Menjadi Laki-Laki

Malam dua minggu menjelang lebaran, bulan begitu menawan. Istriku tidak lagi ngidam, namun beberapa hari ini selalu pingin makan bakso di jalan Guntur Menteng. Aku sangat mencintainya kalau sedang begini, berjalan berdua sejenak meninggalkan anak-anak di rumah selagi mereka tidur. Tidak melebih-lebihkan, tapi keinginan untuk makan bakso memang menjadi bagian dari tanda suasana hati yang baik, yang akhir-akhir ini begitu mahal dalam hubungan antara kami berdua. Makanya aku sangat berterima kasih. Tentu saja padaMu.
Rasanya kami selalu diperhatikan bulan dari balik dedaunan pohon sepanjang jalan yang kami lewati. Kubilang sama istri kita harus menyambutnya di atas tempat yang agak lapang. Mungkin sambil nongkrong, atau ngopi, pasti asyik sekali! Aku ingin membuat kami mandi bulan selama mungkin. Sayang di Jakarta tidak mudah mencari ruang publik murah yang ramah untuk menikmati bulan. Akhirnya kami putuskan ke TIM malam ini sehabis melahap semangkuk bakso berdua, meski agak jauh, dan meski harus pulang dulu mengambil helm.
Bulan benar-benar di atas jidat kami. Kubiarkan dia sepuasnya memandangi kami. Biarkan juga kami ngobrol dengan tak lupa terima kasih atas ketulusan ini. Cahaya bulan keemasan di halaman TIM depan. ‘Kadang-kadang kupikir betapa sepinya kehidupan perempuan’, istriku melanjutkan obrolan sepanjang kami di atas motor tadi. ‘Laki-laki sangat sulit dapat mengerti perempuan. Kalau diminta tolong istri untuk melakukan sesuatu dan dia melaksanakannya dia mengira masalah selesai. Kalau diminta lagi dengan nada agak tinggi maka perempuan dianggap cerewet. Perempuan sendiri kadang juga ikut menyalahkannya, mereka pikir jadi perempuan mestinya jangan suka menuntut!’.
Perempuan selalu memikirkan kehidupan keluarganya setiap waktu, dan laki-laki tidak. Perempuan memikirkan bagaimana nanti sewaktu pulang kerja, apakah anak-anak sudah makan, makan apa? Apakah suami suka dengan makanan pekerja rumah tangga, kalau nggak suka sebaiknya dia memasakkan untuknya. Apakah pada saat berbuka puasa nanti pekerja rumah tangga akan masak, bagaimana dengan anak-anak? Maka sebaiknya segera pulang sehabis kerja apapun kesibukan di luar untuk membuat semua itu beres.
‘Apakah laki-laki sempat memikirkan hal-hal ini?’ Istriku mengungkapkan tanda tanya untuk dijawab sendiri. ‘Kalau berharap laki-laki dapat melakukannya hanya akan sakit hati. Makanya aku sudah tidak berharap lagi, aku juga tidak mau memikirkan harus cepat pulang kerja atau tidak. Untuk apa? Kalau kamu tidak memikirkannya, mengapa aku harus memikirkannya? Bukankah kita ini tim dalam keluarga, sama kedudukan. Aku bekerja dan hasilnya untuk keluarga, kamu juga sama. Tapi mengapa aku harus berfikir membuat segala hal di rumah beres kalau laki-laki tidak?’
Pastilah aku amat tegang mendengarkan ungkapan istriku ini jika disampaikan beberapa minggu yang lalu, tapi sekarang aku sedang mencintainya. Aku suka istriku menyampaikan hal ini. Aku tidak tahu apakah banyak istri dapat menyampaikan hal ini pada suaminya atau tidak, dan istriku selalu menyampaikannya, walaupun aku sangat sering tidak paham. Kadang-kadang aku bingung dengan pertanyaan istri ketika kami sedang makan pagi menjelang berangkat kerja, ‘nanti sore kita masak apa ya?, atau ‘besok pagi masak apa ya?’. Aku sering terperangah dengan pertanyaan sederhana seperti ini. Makan apa ya…, pikirku bingung. Kadang-kadang aku menjawab apa aja yang terlintas, ‘sayur bayam sama ayam goreng’! ‘Bosen ah, itu-itu melulu!’ kata istriku. ‘Atau tempe sama telor dimerahin pake cabe gemana!’. ‘Itu lagi, itu lagi!’ jawab istriku. Biasanya aku tidak memiliki jawaban lebih dari dua jenis makanan yang terlintas di benak. Nggak punya referensi. Makanya kadang aku angkat tangan dan merasionalkan perasaan dengan ungkapan yang masuk akal “Sori yang, aku tuh gak punya imaginasi makanan kalau lagi makan enak apalagi kenyang seperti sekarang ini!  Kok kamu bisa ya?…’ tanyaku. ‘Nggak tahu, dipikiranku selalu ada daftar makanan hehehehe……’ jawabnya ringan dan renyah seperti kerupuk ampyang.
