Sepercik Inspirasi dari Nusa Tenggara Timur…

Keluarga Ishak Pattiwaellapia (kiri), yang sudah berhasil mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kembali hidup harmonis di Desa Baumata, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis (22/9). Ishak mampu mengatasi masalah itu dengan pendekatan konseling.

Ishak Pattiwaellapia (45) terus-menerus bersyukur. Dulu ia membutuhkan konselor untuk lepas dari amarah yang tidak terkontrol yang berujung pada kekerasan. Kini dia justru menjadi konselor bagi orang lain yang mengalami kasus serupa.

”Sekarang saya tidak pernah lagi menggunakan kekerasan. Kalaupun bertengkar dan adu mulut, tidak sedahsyat dulu. Sekarang saya sudah tahu trik-triknya,” ujar Ishak yang sudah 25 tahun menikah dengan Emi Pattiwaellapia (41). Pasangan suami-istri ini tinggal di Desa Baumata, Kecamatan Taebelu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Ishak adalah salah satu dari 30 pria yang mendapatkan pelatihan konseling dalam rangka mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kupang. Rumah Perempuan, sebuah lembaga yang menangani soal KDRT, pelecehan seksual, dan trafficking (perdagangan orang), selama dua tahun terakhir, menerapkan menggiatkan pembimbingan bagi para keluarga bermasalah di daerah itu.

Lembaga lainnya adalah Sanggar Suara Perempuan (SSP) yang berlokasi di Kecamatan Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kedua lembaga ini memulai langkah berbeda dalam menangani KDRT, yaitu dengan melakukan pendekatan konseling kepada pelaku, bukan hanya korban.

Pasangan Ishak-Emi yang dikaruniai tiga anak sempat mengalami masa-masa sulit karena tekanan ekonomi. Penghasilan yang tak menentu membuat dapur rumah tangga tak selalu mengepul.

”Waktu itu saya dalam kondisi sangat berat. Susah sekali mendapat pekerjaan. Mau bertani, tak punya lahan. Kerja swasta juga tak jelas,” kata Ishak yang kini bekerja sebagai petugas keamanan di salah satu mal di Kota Kupang. Dalam kekalutan itu, Ishak menemui Hofni Tefbana, seorang konselor yang juga penatua di Gereja Mawar Sharon, yang akhirnya mendampingi dia dan keluarganya. Selain didoakan, mereka kerap dikunjungi. Pendekatan pun dilakukan tidak hanya dari sisi korban, tetapi juga dari pelaku, dalam hal ini suami.

Jika telanjur bertengkar, pasangan itu kerap menelepon Hofni untuk mendapatkan solusi. Pendampingan terus dilakukan setiap waktu, sampai sang suami mampu meninggalkan kebiasaannya menggunakan kekerasan, seperti memukul dan mengeluarkan kata-kata kasar.

Emi mengakui, kini emosi suaminya lebih terkendali. ”Sekarang kalau salah satu marah, biasanya kami mengingat-ingat kembali masa pacaran dulu. Akhirnya bisa rukun dan mesra lagi,” tuturnya.
Koordinator Rumah Perempuan, Libby Ratuarat Sinlaeloe, mengatakan, kaum laki-laki mulai datang ke lembaga itu setelah istri-istri mereka melaporkan kekerasan yang dialami. Awalnya, para suami itu bermaksud memberi klarifikasi atas laporan istrinya.

Lama-kelamaan, dengan bantuan staf yang juga laki-laki, pelaku kekerasan ternyata bisa terbuka. Dari itu mulai diketahui latar belakang penyebab terjadinya KDRT. Sejak itu, Rumah Perempuan pun membuka konseling untuk laki-laki dengan konselor yang juga laki-laki.

Sejak tahun 2000 hingga 2010, Rumah Perempuan telah menangani 1.406 kasus KDRT hingga trafficking di Kota Kupang dan sebagian Kabupaten Kupang. Dari jumlah tersebut, kasus terbesar adalah KDRT, mencapai 631 kasus.

Libby menyebutkan, banyak kasus KDRT juga dilaporkan ke kepolisian. Namun pada akhirnya laporan dicabut oleh pelapor yang kebanyakan adalah istri. Sebab, pertimbangan utama para istri melaporkan suaminya ke kepolisian hanya untuk memberi efek jera. Mereka sesungguhnya tidak ingin suaminya dipenjara.

”Karena itu, konseling terhadap pelaku KDRT menjadi penting. Hal ini akan mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk jika pelaku harus dipenjarakan, kecuali untuk hal-hal berat seperti penganiayaan, pelecehan seksual, dan penghilangan nyawa,” tutur Libby.

Hal senada diungkapkan Direktur SSP, Rambu Atanau Mella, yang mengatakan, konseling untuk laki-laki diperlukan agar tidak terjadi kekerasan berulang. Kerap kali, setelah suami dilaporkan dan dimediasi, kekerasan kembali terjadi.

SSP pada tahun 2011 saja sudah menangani lebih dari 50 kasus KDRT dan pemerkosaan. Berbeda dengan KDRT ringan, KDRT berat dan pemerkosaan harus diproses secara hukum. Untuk kasus KDRT ringan, konseling untuk laki-laki yang kebanyakan menjadi pelaku ternyata cukup efektif. Sebab dari sana dapat diketahui akar permasalahan yang menyebabkan seorang laki-laki dengan mudah melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga terutama istri.

Penyebabnya antara lain faktor budaya, faktor ekonomi, hingga perilaku istri yang tidak bisa diterima suami.
Dari hasil menggali informasi dalam konseling, konselor kemudian mengarahkan pelaku pada teknik mengelola kemarahan. Dengan demikian, walaupun dalam kondisi marah, si pelaku akhirnya dapat mengendalikan diri untuk tidak kembali menggunakan kekerasan.

Hanya pada kasus suami yang memiliki wanita idaman lain atau istri yang memiliki pria idaman lain, konseling tidak berhasil mempersatukan kembali suami-istri. Biasanya, dalam kasus ini, pasangan suami-istri yang bermasalah akhirnya sepakat untuk bercerai. Upaya pendamaian suami-istri itu hanya berlaku untuk KDRT yang tergolong ringan dan suami istri sepakat untuk berdamai. Terhadap penganiayaan, pelecehan seksual, dan penghilangan nyawa, pelaku harus dihukum berat.

Meski demikian, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun2004 tentang Penghapusan KDRT, disebutkan bahwa pelaku kekerasan harus memperoleh konseling. Dalam hal ini, hakim harus menunjuk konselor untuk mendampingi pelaku.

”Sayangnya ketika kasus KDRT sampai di pengadilan, belum pernah ada pelaku yang mendapat konseling. Kami beberapa kali berusaha jemput bola dengan mendatangi pelaku saat ditahan di kepolisian, tetapi suasana sangat tidak mendukung untuk konseling,” kata Imelda Daly, koordinator pendampingan Rumah Perempuan.

Meski menemui jalan terjal dan berliku, upaya penyadaran akan pendampingan bagi pelaku kekerasan perlu terus dibangun.(UTI)

Sumber: Kompas Cetak

About Redaksi ALB

Check Also

Mengapa Laki-laki Perlu Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Apa yang Dapat dilakukan Laki-laki untuk Mencegah Kekerasan Berbasis Gender?

  Sekilas Tentang Sejarah Aktivitas 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pertama kali digagas …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *