Perempuan Selalu Salah

Dua foto dalam tulisan ini bicara tentang sebuah narasi besar. Bahwa perempuan masih dan mungkin akan tetap jadi korban tafsir patriarkis.

Baru saja saya membaca sebuah komentar yang mengkritik sembilan perempuan kendeng pemberani ini. “Ibu-ibu itu kenapa dibiarin kakinya disemen? Panas-panas? Suaminya ke mana?” seolah, perempuan tak berhak dan tak boleh punya inisiatif kritis untuk melawan penindasan.
Bagi yang belum tahu, sikap berani perempuan Kendeng ini bukan yang pertama. Berkali-kali mereka menunjukan nyali dan konsistensi lebih dari laki-laki manapun yang saya kenal. Mereka telah berjuang dan melawan tinggal 667 hari di tenda untuk memprotes pembangunan pabrik semen di desa mereka.

Kemarin perempuan-perempuan ini memutuskan untuk memasung kaki mereka dengan semen sebagai simbol. Bahwa nasip mereka telah dikunci korporasi jahat yang mengancam masa depan periuk dan jagat hidup anak cucu mereka. Perempuan-perempuan ini tak ingin tunduk dan diam saja. Mereka melawan, semampunya, sebaiknya, sebisanya.

Sembilan perempuan itu sadar resiko. Mereka telah diperingatkan, dibujuk untuk tidak melakukan, tapi mereka punya kesadaran kolektif, kesadaran kelas, dan lebih dari itu inisiatif mandiri untuk memutuskan nasib sendiri. Mereka hendak melawan rezim jahat yang mengancam masa depan desa mereka.

Siapa yang jahat sebenarnya? Apa yang lebih membuat geram daripada kelas menengah mapan yang mengkritik sesuatu yang tak dipahami? Ibu-ibu ini dianggap dimanfaatkan LSM untuk menolak pembangunan, ibu-ibu ini dianggap sekedar alat politik untuk menekan penguasa, lantas asik bicara soal kemanusiaan, etika, dan moral tanpa ikut merasakan hidup mereka yang pedih.
dpr_liburan
Foto lainnya adalah tentang rombongan istri-istri anggota DPR. Pada derajat yang lain mereka jadi korban cemoohan, bully dan gunjing. Seolah mereka menjalani hidup glamor sebagai dosa tak terampuni. Salah mungkin, tapi apakah mereka pantas dihinakan?

Ini serupa slut shaming, dan victim blaming dalam rape culture. Alih-alih menyalahkan pelaku perkosaan, si korban disalahkan dan dihina. Jika kemudian mereka dianggap salah menggunakan fasilitas negara dengan jalan-jalan dan bersenang-senang karena mereka istri pejabat, mengapa bukan suaminya yang disalahkan? Mengapa bukan suaminya yang dihina dan direndahkan?
Oh, jika saya punya istri seorang anggota DPR, saya juga akan melakukan hal serupa. Tentu menyalahkan istri (perempuan) lebih gampang daripada menyalahkan si suami sebagai aparatur negara yang menyalahi wewenang. Itupun kalau menyalahi wewenang. Pertanyaannya apakah perempuan-perempuan ini salah secara hukum? Secara etis mungkin, memamerkan kekayaan itu tidak salah dan tidak melanggar hukum, jika mereka kaya secara legal.

Dua foto ini masih jadi representasi dua hal. 1. Perempuan dianggap tak punya inisiatif dalam partisipasi politik, aktivisme, dan gerakan sosial. Sehingga ibu-ibu Rembang dianggap sebagai objek. 2. Dalam sebuah skandal, sengketa, dan permasalahan sosial perempuan masih jadi kambing hitam paling mudah untuk menunjuk muka. Tanpa repot memahami detil dan narasi yang lebih luas.
Saya kira kita mesti marah. Marah karena masih ada yang menganggap perempuan tak punya inisiatif dan marah karena menganggap perempuan itu objek

About Arman Dhani

Jurnalis di Tirto.id. Menyukai piringan hitam, sepatu dan buku. Sedang berusaha move on.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

One comment

  1. Untuk point nomer 2, untuk kasus yang disebut diatas, saya rasa ibu-ibu tersebut yang disebut-sebut namanya karena memang yang melakukan kegiatan yang jadi bahan perbincangan adalah ibu-ibu tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *