Pendahuluan
Bukanlah hal yang mudah untuk membongkar pandangan masyarakat selama ini terhadap nilai-nilai kejantanan yang diyakini pada figur seorang laki-laki. Begitu bayi laki-laki lahir, maka serta merta telah dilekatkan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan keluarga terhadapnya. Beragam aturan dan atribut budaya telah diterima melalui berbagai media ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, petuah hidup hingga filosofi hidup. Proses sosial yang terjadi sehari-hari selama berpuluh tahun yang bersumber dari norma budaya patriarkhi telah membentuk suatu citra diri tunggal sosok laki-laki dalam kehidupan masyarakat.
Kondisi ini dapat dilihat dari hal-hal sederhana dalam kehidupan laki-laki seperti cara berpakaian dan penampilan, bentuk pilihan aktivitas, tata cara pergaulan, cara penyelesaian masalah, bentuk ekspresi verbal maupun non verbal hingga pilihan jenis aksesoris tubuh yang dipakai. Pencitraan diri ini telah diturunkan dari generasi ke generasi, melalui mekanisme pewarisan budaya hingga menjadi suatu “kewajiban” yang harus dijalani, jika ingin dianggap sebagai laki-laki seutuhnya. Kewajiban tersebut tercermin dalam suatu manhood (dogma kejantanan/norma kelelakian) yang harus diikuti oleh kaum laki-laki pada umumnya, karena dianggap sebagai faktor bawaan dari lahir((Pleck, J. H. (1981). The myth of masculinity. Boston: MIT Press.
)). Contoh dari norma maskulinitas yang umum kita kenal misalnya, anak laki-laki pantang untuk menangis, laki-laki harus tampak garang dan berotot, laki-laki hebat adalah yang mampu “menaklukkan” hati banyak perempuan, laki-laki akan sangat “laki-laki” apabila identik dengan rokok, alkohol dan kekerasan. Hingga kemudian kita mengenal ungkapan “mari kita selesaikan secara laki-laki !”, jika dua orang laki-laki atau lebih sedang berkonflik dan tidak mampu menyelesaikannya secara sehat, juga kasus kerusuhan etnik yang sebagian besar dilakukan oleh kaum laki-laki hingga perkelahian yang dilakukan oleh para anggota DPR beberapa waktu yang lalu.
Contoh perilaku laki-laki hipermaskulin seperti ini sebenarnya tidak hanya merugikan kaum perempuan, yaitu ketika laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga terhadap kaum laki-laki itu sendiri. Perilaku berisiko seperti keterlibatan dalam tindak kekerasan (perkelahian menggunakan senjata), penggunaan alkohol, narkotika dan psikotropika, perilaku seks tidak aman (berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom), atau penggunaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi yang banyak berakhir dengan kematian prematur.
Media pun juga turut andil dalam membentuk citra tunggal laki-laki hingga melahirkan iklan-iklan produk khusus laki-laki yang ingin tampil sebagai laki-laki macho. Hal ini menciptakan suatu kebutuhan bagi laki-laki untuk tampil sesuai dengan harapan-harapan yang beredar di masyarakat agar dipandang sebagai laki-laki tulen. Banyak kemudian para laki-laki, khususnya yang berusia muda, berusaha memenuhi tuntutan tersebut misalnya dengan menjadi anggota kelompok kebugaran atau fitness center untuk membentuk tubuh agar tampak atletis, hingga pemakaian produk-produk kebugaran khas kaum laki-laki. Tentu saja para produsen produkproduk khusus laki-laki yang akan diuntungkan. Pengingkaran atas norma-norma maskulinitas seperti tersebut di atas akan berakibat turunnya kadar kelelakian seorang laki-laki di mata masyarakat, khususnya sesama laki-laki sendiri. Gejala ini tidak hanya terjadi pada laki-laki dewasa, namun banyak juga dialami oleh mereka yang berusia remaja.
