Bencong. Begitu kami memanggilnya. Tentu itu bukan nama asli. Dari rupa fisiknya, aku dan teman2 tentu dengan mudah yakin bahwa si Bencong adalah seorang berjenis kelamin laki-laki. Tapi gerak geriknya gemulai, dan cara bicaranya pun tidak semaskulin teman-teman laki-lakiku yang waktu itu sedang mengalami puber.
Entah sejak kapan kami memanggilnya dengan nama Bencong. Dulu pun kupikir nama itu cukup sadis buat bocah seumuran kami. Sesekali kami mengganggu si Bencong. Dulu kami tak kenal istilah “bullying“. Si Bencong kadang marah kalau kami mengganggunya. Tapi tak pernah sekalipun dia menangis. Kalau aku diperlakukan seperti dia, bukan cuma menangis, aku pasti gak akan berani lagi masuk sekolah.
Setelah dewasa baru aku tahu apa itu “orientasi seksual” dan “identitas gender”. Lalu aku mulai teringat kepada si Bencong dan bertanya… apakah dia seorang gay? Apakah dia hanya laki-laki dengan gaya feminin? Duh.. betapa kejamnya aku dulu. Dia gak pernah mengganggu kok.
Eh… jangan kalian kira si Bencong permah melecehkan, memegang kami, atau memperlihatkan gerak-gerik porno. Dia cuma seorang anak, sama seperti kami.
Berpuluh tahun aku tidak pernah bertemu. Suatu hari aku melihatnya di sebuah mall. Aku langsung ingat… ah ini temanku si Bencong. Tapi aku tidak berani menyapanya. “Dia ingat gak ya dengan aku? Aduh… kejamnya aku dulu”. Tapi bibir ini tak kuasa menyapa. Si Bencong telanjur pergi.
Sejak itu aku berniat, aku harus bertemu lagi dengan si Bencong. Buat apa? Apa yang mau aku lakukan? Tidak tahu. Aku cuma mau bertemu dia dan menunjukkan bahwa aku sudah berubah. Aku gak peduli lagi dengan penampilan atau fisiknya. Mau minta maaf? Ah… nanti jangan2 dia malah tersinggung.
Akhirnya hari itu tiba. Aku bertemu dengan si Bencong dalam sebuah reuni. Senangnya… dia ingat aku dan tetap hangat sebagai teman. Aku tidak peduli barangkali ada “cowok” yang aku “kecengin” dulu hadir di reuni. Aku cuma senang bertemu si Bencong. Karena ramai, aku tak sempat mengobrol secara dalam. Tapi hari itu aku senang. Aku bertemu lagi dengan temanku si Bencong. Dia masih seperti dulu, gemulai. Tapi saat itu aku melihatnya sebagai individu yang berbeda. Aku tidak lagi memanggilnya dengan sebutan si Bencong. Aku sebut nama aslinya.
Setelah itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Beberapa tahun berselang, seorang teman berkabar, “Nik, si Bencong meninggal dunia”. Ah… mengejutkan… dia masih begitu muda. Aku bertanya-tanya, “kenapa meninggal? Sakit apa? Dia sudah menikah belum?”
Aduh.. maafin aku ya Cong. Aku belum sempat minta maaf sama kamu karena kami “bully” waktu sekolah dulu. Aku tidak sempat bilang, aku gak peduli kamu benar-benar bencong atau bukan. Kamu adalah kamu.
Maafin aku ya, karena dulu tidak ada memberitahu kami bahwa “bullying” itu jahat. Tak ada yang memberitahu bahwa manusia itu unik dan berbeda… bukan cuma dua kategori gender – laki2 dan perempuan.
Soal orientasi seksual pun kita belum paham. Apa iya kita dulu berpikir soal orientasi seksualmu Cong. Kita kan cuma anak2 waktu itu ya Cong. Kami menggodamu karena kami anggap itu hal biasa. Toh masyarakat kita suka merendahkan kaum bencong.
Aku gak bisa menghapus perlakuan kami kepadamu dulu Cong. Aku bisa mengirim doa supaya kamu senang di surga. Ya, doa orang yang dulu mem-bully kamu Cong. Apa bisa diterima ya?
Tapi aku bisa janji Cong. Aku akan mengajari anakku supaya dia tidak mengulangi kesalahanku. Aku akan ajari dia untuk menghargai perbedaan dan keunikan setiap manusia. Aku akan ajari dia tentang gender dan orientasi seksual. Orang-orang bisa bilang, bagaimana kalau anakmu gay. Ah.. anakku boleh jadi apa saja Cong, asal dia bisa menghargai orang lain… syukur2 bisa membantu orang lain.
Cong… sampai detik ini aku tidak tahu apakah kamu seorang gay atau bukan. Tapi sekarang aku tahu, “it does not matter if you are gay or not, you are my friend”. Kata orang LGBT itu menular Cong. Satu yang kamu tularkan ke aku Cong, keberanianmu dan ketegaranmu untuk terus bersekolah dan berteman dengan aku, orang yang mem-bully-mu karena kamu si Bencong.
Kamu pergi terlalu cepat Cong. Masih banyak hal yang mau aku ungkapkan ke kamu. Barangkali Freddie Mercury benar, “Only the good die young”… sementara aku cuma bisa bilang… rest in peace Cong!==