Kami hampir selalu makan bersama kalo dirumah, di luar rumah pun kalo bersama hampir selalu begitu. Artinya kami makan sepiring berdua, kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya istriku inginnya makanan garingan dan aku pake kuah. Ya udah, gemana lagi! Jawaban di atas kuberikan kalau sedang pikiran sehat hehehe…Biasanya aku bete banget diajuin pertanyaan seperti itu. Kita makan apa ya nanti? Sering-sering kujawab terserah dah, aku mah makan apa aja oke! (Dalam hatiku menggerutu masak sih hal kayak gini selalu ditanyain!) ‘Kenapa sih nggak mau ngebantu? Maunya kok terserah-terserah mulu! Bantu dong, masak aku melulu yang harus berfikir soal makan!’ berondong istriku. Tentu saja aku merasa tersinggung, jadi dipikirnya aku tidak memikirkan kebutuhan makan keluarga! ‘Ya udah, kamu mau makan apa, nanti kita beli bersama! Kamu kan yang sulit makan, kalau aku mah makan apa aja gak masalah!’ Istriku bingung juga mendengar nadaku tinggi “Kamu kok gitu sih kalau dimintai pendapat! Jangan gitu dong, ini  kan untuk kita juga hhhhh!” Lah, dia yang ganti marahan!
Hal-hal seperti ini sering sekali kami alami. Dan hasil akhirnya sama saja. Istriku akan selalu memikirkan makanan kami, dan aku akan selalu siap membantu apa kata istri. Istriku capek memintaku membantunya, dan aku tidak mengerti mengapa istriku selalu tidak puas tiap kali aku membantunya. Namun kini, pada malam bulan purnama ini, dua minggu menjelang hari raya ini, masalahnya sudah jauh lebih jelas. Kami ngobrol dengan santai, dan melihat pengalaman kami dalam jarak. Seolah-olah di depan kami ada sepapan meja dengan berbagai pengalaman kami tersaji di atasnya, dan kami sedang membahas pengalaman-pengalaman kami itu sambil tertawa, dan kadang-kadang masih terbawa rasa jengkelnya juga sih! ‘Mungkin laki-laki memang semuanya sama. Bagiamana tidak, mereka dilatih, dididik, dibiasakan dengan cara yang sama. Sulit untuk mengerti bagaimana sebenarnya yang diinginkan perempuan!’ Istriku berefleksi. ‘Makanya aku sudah tidak akan menuntutmu apa-apa lagi!’
Aku agak panik kalau istriku sudah putus asa mengenai diriku. Aku yakin semua bisa diatasi kalau dibicarakan baik-baik, sehingga aku dapat mengerti. Aku merasa aku cukup terbuka untuk berubah, meski sulit, dan mungkin menjengkelkannya! ‘Masalahnya aku sudah terlalu sering bilang Hid, tapi kamu kan tidak pernah mendengarkan. Kamu hanya sibuk dengan pikiranmu sendiri, tapi mungkin memang bukan salah kamu. Semua laki-laki mungkin memang seperti itu. Bagimu kata-kataku seperti angin lalu!’ tambah istriku.
Di waktu biasa mungkin aku akan menyangkal itu. ‘Jangan begitu dong yang, kan aku tidak paham kalau tidak dibicarakan dengan jelas. Ya mungkin kamu sudah bilang, tapi aku kan bisa tidak paham! Namanya juga laki-laki, mungkin memang sangat bego dengan pengalaman-pengalaman begini. Tapi kan aku dapat pelajari, dan aku senang dapat mempelajarinya darimu’. Tapi saat ini aku tidak menampik apa yang dikatakan istriku, sebab banyak hal benar di dalamnya. Dan juga karena jawaban seperti itu sudah basi banget! ‘Memang sih yang! Aku merasa sulit sekali memahami apa maksudmu. Ini salah, itu salah, aku bingung juga hehehe….tapi benar katamu, mungkin karena laki-laki dibiasakan begitu, jadinya bego! Soal makan itu, bagiku ya itu ritme sehari-hari yang otomatis. Pagi hari kita ke pasar, menentukan makan apa saat itu lalu kita beli bahan-bahannya. Kalau sore kita pulang, kita akan masak, tapi kalau pekerja rumah tangga sudah masak ya sudah, tinggal makan. Aku kan memang makan apa aja oke, kecuali hati lagi buram, makan jadi tidak doyan. Kalau kita terlambat pulang, kita bisa kontak pekerja rumah tangga, kita ijin untuk terlambat karena berhalangan’.