Maskulinitas Dalam Dunia Remaja
Pada kehidupan remaja misalnya, remaja laki-laki yang tidak mampu mengadopsi norma maskulinitas akan ditolak dan dilecehkan kelompok sebayanya serta dipandang sebagai cowok yang lemah. Kasus tawuran yang didominasi pelajar laki-laki dan munculnya fenomena geng motor yang sangat meresahkan masyarakat beberapa waktu yang lalu merupakan salah satu contoh implementasi dari pemahaman negatif doktrin maskulinitas yang dianut para remaja laki-laki. Dapat kita lihat bagaimana sepak terjang para anggota geng motor yang melakukan indoktrinasi norma maskulinitas melalui proses inisiasi anggota baru dengan cara-cara penuh kekerasan.((Kekerasan Kolektif Geng Motor http://padang-today.com/?today=article&id=204, Sejarah Geng Motor Di Indonesia http://www.indoforum.org/showthread.php?t=782)) Proses yang terjadi kemudian, maskulinitas diposisikan sebagai moralitas yang menjadi tolok ukur kepantasan dalam pergaulan hingga pada akhirnya maskulinitas menjadi dogma yang tidak mungkin terbantahkan. Menentang maskulinitas berarti melanggar moralitas dan mematuhi maskulinitas bermakna meraih superioritas dan kemuliaan hidup sebagai laki-laki sejati.((Lukmantoro, T. 2007. Maskulinitas Remaja Pria. http://64.203.71.11/kompascetak/0711/30/swara/4038045.htm)) Konsekuensinya, mereka akan mati-matian mendapatkan kualitas kelelakian itu tanpa mempertimbangkan cara yang ditempuh. Celakanya jika kemudian maskulinitas diterjemahkan sebagai jalan hidup yang harus ditempuh hanya dengan cara berani melakukan perkelahian dan penindasan terhadap orang lain, ataupun antar kelompok yang sama-sama maskulin sebagai bentuk pencarian superioritas siapa yang paling jantan diantara mereka. Dinamika ini sekaligus menunjukkan betapa remaja laki-laki berusaha tidak mengenal atau menghilangkan kualitas feminim yang secara kodrati ada dalam diri mereka dan menganggap sisi feminim dalam dirinya adalah hal yang negatif atau tidak sewajarnya ada.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena remaja menjalani kehidupan dalam tahap perkembangan moral konvensional serta pembentukan identitas diri dimana kesetiaan pada norma etis kelelakian ditentukan oleh loyalitas pada kelompok yang melingkupinya. Tentu saja para remaja laki-laki akan berlomba-lomba untuk menunjukkan dirinya pantas menyandang sebutan cowok banget dengan prasyarat yang ditentukan oleh norma umum laki-laki sebayanya. Pada gilirannya, mereka yang dianggap tidak mampu memenuhi prasyarat kejantanan yang ada akan tersingkir dalam pergaulan dan mendapatkan label/stigma buruk, atau bahkan tidak diakui dalam “korps para cowok”. Remaja laki-laki yang telah tersingkir ini, di kemudian hari akan menimbulkan permasalaan tersendiri dalam pribadinya seperti kepercayaan diri yang rendah, anti sosial, pemarah dan konflik interpersonal dengan dirinya sendiri. Dampak tersebut menjadi parah jika kemudian pribadi yang tersingkir mencari kompensasi dengan menindas remaja laki-laki lain yang dianggap lebih lemah darinya atau mencari figur lain yang paling dekat, misalnya pacar (perempuan). Dinamika ini telah menciptakan penguasaan citra diri tunggal seorang laki-laki dalam dunia remaja yang dikuasi oleh kelompok mayoritas yang mengklaim dirinya sebagai “benar-benar cowok sejati” dan kemudian berusaha mempopulerkan norma dan atribut kelelakian yang mereka yakini. Maka indoktrinasi dan penguasaan laki-laki atas laki-laki lain sudah mulai terjadi pada usia belia dan akan berlanjut hingga dewasa.
Maskulinitas Dalam Kehidupan Laki-laki Dewasa
Dalam kehidupan laki-laki dewasa kita juga mengenal adanya hirarki kelelakian yang akan menentukan kadar atau derajat kelelakian seorang laki-laki dewasa. Ukuran-ukuran tersebut diantaranya bahwa seorang laki-laki dewasa harus mampu menikah sekaligus mampu mendapatkan keturunan, mempunyai penghasilan tetap, mampu bersikap bijaksana dan cerdas, bijaksana dan stabil secara emosional, bertanggung jawab secara ekonomi dan sosial pada semua anggota keluarga besar serta mampu melindungi, mempunyai jiwa kepemimpinan dan pengayoman. Dalam relasi sosial pada lingkungan masyarakat sehari-hari, laki-laki harus mampu menjadi figur yang menjembatani antara dunia internal rumah tangganya dengan lingkungan sosial. Fungsi ideal ini mensyaratkan bahwa laki-laki harus mampu bermain peran dan matang secara psikologis agar rumah tangganya selalu dipandang baik dan berhasil.
