Mesuji: Pertautan Kapitalisme, Maskulinitas Hegemonik, dan Kekerasan

Belakangan penglihatan dan pendengaran kita disuguhi pemberitaan yang melukai rasa kemanusiaan kita. Betapa tidak, sesama anak bangsa saling bunuh, aparat negara sengaja menggunakan senjata untuk melukai, bahkan membunuh, warga yang seharusnya mereka lindungi. Konflik sumber daya alam menjadi pemicu kekerasan-kekerasan yang menjadikan nyawa begitu murah harganya. Ya, berita-berita Mesuji bercerita tentang semua itu. Mesuji hanya salah satu dari sekian konflik sumber daya alam yang berujung kepada kekerasan dan kematian di Indonesia.
Konon konflik Mesuji melibatkan beberapa pihak; perusahaan, Pamswakarsa, polisi, militer, dan warga. Celakanya, konflik itu terjadi mempertentangkan perusahaan, Pamswakarsa, polisi, dan militer dengan warga. Masih konon katanya, konflik ini terjadinya karena persoalan sengketa lahan. Di satu sisi, perusahaan merasa memiliki hak pengelolaan atas tanah, sementara warga beranggapan bahwa tanah yang disengketakan adalah tanah adat dan karenanya warga memiliki hak pengelolaan tanah tersebut.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengurai persolan konflik sumber daya alam serta mengurai persoalan dari sudut pandang politik atau hukum, akan tetapi dari sudut pandang yang lain. Jika merujuk kepada para pihak yang berkonflik, konflik Mesuji adalah gambaran atas pertautan atau perselingkuhan kapitalisme, maskulinitas hegemonik, dan kekerasan. Cara pandang ini semoga menjadi cara lain untuk memahami kasus Mesuji. Tulisan pendek ini berikhtiar untuk mengantarkan kepada perenungan tersebut.
Ciri yang paling mudah dikenali dari kapitalisme adalah hasrat untuk mengakumulasi kapital atau keuntungan materi. Karena akumulasi kapital inilah yang membuat kapitalisme lestari. Perusahaan sebagai agen-agen kapitalisme diciptakan dengan naluri tersebut. Bahkan jika diperlukan apapun akan dilakukan untuk menjamin terjadinya proses akumulasi kapital tersebut. Karena hanya dengan akumulasi kapital struktur kapitalisme dapat dijaga.

Apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Mesuji adalah dalam rangka memastikan agenda untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya tersebut terjaga, ketersediaan lahan yang luas untuk produk kelapa sawit dengan mengabaikan persoalan status tanah, membangun sistem untuk mengamankan perusahaan baik dengan membentuk Pamswakarsa atau polisi dan militer dengan alasan mengamankan obyek vital adalah di antara mekanisme yang dibangun untuk memastikan agenda mengeruk keuntungan dapat berjalan dengan mulus.
Dalam kasus Mesuji, untuk dapat menjalankan misinya, perusahaan harus berkuasa atas alat produksi dan sumber daya. Untuk memperkuat kuasa tersebut, perusahaan juga harus memiliki kuasa terhadap warga. Agar dapat menguasai semua itu perusahaan harus memiliki alat yang efektif, yaitu kelompok dan institusi yang memiliki senjata, sekaligus menganut nilai-nilai yang membenarkan penggunaan kekerasan. Jawara-jawara yang konon didatangkan dari Palembang dan Banten serta polisi dan militer adalah kelompok-kelompok dengan nilai-nilai tersebut.
Untuk memuluskan agenda dan menjaga struktur yang menopangnya, perusahan melakukan penaklukan, dominasi, dan opresi. Perusahaan memiliki dan memberlakukan kekuasaan atas sumber daya dan warga di Mesuji. Kekuasaan atas orang lain, penaklukan, dominasi, dan opresi mengingatkan kita tentang nilai-nilai dominan dalam konstruksi maskulinitas hegemonik (keyakinan, mitos, stereotip tentang laki-laki yang superior, dominan, dan berkuasa atas orang lain). Keterpautan dengan maskulinitas hegemonik ini semakin kentara ketika jawara dan tentara dan polisi digunakan sebagai alat dalam proses penguasaan perusahaan terhadap sumber daya dan warga Mesuji.
Jawara dan orang yang bergabung dalam institusi militer seringkali dilekatkan dengan citra laki-laki ideal, karena keseluruhan karakteristik tentang laki-laki ideal melekat kepada mereka yang dijuluki jawara atau tentara. Beberapa karakteristik seperti kuat secara fisik bahkan sakti atau memiliki kekuatan di atas rata-rata, tidak mengenal rasa takut, berani mengambil resiko, tidak peduli hal tersebut mengancam nyawa. Jawara dan tentara menjadi representasi maskulinitas hegemonik karena jawara dan tentara lekat dengan kekuasaan dan kontrol atas orang lain dan perusahaan membutuhkan kekuasaan dan kontrol yang dimiliki jawara dan tentara untuk mengamankan kepentingannya.
Pada pihak yang lain, warga yang sebagian besar adalah laki-laki merasa perlu untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap sumber daya yang mereka anggap menjadi haknya. Mereka berada pada garda terdepan meskipun mereka menyadari akan mengalami resiko terluka atau kehilangan nyawa. Sikap ini juga terkait dengan norma-norma maskulinitas yang diyakini warga, yakni sikap berani mengambil resiko dan norma sebagai laki-laki yang harus menjaga kehormatan dan sumber mata pencaharian mereka. Karena jika sumber tersebut hilang, mereka kehilangan eksistensi sebagai laki-laki dalam lingkup masyarakatnya.
Hal penting lainnya dalam perbincangan tentang kasus Mesuji ini adalah isu kekerasan. Dalam nilai-nilai maskulinitas hegemonik, kekerasan adalah cara yang diterima dalam menyelesaikan konflik dan kerapkali kekerasan dianggap sebagai cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik. Kekerasanjuga  diberi nilai dalam konstruksi maskulinitas hegemonik. Jawara ditentukan dari sejauh mana dia memenangkan sebuah pertarungan (kekerasan). Dan kekerasan seringkali digunakan oleh jawara untuk mengamankan posisi (untuk tetap dianggap sebagai jawara). Dengan kata lain, kekerasan merupakan alat untuk menjaga atau melestarikan hierarki atau struktur  dalam masyarakat, tempat sang jawara hidup.
Dengan pembacaan demikian, gamblang dikenali bahwa kekerasan secara sengaja digunakan oleh perusahaan untuk menjaga dan melestarikan struktur yang menopang kapitalisme yang hierarkis dan menindas dengan menjadikan jawara dan militer sebagai pelakunya.
Sumber gambar: www.komhukum.com & www.spi.or.id

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *