebar di Facebook, ia menjadi sasaran perundungan lengkap dengan stigma.
Tapi mengapa bila itu (mabuk) yang melakukan adalah laki-laki dianggap hal biasa saja? Hal demikian terjadi akibat dari konstruksi sosial patriarki yang menempatkan perempuan sebagai inferior dan mendaulat laki-laki sebagai superior. Dengan demikian kita bisa melihat mengapa kemudian laki-laki bisa menguasai ruang publik dan melakukan kontrol atas tubuh dan hidup perempuan melalui norma sosial yang dibangun kemudian dibakukan menjadi nilai. Norma sosial yang digunakan untuk “merantai” perempuan antara lain ia harus menjadi sosok yang penurut, pendiam, merendahkan atau melembutkan suara, beredar di sekitar rumah saja, melakukan tugas-tugas domestik, dan hal-hal yang terkait dengan sifat inferior lainnya.
Lantas apa yang terjadi bila norma sosial itu ditabrak oleh perempuan? Sudah pasti akan ada stigma dan tuduhan-tuduhan yang merendahkan bagi perempuan. Itulah mengapa kemudian perundungan yang dialami perempuan khususnya di media sosial menjadi massif, karena masyarakat menganggap pelanggaran norma sosial apalagi di ruang publik yang dilakukan perempuan tidak saja melanggar satu norma, tetapi ada banyak norma lain yang menyertai.
Akibat perempuan dibekap norma-norma sosial patriarki yang oleh masyarakat dibakukan menjadi nilai, kaum perempuan kemudian memiliki banyak layer norma, mulai dari dalam keluarga, masyarakat, Negara, hingga dunia. Sementara itu di sisi lain ada kelompok laki-laki yang tengah merasakan keistimewaanya menikmati hidup tanpa harus melewati norma-norma sosial sebagaimana yang dialami kaum perempuan. Untuk itu bagi kita yang menentang perundungan, menjunjung keadilan dan kesetaraan gender, sudah semestinya untuk tidak menjadi bagian dari “algojo” di dunia maya dengan menghindari menjadi pengadil dan agen viral pesan yang mengandung kebencian.

About Wawan Suwandi

Kordinator Aliansi laki-laki Baru wilayah Jakarta

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

2 comments

  1. Sekedar mengingatkan angka bunuh diri laki-laki termasuk karena bullying tetap lebih tinggi daripada perempuan, tetapi hampir tidak ada tindakan dari lsm manapun, karena anggapan bahwa laki-laki harus selalu. Sekedar menyeimbangkan supaya tetap adil gender. Thx

    • Halo Agud, terima kasih untuk informasinya. Tetapi begitu ada beberapa hal yang perlu kami sampaikan:
      1) Artikel di atas tidak membahas mengenai statistik sebagaimana yang kamu komentari. Artikel di atas membahas tentang ketidakadilan gender yang dialami perempuan di media sosial.
      2) Mengenai adil gender bukan sebatas perimbangan statistik laki-laki dan perempuan saja, tetapi harus include juga dengan perspektif, budaya, dan akses yang tidak diskriminatif.
      Terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *