1. Kekerasan terhadap perempuan adalah masalah perempuan
Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan (KTP) adalah urusan perempuan semata. Oke, mari kita lihat faktanya bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya. World Health Organisation (WHO) bahkan mengkategorikan KTP sebagai pandemi seperti malaria dan HIV. Jadi, bisa dikatakan bahwa persoalan ini adalah masalah semua orang.
Ini juga masalah laki-laki. Coba bayangkan apa yang dirasakan oleh istri, ibu, adik, dan anak perempuan kalian karena dihantui kekerasan selama hidupnya. Apakah kalian rela mereka hidup dalam bayang-bayang kekerasan seumur hidupnya? Maraknya KTP menjadikan laki-laki sebagai “tertuduh” meskipun pada faktanya banyak laki-laki yang tidak melakukan. Sudah pasti, kita tidak mau harus menanggung label negatif seperti itu bukan? Makanya, persoalan ini menjadi masalah kita bersama sebagai manusia.
2. Kekerasan Terhadap Perempuan tidak bisa dihentikan
Ada pandangan yang mengatakan bahwa memang sudah jadi “kodrat”nya laki-laki melakukan kekerasan sehingga perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak dapat dihilangkan. Atau mereka yang melakukan kekerasan adalah orang yang mengalami masalah kejiwaan atau gila sehingga tidak dapat berubah. Tapi tunggu dulu, berbagai penelitian membuktikan bahwa KTP adalah perilaku dan norma yang dipelajari oleh laki-laki dan didukung oleh ketidak-adilan sosial. Oleh karena perilaku itu dipelajari, makanya kita bisa mempelajari kembali perilaku anti-kekerasan. Begitu juga dengan peran masyarakat dan pemerintah yang dapat mengubah keadaan dengan mendorong perubahan kondisi sosial yang anti kekerasan dan menghormati hak perempuan.
Kita tidak bisa lagi membenarkan kekerasan. Anak perempuan, istri, ibu dan kerabat kita tidak boleh lagi hidup dalam bayang ketakutan. Tentu saja tidak mudah, tapi sudah banyak perubahan positif yang terjadi. Membangun kesadaran, perubahan hukum, kebijakan dan penelitian terus harus dilakukan. Perilaku kekerasan dapat dicegah sejak dini melalui pendidikan yang saling menghormati dan setara
3. Perempuan seharusnya keluar dari relasi yang tidak sehat
“Ya udah, kalau pacarmu suka mukul kenapa nggak ditinggalin aja?” Memang mudah mengucapkan hal ini namun dalam kenyataannya bukanlah hal yang mudah. Posisi perempuan dalam berbagai kebudayaan diposisikan sebagai sebagai manusia kelas dua. Faktor takut kehilangan, ketergantungan secara ekonomi, stigma, ketidak-percayaan diri, nilai budaya dan moral, pertimbangan anak dan berbagai faktor lainnya menyebabkan perempuan sulit keluar dari relasi yang tidak sehat.
Laki-laki pelaku kekerasan mengunakan berbagai cara untuk membuat perempuan untuk terikat dan tetap bergantung padanya seperti membatasi pergaulan, merendahkan kepercayaan diri serta menyalahkan mereka sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Dinamika ini yang jarang bisa terlihat dan dipahami karena secara tidak sadar kita adalah bagiannya. Sebagai laki-laki, kita bisa membangun kepekaan tersebut dan menjadi bagian untuk memutus rantai kekerasan.
4. Kekerasan Terhadap Perempuan hanya terjadi di kelompok tertentu
Banyak yang meyakini bahwa kekerasan hanya terjadi pada kalangan yang berpendidikan rendah atau kelas ekonomi bawah. Dengan asumsi, mereka tidak terdidik dengan baik sehingga rentan menjadi pelaku atau korban kekerasan. Pada kenyataannya, kasus KTP terjadi pada semua kalangan, baik yang berpendidikan tinggi hingga yang rendah, miskin maupun kaya, bangsawan atau bukan. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian yang membuktikan bahwa kekerasan dapat terjadi pada siapa saja.
Bahkan pemuka agama yang dianggap tidak mungkin melakukan hal tersebut seringkali kita ketahui menjadi pelaku kekerasan. Yang harus dipahami bahwa perilaku kekerasan dipelajari oleh semua orang, tidak peduli latar belakangnya. Sebagai laki-laki, kita diberikan kemampuan untuk memilih perilaku anti kekerasan atau sebaliknya.
5. Pelaku kekerasan pasti punya masalah kejiwaan
Berbagai penelitian psikologis tidak mendukung premis tersebut. Mayoritas pelaku kekerasan tidak memiliki sejarah atau masalah kejiwaan bahkan beberapa diantara mereka adalah orang-orang yang menduduki jabatan penting dan dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, seringkali kita melihat di media bagaimana bebagai pihak lompat pada kesimpulan bahwa pelaku memiliki masalah kejiwaan.
Mereka mungkin saja saudara, kerabat, teman sekolah, teman nongkrong, atau rekan kerja kita. Mereka berasal dari berbagai kelas sosial, agama, ras dan lainnya. Mereka dapat berfungsi dengan normal sebagai manusia. Hal yang mungkin mempengaruhi pelaku adalah perkembangan kejiwaan laki-laki. Jika sejak kecil seorang laki-laki terpapar dengan kekerasan, maka kemungkinan dia akan menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang lumrah.
6. Kekerasan Terhadap Perempuan terjadi karena Alkohol atau Napza
Nah, ini yang sering kali jadi perdebatan banyak pihak. Seringkali kita baca berita di media yang menyebutkan bahwa akibat mabuk, seorang laki-laki melakukan kekerasan. Faktanya, banyak pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam keadaan sadar dan tidak dalam pengaruh alkohol atau narkotika, psitropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Berbagai penelitian tidak dapat menghubungkan antara kekerasan dengan konsumsi alkohol dan penyalahgunaan NAPZA.
Justru ditemukan bahwa banyak pelaku kekerasan yang menggunakan alkohol dan Napza sebagai alasan pembenaran tindakan tersebut. Alasan tersebut digunakan untuk menghindar dari hukuman yang berat dari tindakan kekerasan. Yang harus dipahami, kekerasan terjadi karena ada relasi yang timpang antara pelaku dan korban.
7. Kekerasan hanya terjadi pada perempuan tertentu
Sekali lagi, tidak ada satu fakta yang dapat mendukung bahwa kekerasan hanya terjadi pada perempuan tertentu. Dari berbagai penelitian dan fakta lapangan menemukan bahwa mereka yang menjadi korban kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi dan diskriminasi berasal dari berbagai kelas sosial, ekonomi dan budaya. Tidak ada karakteristik tertentu yang menyebabkan perempuan mengalami kekerasan. (btx)