‘Itulah, kamu menganggap itu cukup dan beres-beres aja. Nggak mikir gemana nanti pembantu akan capek, anak-anak akan makan apa. Kamu hanya memikirkan dirimu, bahwa semua beres dan kamu bebas tidak usah berbuat apa-apa’! Istriku menimpali dengan nada datar. Memang kami tidak sedang emosi. Sebetulnya karena kita sudah pandai menahan emosi untuk waktu seperti ini hehehe…
‘Itu dia, memang harus diakui. Aku tidak berfikir sejauh itu. Kupikir memang ritme itu cukup, lalu kalau ada masalah baru kita bisa komunikasikan dan saat itu kita bereskan. Misalnya kalau terlambat gemana, kalau kamu belum makan gemana? Tapi oke, aku juga mengerti bahwa kamu sudah  cape bicara soal ini. Karena aku juga merasa bahwa menjadi peka dengan kebutuhan keluarga, perempuan sudah sangat terlatih, sedangkan aku begitu cepat melupakannya bahkan setelah kamu jelaskan. Rasanya kamu selalu bicara padaku “ kan tadi udah kubilang!’, ‘kan tadi udah kubilang!’, berulang-ulang seperti mesin kalau aku tidak paham atau aku lagi salah langkah, dan aku merasa kamu belum bilang apa-apa, atau kamu bilang apa yang tidak seperti yang kau mau! Itu karena aku memposisikan diri sebagai orang yang kamu minta berbuat sesuatu dan aku mengira akan beres jika seketika itu aku melakukannya. Padahal yang kau maksud adalah aku juga ikut dalam memikirkan dan melakukan semua hal untuk keluarga kita, untuk aku, untuk kamu, anak-anak, pembantu, sebagaimana kita bersama memikirkan hal itu, tidak kamu saja. Aku harus banyak belajar soal itu memang!”. ‘Itu kamu, yang sudah lama belajar gender Hid! Coba kau bayangkan perempuan-perempuan dengan laki-laki yang tak tahu menahu soal gender, tak mau tahu dan tak mau belajar tentang kemauan perempuan!’
‘Memang sih! Laki-laki yang mau belajar peka saja, minimal aku ini, sulitnya minta ampun mengerti perempuan! Harus sampai pada tahap hamper putus asa begini baru kelihatan ngerti. Aku beruntung, kamu terus berbicara, dan aku mau belajar. Mungkin banyak perempuan sangat bingung dan putus asa dengan laki-lakinya. Mereka sering berbicara pada kebisuan. Pasti mereka sangat sepi!’
‘Maka kupikir perempuan dalam kondisi kebiasaan masyarakat seperti ini memang sangat berat!’.
Ramadan di Menteng, 27 Juli 2007

About Wakhit Hasim

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

One comment

  1. Menarik artikelnya,sy jadi memahami ternyata dr sisi laki2 penerimaannya seperti itu. Sy termasuk yg seperti istri di atas. Tapi tidak hanya cerewet soal sederhana melainkan sampai masalah keuangan. Mimpi saya ngga usahlah saya cerewetin, suami aja yg mikir keuangan krn saya ngga mau jadi cewe matre. Tapi suami saya begitu ‘menghargai’ saya jadi apa2 nunggu saya. Kalo energi lagi banyak, sy komplain baik2. Tapi kalo lagi capek, ngomel-lah jadinya. Knapa harus tunggu saya ngomel toh Pak’e??? Tapi sy rasakan betul suami sy sangat tanggung jawab dan sayang pd saya dan anak2. Jadi dari tulisan ini, saya membayangkan, mungkin suami saya seperti sang suami diatas. Maunya mau, tapi bingung mahami perempuan. Ya itu, yg satu dari Mars yg satu dari Venus….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *