Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus human trafficking (perdagangan orang) cukup tinggi di dunia. Bukan hanya sebagai negara pengirim tetapi juga negara penerima korban perdagangan orang. Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke beberapa Negara disinyalir terselubung ke dalam bentukperdagangan orang. Rumitnya proses pengiriman tenaga kerja membuat para calon pekerja seringkali memanfaatkan jasa pihak ketiga untuk mengurus keberangkatan dengan cara ilegal.
Faktor kemiskinan absolut dan struktural, keterbatasan lapangan kerja, ketidakadilan di dalam pemanfaatan dan perolehan akses dan sumber daya, pendidikan dan keterampilan rendah, perekonomian yang tak kunjung tumbuh secara optimal, merebaknya masalah sosial adalah beberapa sebab memicunya kasus-kasus trafficking di Indonesia, dan tentu saja yang menjadi korban perdagangan orang adalah mayoritas perempuan (baik dewasa, maupun anak-anak). Perempuan mudah dikelabui dan terjerumus pada kasus perdagangan orang karena beberapa penyebab tersebut. Mereka berasal dari keluarga miskin, pendidikan rendah serta kurangnya keterampilan bahkan terkadang banyak yang berasal dari keluarga dengan utang-piutang yang banyak. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku perdagangan orang (pihak ketiga) untuk mempekerjakan mereka.
Perempuan dipaksa untuk masuk ke dalam situasi yang mengeksploitasi dirinya. Perempuan tidak dapat mengambil keputusan sendiri, tidak dapat bebas mengeluarkan ekspresi atau pendapatnya, tidak bebas menjalankan hidup sesuai dengan keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang diinginkan dan selalu merasa terintimidasi, ketakutan, terancam penuh kecurigaan. Padahal seharusnya perempuan dan anak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan agar mereka benar-benar merasakan hak sebagai warga negara. Tidak sedikit perempuan di Indonesia meskipun pintar tetapi tidak mendapatkan akses pelayanan pendidikan. Akhirnya, mereka tidak melanjutkan sekolah melainkan dijual.
Perdagangan Orang di Nusa Tenggara Timur
Berdasarkan laporan dari International Organization for Migration (IOM) Indonesia pada 2014, sedikitnya 7.193 orang dengan 82 persen perempuan dan 18 persen laki-laki telah teridentifikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Mereka telah mendapat bantuan langsung berupa biaya pemulangan, rehabilitasi, penuntutan hukum, dan reintegrasi sosial.
Kasus perdagangan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT) semakin mencemaskan dan terus menjadi sorotan publik. Data dari kasus yang diadvokasi oleh Rumah Perempuan Kupang dari tahun 2012 sampai Juli 2015 telah terjadi sedikitnya 312 kasus. Dari data kasus trafficking itu dirincikan, pada tahun 2012 terjadi sebanyak 42 kasus, tahun 2013 terjadi 15 kasus dengan jumlah korban sebanyak 122 orang. Tahun 2014 sebanyak 12 kasus dengan jumlah korban 131 orang dan pada tahun 2015 per bulan Juli sebanyak 8 kasus dengan jumlah korban sebanyak 18 orang, sehingga totalnya sebanyak 312 kasus yang ditangani oleh Rumah Perempuan Kupang.
Kasus perdagangan orang tersebar di 15 kabupaten/kota yang ada di NTT. Kelima belas kabupaten itu yakni Kabupaten Ende sebanyak 1 kasus, Kota Kupang 11 kasus, Kabupaten Rote Ndao 9 kasus, Kabupaten Malaka 27 kasus, Kabupaten Belu 31 kasus, Kabupaten Sikka 1 kasus, kabupaten Alor 2 kasus,dan Kabupaten Lembata 2 kasus. Sedangkan untuk Kabupaten Timor Tengah Utara 10 kasus, Kabupaten Timor Tengah Selatan 91 kasus, Kabupaten Kupang 56 kasus, Kabupaten Sumba Timur 7 kasus, Kabupaten Sumba Tengah 20 kasus, Kabupaten Sumba Barat Daya 17 kasus, dan yang terakhir Kabupaten Sumba Barat sebanyak 27 kasus.
Perdagangan Orang dan Dosa Patriarki
Kasus–kasus ini terjadi karena berbagai hal dan faktor ekonomi disebut menjadi faktor teranyar. Menjadi pertanyaaan mendasar: bukankah dalam masyarakat patriarki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diserahkan kepada laki laki yang katanya kepala keluarga, pencari nafkah, pemimpin, berani, tangguh, pelindung dan semua sosok kelelakian versi partiarki? Namun mengapa ketika keluarga keluarga di NTT mengalami kesulitan ekonomi, perempuanlah (istri dan atau anak) yang menjadi bemper dan tameng untuk mengatasi masalah tersebut? Sebuah anomali yang sangat ironis dalam kultur patriarki, sang kepala keluarga dengan mudahnya menyerahkan tanggung jawabnya dan dilimpahkan kepada istri yang dalam kultur patriarki disematkan jabatan pencari nafkah tambahan bukan yang utama. Bahkan dalam beberapa kasus, kecenderungannya adalah laki laki mendapatkan keuntungan secara pribadi dari pelaku, ini patut disebut sebagai Dosa Patriarki.
Sungguh sebuah hal yang tidak rasional dinalarkan, tapi jika menelisik lebih jauh dan menguak kekuasaan patriarki maka sebenarnya bukan hal yang sulit, karena dalam budaya patriarki membiasakan laki laki ditempatkan sebagai Raja yang harus dilayani tentu berimbas pada segala dimensi hidupnya bahkan berkaitan dengan relasi dalam rumah tangganya. Ini yang seharusnya menjadi titik tolak untuk meminimalisir angka perdagangan orang di NTT, bahwa sesungghnya cara pandang laki laki sebagai kepala keluarga, pemimpin dan nahkoda rumah tangga HARUS diubah karena itu merupakan pondasi awal dalam keluarga. Penting kiranya pemangku kepentingan terkait yang menangani masalah perdagangan orang ini menjadikan prioritas perubahan cara pandang masyarakat menjadi lebih adil dalam kacamata gender. Pelibatan laki laki adalah salah satu kunci dalam mengatasi masalah perdagangan orang dengan begitu kiranya dosa Partiarki yang selama ini berlangsung dapat kita hentikan bersama.
Menarik sekali ketika berbicara mengenai TKI dan TKW asal NTT. Menurut saya pembahasan mengenai dosa patriaki kurang mendalam dijelaskan, dalam hal ini ulasan mengenai kenapa perempuan yang harus TKW bukan laki2 yang pada sisi yang sama laki2 adalah kepala RT. Akan lebih dalam ketika kita coba melihat lebih jelih ttg pembagian kerja yang selama mengkristal di dalam pemikiran masyarakat, yaiu laki2 di rana publik dan perempuan di rana domestik, dan bagaimana kapitalisme merongrong kehidupan para perempuan.
Saya teringat perkataan mama Aleta Baun yang menyatakan bahwa penyebab dari maraknya TKW asal NTT adalah kerusakan hutan yang berdampak pada krisisnya SDA dan rusaknya rana domestik para perempuan. Hal ini jika dicermati menjadi salah satu faktor besar cikal bakal maraknya TKW asal NTT..