Hal itu akan menaikkan derajatnya sebagai laki-laki sekaligus sebagai kepala rumah tangga.((Hasyim. N, Kurniawan Aditya P, Hayati E.N. 2007. Menjadi Laki-laki. Pandangan Laki-laki Jawa Tentang Maskulinitas Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rifka Annisa. Yogyakarta)) Pada konteks yang lebih spesifik, misalnya pada masyarakat Jawa, kita mengenal prasyarat laki-laki ideal yang menyatakan bahwa seorang laki-laki dianggap lengkap sebagai wong lanang (laki-laki) apabila ia mampu memenuhi beberapa ketentuan pokok sebagai berikut:
- Wisma (rumah)
- Garwa (istri)
- Curiga (pedoman hidup yang bermakna bahwa seorang laki-laki harus dapat menempatkan diri dalam berbagai suasana, ngerti agal alusing pasemon, yang berarti tahu bagaimana cara menempatkan diri dalam setiap kondisi dan situasi)
- Turangga (kendaraan)
- Kukila (burung) yaitu simbolisasi dari penyemarak isi rumah, misalnya benda-benda elektronik radio, tape, TV.
Konflik Peran Gender Laki-laki
Pada tiap-tiap kultur di Indonesia tentunya memiliki standar maskulinitas sendiri yang sifatnya sangat kontekstual. Semakin banyak prasyarat maskulinitas yang mampu dipenuhi oleh seorang laki-laki, maka semakin sempurna derajatnya di mata masyarakat, khususnya sesama laki-laki. Hal ini otomatis akan menjadikan dirinya sebagai simbol laki-laki yang sempurna yang akan menjadi figur panutan bagi laki-laki lain yang mungkin masih mencari bentuk identitas maskulinitas dirinya. Masyarakat tidak akan memberikan toleransi bagi laki-laki yang tidak mampu atau menolak berperan sesuai standar maskulinitas normatif serta sesuai dengan peran gender yang diharapkan oleh orang kebanyakan. Laki-laki pada jenis ini tentu akan mendapat stigma yang negatif dan menjadi bahan pergunjingan. Hal ini tentunya menciptakan suatu hegemoni citra tunggal laki-laki dalam dunia orang dewasa.
Jenis maskulinitas yang paling banyak ditemui dan paling dominan dalam masyarakat patriarkhi adalah hegemonic masculinity. Ciri khas jenis maskulinitas ini adalah adanya peran penguasaan terhadap sumber daya ekonomi, seperti lapangan pekerjaan serta kuatnya kontrol laki-laki terhadap perempuan, khususnya di sektor domestik dalam rangka pembentukan identitas kelelakian. ((Jefferson, Tony. 2002. Subordinating hegemonic. Journal of Theoretical Criminology; Vol. 6; 63-68. Sage Publications. London.)) Laki-laki dari kelas sosial ekonomi yang tinggi memiliki sarana lebih leluasa untuk mencapai identitas tertinggi maskulinitas lewat pekerjaan dan laki-laki dari kelas ekonomi rendah mengalami kesulitan dalam memenuhi beragam atribut dan identitas maskulinitas. Dan pada kenyataanya tidak semua laki-laki mampu memenuhi beragam peran kemasyarakatan beserta prasyarat maskulinitas yang terkesan superior tersebut, yang seakan-akan hendak menjadikan laki-laki sebagai “manusia setengah dewa” yang mampu memenuhi segala hal dalam keluarga.
Ketidakmampuan seorang laki-laki dewasa dalam memenuhi prasyarat maskulinitas akan menimbulkan konflik psikis dalam dirinya. Konflik ini lebih dikenal dengan konflik peran gender laki-laki, yaitu suatu keadaan seseorang laki-laki tidak mampu berperan sesuai yang diharapkan oleh masyarakat sehingga menimbulkan dampak negatif bagi yang bersangkutan dan orang lain.((Good&Holmes, dalam Levant & Pollack. 1995. A New Psychology of Man. Fifteen Years of Theory and Research on Men’s Gender Role Conflict: New Paradigms for Empirical Research. Basic Books.)) Seorang laki-laki mengalami konflik peran gender langsung maupun tidak langsung melalui yakni bila mereka((Nauly. M. 2002. Konflik Peran Ganda pada Pria : Teori dan Pendekatan Empirik. Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi USU. http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-Meutia.pdf)):
- berbeda dari atau melanggar norma-norma peran gender yang normatif
- mencoba menemukan atau gagal menemukan norma-norma peran maskulin
- mengalami adanya jarak antara konsep diri yang nyata dan yang diidealkan, yang didasarkan atas stereotip peran gender
- secara personal merendahkan, membatasi dan merusak diri sendiri akibat ketidakmampuan berperan sesuai stereotip peran gender di masyarakat
- mengalami perendahan nilai dan keterbatasan atau gangguan dari orang-orang lain
- secara pribadi merendahkan, membatasi atau mengganggu orang lain karena stereotip peran gender.
Bersambung ke Dinamika Maskulinitas Laki-Laki (Bagian II)