Seksisme

Pernah suatu hari ayah saya ditemani kakak perempuan saya yang sulung untuk membeli makan di restoran, sebab di usianya yang sudah lanjut, beliau memang perlu ditemani. Seperti biasa kami kakak beradik bergantian menemani orang tua sebagai bentuk rasa hormat dan pengabdian anak pada orang tuanya. Tiba-tiba pemilik restoran itu bilang, “Pak itu istri mudanya ya?”. Bapak saya dengan menahan marah balik bertanya “Usia saya 79 tahun, itu istri saya sedang sakit ada di dalam mobil usianya 67 tahun, dan ini anak saya yang paling sulung usianya 50 tahun. Apa menurut anda anak saya ini istri muda saya?”.
Bayangkan, seorang laki-laki menjuluki kakakku sebagai “istri muda” ayah saya, bukankah itu pernyataan yang seksis? Istri muda selalu menjadi percakapan paling populer dan panas dalam banyak gunjingan budaya kita, dan bukan sesuatu yang positif sama sekali. Sebab, sang laki-laki yang punya banyak istri, tidak sedikit malah sering dipuji karena dianggap sebagai lelaki jantan yang gagah perkasa.
Tetapi bagaimana para penganut patriarkhi itu tidak pernah mengerti apa yang dimaksud bahasa yang seksis? Adalah bahasa yang melemparkan label negatif pada perempuan untuk kemudian maknanya menjadi sangat merendahkan, dan dampaknya kemudian merendahkan laki-laki yang adalah keluarganya, orang tuanya, atau saudaranya.
Apa itu sexism (seksisme)? Adalah istilah berasal dari bahasa Inggris. Kamus bahasa Inggris menjelaskan 1. attitudes or behavior based on traditional stereotypes of gender roles. 2.discrimination or devaluation based on a person’s sex or gender, as in restricted job opportunities, especially such discrimination directed against women. 3. ingrained and institutionalized prejudice against or hatred of women; misogyny. Atau mari kita lihat apa saja kategori seksisme, diantaranya adalah dalam ucapan sehari-hari:
Our language is profoundly biased, related to our social structure and affects the way we think. We pervasively use male generics and that has negative effects. I do it all the time — I can’t seem to break the “guys” habit. We still use male words, usually to denote positive categories, like “mankind,” but female terms for negative ones, “hos,” and “sluts.”
Lihat lengkapnya soal kategori tersebut di sini.
Mereka tidak pernah bisa paham apa yang disebut seksis sebelum mengenal apa itu peran-peran gender negatif yang menjadi stereotip seks tertentu dan paling banyak adalah pada perempuan. Dalam bahasa, pemahaman tentang bahasa yang seksis masih sangat sukar untuk diterima. Ucapan seperti lonte, pelacur, janda, sudah tidak perawan, dan sebagainya adalah kata yang biasanya maknanya digunakan untuk merendahkan perempuan. Dan mengapa itulah sebabnya kata lonte dan pelacur diganti menjadi pekerja seks komersial sebagai penghormatan pada mereka yang juga manusia. Istilah itu telah diperjuangkan oleh para feminis sebagai revolusi bahasa yang selama ini bias gender. Demikian pula istilah wanita menjadi perempuan, adalah buah dari kerja keras gerakan feminis untuk mendekonstruksi bahasa yang seksis menjadi makna yang postif terhadap istilah perempuan. Bicara soal lonte tua tidak laku, apakah mereka tahu bahwa seorang pekerja seks setengah baya terpaksa menerima pelanggan seorang bocah laki-laki anak SD dengan dibayar 5000 perak di Surabaya demi melanjutkan hidupnya di sebuah rumah bedeng? Apakah mereka masih bisa bilang ketika memaki seorang perempuan dengan kata lonte tidak laku itu tidak seksis? Dan bagaimana kamus bahasa Indonesia jelas menjabarkan bahwa lonte adalah “perempuan jalang” “perempuan melacur”. Tidak ada laki-laki di sana!
