Beberapa waktu yang lalu, merebak diskusi mengenai pengurangan jam kerja karyawan perempuan. usulan ini pertama kali dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang kemudian ditanggapi dengan nada positif oleh pemangku kebijakan serta politisi lainnya. Usulan ini didasarkan kepada tugas dan kewajiban utama seorang perempuan sebagai istri dan ibu untuk mengurus suami, anak-anak dan keberlangsungan rumah tangganya. Sontak gagasan ini pun disambut dengan suka cita oleh para perempuan Indonesia, terutama yang sudah menikah dan memiliki anak dengan alasan pengurangan jam kerja akan memberikan lebih banyak waktu bagi para ibu untuk mengurus rumah dan anak-anaknya. Tidak sedikit ibu-ibu bekerja yang berharap agar usulan pengurangan jam kerja ini segera diwujudkan dalam bentuk aturan yang baku dan mengikat.
Walaupun gagasan ini masih sebatas wacana dan belum lagi diseriusi oleh pemerintah, ada baiknya kita berhati-hati dan mencermatinya sekali lagi: apakah memang pengurangan jam kerja untuk karyawan perempuan adalah solusinya?
Sebelum membicarakan solusi, penting bagi kita untuk menggali terlebih dahulu permasalahan yang terjadi. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974, laki-laki di Indonesia adalah kepala keluarga sedangkan perempuan adalah istri dan ibu rumah tangga. Dikotomi ini terdengar wajar karena memang masyarakat Indonesia, seperti masyarakat lain pada umumnya, menganut nilai-nilai patriarki yang membagi-bagi kewajiban dan hak laki-laki dan perempuan sesuai dengan peran sosial gendernya masing-masing yaitu laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah di luar rumah, sedangkan perempuan ditugasi urusan rumah tangga. Pembagian peran ini pun sedikit banyak bersumber dari peran biologis perempuan sebagai seorang ibu yang mengandung dan melahirkan anak sehingga sudah sewajarnya tugas mengurus rumah tangga dan membesarkan anak sebagian besar jatuh ke tangan perempuan. Tentu sering kita mendengar bagaimana perempuan di Indonesia sering didentikkan dengan urusan domestik: kasur, dapur, dan sumur.
Namun hal yang dianggap wajar bukan berarti benar dan lebih jauh lagi, belum tentu adil. Dikotomi maskulinitas dan feminitas yang mengkotak-kotakkan laki-laki pada ranah publik dan perempuan pada ranah domestik menjadi tidak benar dan tidak adil saat masing-masing merasa terbatasi ruang geraknya dan lebih jauh lagi menerima perlakuan diskriminatif jika yang mereka lakukan tidak sesuai dengan apa yang disebut ‘wajar’ tadi. Mari kita ambil contoh saat perempuan bekerja di luar rumah. Sudah bisa dipastikan jumlah perempuan bekerja sekarang jauh lebih banyak dibandingkan empat puluh satu tahun lalu saat UU Perkawinan disahkan. Menurut data International Labour Organization, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan Indonesia pada tahun 2013 adalah 53%. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh perempuan usia produktif di Indonesia bekerja mencari nafkah. Tidak hanya itu, semakin banyak pula jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga disebabkan tuntutan ekonomi, entah karena perceraian, suaminya meninggal, atau sakit sehingga tidak lagi mampu bekerja. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) seperti dikutip oleh Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), pada tahun 2007 jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan mencapai 13,60% atau sekitar enam juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Dari fakta ini saja, sudah terlihat bahwa semakin banyak perempuan Indonesia yang keluar dari definisi perempuan sewajarnya sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan, dengan bekerja mencari nafkah dan bahkan menjadi kepala keluarga.
Meningkatnya partisipasi perempuan dalam ranah publik sayangnya tidak dibarengi upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi bekerja perempuan. Negara ini masih terpasung dalam dikotomi maskulinitas dan feminitas empat puluh satu tahun yang lalu yang tidak mengakui peran perempuan di luar kontribusinya sebagai tukang urus kasur, dapur dan sumur. Sebagaimana dikutip oleh MAMPU, sebuah program pemberdayaan perempuan yang diprakarsai oleh BAPPENAS dan Pemerintah Australia, selain TPAK perempuan yang masih jauh tertinggal dibanding laki-laki, pada jenis-jenis pekerjaan yang sama, perempuan di Indonesia menerima upah lebih rendah dari laki-laki dengan selisih yang bisa mencapai 25 persen. Perempuan juga sering dianggap tidak mampu bekerja secara profesional dan karenanya tidak pantas duduk di posisi-posisi strategis karena khawatir kewajibannya sebagai istri dan ibu melalaikannya dari tugas-tugas kantor. Beberapa penelitian di negara maju seperti Australia bahkan menunjukkan bahwa keputusan seorang perempuan bekerja untuk mengambil cuti melahirkan berbanding lurus dengan penurunan gaji sampai sebesar 12% (Baker, 2011). Ini semua adalah bentuk-bentuk perlakuan diskriminatif yang bersumber pada dikotomi laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Penggambaran maskulinitas yang mengidentikkan laki-laki semata-mata sebagai penopang ekonomi keluarga pun pada akhirnya menjauhkan laki-laki dari keluarga dan anak-anaknya. Di Indonesia, perempuan memiliki hak cuti melahirkan hingga tiga bulan lamanya namun untuk laki-laki hak itu tidak tersedia. Para bapak bisa mengambil cuti maksimal sampai dua hari jika istrinya melahirkan namun hal ini tidak diatur sebagai cuti khusus (parental leave). Kebijakan work life balance yang sering digaungkan pemerintah dan aktivis seakan-akan ditujukan hanya untuk perempuan. Kebanyakan artikel tips dan trik bagaimana caranya menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga memfokuskan kepada ibu sebagai targetnya, sedikit sekali yang memikirkan bagaimana caranya seorang laki-laki pada saat yang bersamaan bisa menjadi pekerja profesional dan seorang bapak yang mampu mengasuh anak-anaknya. Bukan hanya karena tidak terpikirkan, sebab memang sedikit sekali celah menuju ke arah sana. Mau tidak mau kita harus mengakui, negara, melalui UU Perkawinan, masyarakat dan perusahaan tempat mereka bekerja masih menggariskan peran laki-laki hanya sebagai pencari nafkah. Pada akhirnya, kewajiban full-time mengasuh dan membesarkan anak seakan-akan terletak hanya pada pundak ibu dan bapak hanya sebagai pekerja part-time yang sesekali membantu di akhir pekan atau dipanggil saat anak butuh membayar uang sekolah.
Pengukuhan Nilai-Nilai Maskulinitas dan Feminitas Usang
Permasalahannya kini semakin jelas. Nilai-nilai yang membangun konsep maskulinitas dan feminitas di Indonesia telah membawa kita kepada perlakuan-perlakuan diskiminatif terhadap laki-laki dan perempuan yang mungkin empat puluh satu tahun yang lalu tidak ada, atau ada tapi dianggap wajar. Lantas apakah pengurangan jam kerja untuk karyawan perempuan adalah solusinya? Jika ini yang pemerintah lakukan, maka seakan-akan kita kembali mengukuhkan nilai-nilai maskulinitas dan feminitas yang diskriminatif tadi. Jika pengurangan jam kerja khusus untuk karyawan perempuan benar-benar diterapkan, maka justifikasi bahwa kewajiban mengurus rumah tangga dan mengasuh anak hanya ada pada perempuan dan laki-laki hanya sebagai pencari nafkah akan semakin kuat. Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut bisa dijadikan dasar pembenaran bagi perusahaan untuk memberikan upah yang lebih rendah lagi kepada karyawan perempuan dengan alasan jam kerja perempuan lebih sedikit. Dan bukan tidak mungkin, untuk menjaga keseimbangan kinerja perusahaan pengurangan jam kerja perempuan akan berakibat pada penambahan jam kerja karyawan laki-laki yang akhirnya membuat mereka harus lebih lama bekerja dan semakin jauh dari anak-anaknya. Apakah pemerintah dan politisi sudah memikirkan dampaknya sampai sejauh ini?
Work life balance seharusnya dan sudah sewajarnya menjadi milik laki-laki dan perempuan. Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan program dan kebijakan yang bisa mengakomodasi kebutuhan laki-laki dan perempuan serta memastikan dalam prosesnya salah satu pihak tidak dirugikan. Jika memang perempuan mengalami kesulitan untuk membagi waktunya antara bekerja dan mengasuh anak maka yang sepatutnya dipikirkan adalah bagaimana caranya agar melibatkan laki-laki untuk bekerjasama dengan perempuan agar tugas tersebut menjadi lebih ringan. Di negara maju seperti Swedia dan Denmark, perempuan dan laki-laki yang bekerja sama-sama diberikan hak cuti saat anak mereka lahir. Di beberapa perusahaan, kebijakan ini juga dipadukan dengan fleksibilitas jam bekerja (flexy hour) serta kesempatan untuk bekerja dari rumah. Terobosan-terobosan ini dilakukan agar laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam dunia kerja dan pada saat yang sama, mengasuh anak-anaknya.
Pada akhirnya, gagasan pengurangan jam kerja karyawan perempuan ini menjadi bukti nyata bahwa tingkat pemahaman dan komitmen pemerintah Indonesia tentang permasalahan gender masih rendah. Hal ini seakan-akan mencoreng upaya pemerintah yang selama ini mencoba menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara untuk laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi, sorak sorai gembira para perempuan yang mendukung gagasan tersebut pun menunjukkan bahwa isu-isu diskriminasi berbasis gender ternyata belum tersosialisasi dengan sempurna di Indonesia. Masyarakat belum sepenuhnya sadar bahwa permasalahan gender adalah nyata dan dekat. Bahkan masih banyak yang beranggapan isu gender adalah milik perempuan semata dan laki-laki tidak termasuk di dalamnya. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama yang perlu kita benahi dari sekarang. Sebab tanpa pemahaman yang benar, ketidakadilan akan selamanya dianggap wajar.