Bagaimana mereka semua yang menganggap umpatan tersebut adalah hal yang wajar, adalah dengan demikian menjadi pelaku yang sama, pelaku kekerasan verbal (lihat definisi kekerasan seksual yang verbal yaitu berupa ucapan yang kotor yang mengandung muatan seksual dan sebagainya), dalam jumlah banyak dan tersebar dimana-mana dalam komunitas apapun, budaya manapun, mengelilingi kita semua. Melontarkan umpatan bermuatan seks pada perempuan yang kemudian mereka tertawa-tawa senang setelah mengucapkannya. Gerombolan ini masih bisa tertawa senang sementara disekelilingnya banyak perempuan sakit karenanya. Mereka menikmatinya bersama-sama, seperti sedang berpesta! Dan diantara pesta-pesta penuh umpatan itu, mereka tiba-tiba mengangkat tema-tema feminisme. yang sebelumnya mereka sering meragukan feminisme. Dan mereka tertawa lagi dan bertanya soal integritas pada para feminis yang memang sehari-harinya bekerja untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Padahal bukankah yang pertama-tama perlu dibela oleh seorang feminis adalah perempuan yang dilecehkan? Pandangan soal keadilan bagi seorang feminis adalah bagaimana korban mendapatkan keadilan, dan pelaku seharusnya mendapatkan hukuman. Karena itulah gerakan perempuan beramai-ramai mendorong RUU Kekerasan Seksual, seperti yang dilakukan Komnas Perempuan, supaya perempuan-perempuan yang diperlakukan demikian bisa mendapatkan perlindungan dan keadilan, belum lagi soal upaya pemulihan. Tentu saja hal yang pertama-tama perlu dilakukan oleh seorang feminis adalah tidak membela pelaku pelecehan?
Saya bersyukur sekali di saat-saat seperti ini masih ada laki-laki yang memahami apa yang saya maksud, apa yang feminis maksud, meski mereka perlu dengan susah payah memulainya dengan empati dengan ikut merasakan seandainya mereka perempuan, lalu ikut masuk ke dalam cara berpikir perempuan dan kehidupannya, mereka bekerja keras untuk bisa memahami itu, tidak hanya selintas saja! Tidak hanya untuk bergaya-gaya saja!
Banyak laki-laki yang mau mendengarkan dan ikut merasakan apa yang dimaksud kekerasan seksual. Saya berterima kasih sekali pada Verdi Adhanta, teman hidup saya yang banyak meluangkan waktu untuk belajar apa itu feminisme sejak menikah dengan saya (sebelum menikah dengan saya dia juga orang yang misoginis, dia mengakuinya sendiri, dan ketika banyak diskusi dengan saya dia mulai merasa terang menderang bahwa feminis adalah cara berpikir paling logik untuk menjelaskan siapa perempuan) dan akhir-akhir ini semakin kuat belajarnya. Dia telah mendapatkan point apa yang dipikirkan feminis tentang perempuan di seluruh dunia di segala kehidupan, meski tentu tidak sepenuhnya sempurna. Saya juga berterima kasih pada ayah saya, meskipun tidak sempurna memahami hak-hak perempuan, setidaknya ada kemarahan saat anak perempuannya diperlakukan demikian. Pada kakak-kakak laki-laki saya baik kandung maupun ipar yang sangat menghormati perempuan, terutama pada kakak dan adik perempuannya, istri-istrinya. Pada kawan-kawan laki-laki saya yang berjiwa feminin, yang mengerti bahwa hidup ini tidak akan berjalan tanpa cinta dan kasih sayang dan mereka semua belajar dari perempuan dan mereka tidak memanipulasinya untuk kepentingan karir saja atau jabatan atau popularitas.
Saya hanya berharap, feminisme dikenal dan dipahami dengan baik, secara keseluruhan, sebagai “cara berpikir sebagai perempuan”, yang biasanya tidak dialami oleh laki-laki.
Itu saja!

About Mariana Amiruddin

Salah satu pendiri Aliansi Laki-laki Baru. Saat ini menjabat sebagai komisioner Komisi Nasional Perempuan.

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

2 comments

  1. Saya nyasar ke artikel lama, sebenarnya krn lgb neliti ttg benevolent sexism, dan ternyata tidak dibahas di aliansi laki-laki barru hehe. Menurut saya ada 1 sebab utama lagi yaitu masih dipujanya benevoent sexism oleh byk perempuan dan laki-laki. Pdhl benevolent sexism dan hostile sexism sumbernya sama2 patriarki tradisional. Ibarat menolak 1 sumber air tapi terima sebagian aliran airnya, ya akhirnya semuanya masuk. Artikel bahasa Indonesia yg kritisi benevolent sexism jg susah bgt (hampir gak ada), smg bkn krn takut bahas krn nanti diprotes wanita ya.

  2. Terimakasih ilmunya, sangat bermanfaat sekali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *