Afeksi Laki-Laki
Hal yang paling sensitif ketika laki-laki tidak mampu memenuhi prasyarat maskulinitas dalam peran gendernya adalah perasaan malu dan terhina. Harga dirinya jatuh dan hidupnya menjadi tidak bermakna. Harga diri inilah yang menjadi momok menakutkan bagi kaum adam sehingga mereka akan menjaga dan mempertahankannya mati-matian. Kebutuhan akan penegakkan harga diri dalam rangka pemenuhan standar maskulinitas inilah yang menjadi kontrol sosial atas kehidupan laki-laki yang tentunya akan menjadi kerangka besar tujuan hidup sepanjang hidupnya.
Dampak negatif dari kegagalan dalam memenuhi standar maskulinitas tradisional yang diharapkan masyarakat adalah dengan melakukan tindakan kompensasi yang negatif untuk menutupi harga dirinya yang dirasa jatuh. Misalnya dengan lari ke alkohol, narkoba, menjadi anggota kelompok terlarang/kriminal, tindakan agresif baik pada teman sesama laki-laki ataupun pada anggota keluarga khususunya istri dan anak, maupun upaya dominasi terhadap kelompok atau individu lain yang dianggap lebih lemah.
Kompensasi negatif ini dipilih karena bentuk-bentuk perilaku tersebut terkait erat dengan label “jantan” yang tentunya dianggap dapat menutupi derajat kelelakiannya yang jatuh, harga dirinya yang terluka serta hidupnya yang tidak bermakna. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa bentuk-pentuk perilaku laki-laki yang negatif berhubungan dengan dogma maskulinitas tradisional yang toleran dengan bentuk kekerasan. ((Bosson. J.K, Vandello.J.A, Burnaford.R.M, Weaver.J.R, Wasti.S.A. 2009. Precarious Manhood and Displays of Physical Aggression. Personality and Social Pyshology Bulletin.Vol:35;623. Sage Publications)) Dan lagi-lagi masyarakat cenderung permisif jika laki-laki berperilaku negatif karena dianggap hal yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini sekaligus menimbulkan asumsi, asalkan masih dalam koridor nilai-nilai kejantanan maka tidak ada hal yang tabu dilakukan oleh laki-laki.
Sebagai ilustrasi bahwa masyarakat cenderung permisif dengan nilai-nilai kejantanan yang negatif ketika kita membincangkan persoalan laki-laki dan alkohol. Ada suatu kesepakatan tak tertulis dalam pergaulan masayarakat, terutama di kalangan kaum laki-laki, bahwa laki-laki yang menjadi peminum atau kecanduan akohol adalah hal biasa. Kewajaran tersebut terkadang membuat para laki-laki menjadi permisif terhadap segala minuman beralkohol karena kelonggaran kontrol sosial dalam budaya patriarkhi. Tak heran jika laki-laki banyak yang mengkonsumsi minuman beralkohol dengan berbagai alasan, dari alasan menghormati teman atau peer group-nya, pelarian dari stres, perayaan suatu keberhasilan atau hari spesial, dan lain-lain.
Hal ini diperkuat dengan adanya imbalan yang diberikan lingkungan, khususnya sesama kaum laki-laki, bahwa laki-laki yang pernah mabuk atau kuat menenggak minuman beralkohol ber liter-liter akan dianggap sebagai laki-laki hebat. Bahkan tak jarang ada suatu kelompok yang mengadakan kompetisi untuk adu kuat minum minuman keras. Kepermisifan dan kewajaran terhadap nilai-nilai maskulinitas tradisional yang ada selama ini justru menimbulkan efek negatif dari segi kesehatan bagi para pecandu alkohol, baik kesehatan fisik maupun psikis. ((Stibbe, Arran. 2004. Health and the Social Construction of Masculinity in Men’s Health Magazine. Journal of Men and Masculinities; Vol. 7 No. 1, 31-51. Sage Publication)) Dan bukankah hal ini paradok dengan norma maskulinitas normatif bahwa laki-laki harus berwibawa, mengayomi dan stabil secara emosional.
Sebenarnya ada bentuk pilihan perilaku lain yang lebih positif sebagai bentuk kompensasi ketika laki-laki merasa gagal atau ketika mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, dan bukan hanya sekedar menjadi pelampiasan negatif. Hal ini terkait dengan kemampuan penerimaan diri dan pengelolaan emosi negatif yang dirasakan ketika merasa gagal. Sayangnya, tidak banyak para laki-laki yang terbiasa “bermain” dalam area emosi dalam dirinya sehingga banyak diantaranya yang tidak mampu memahami secara utuh dinamika perasaannya sendiri. Ibarat kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”, banyak laki-laki yang kemudian gagal mengendalikan emosi negatif yang dirasakan. Kondisi inilah yang menyebabkan mereka bertindak tidak terkontrol ketika mengalami dinamika perasaan-pereasaan negatif, terutama yang berhubungan dengan identitas kelelakiannya.
Hal ini dapat dimengerti karena semenjak kecil laki-laki kurang terdidik untuk lebih menyelami dan mengelola sisi emosionalnya, karena dianggap hal yang berbau emosional bukanlah domain laki-laki. ((Mahalik, James. R & Rochlen, Aaron. B. 2006. Men’s Likely Responses to Clinical Depression: What Are They and Do Masculinity Norms Predict Them?.Journal of Sex Roles. Vol : 55; 659–667. Springer Science Business Media, Inc.)) Jika anak laki-laki menangis serta merta akan mendapat teguran dari orang tuanya“anak laki-laki sudah jangan menangis”, ataupun dari teman-teman sepermainannya yang akan melabelinya “cengeng”. Jika para laki-laki sedang berkumpul maka akan terjadi obrolan tentang politik, olah raga, analisis sosial, atau apapun yang menunjukkan sisi kognitif-rasional yang dianggap domain laki-laki.
Sangat jarang laki-laki saling bercerita tentang persoalan domestiknya, ataupun sekedar mencurahkan perasaan untuk saling menguatkan satu dengan yang lain, karena dianggap sentimentil dan bukan domain laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa maskulinitas dalam budaya patriarkhi tidak menyediakan ruang-ruang psikososial bagi laki-laki untuk bercerita tentang dirinya dan perasaannya. Padahal mengenali emosi diri sendiri sedini mungkin adalah hal yang penting dan menjadi bagian dari pendidikan emosi agar laki-laki mampu mengelolanya secara positif. Situasi ini menjadi semakin rumit ketika secara kultural orang Indonesia sendiri menganggap emosi adalah hal yang negatif, sehingga harus dikendalikan baik-baik supaya tidak mempengaruhi hubungan dengan orang lain agar prinsip keharmonisan tetap terjaga. ((Prawitasari, J. E. 1995. Mengenal Emosi Melalui Komunikasi Non Verbal. Buletin Psikologi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Tahun III. No. 1, hal. 27 – 43.))
Di sisi lain, norma maskulinitas dalam budaya patriarkhi menghendaki laki-laki selalu menjadi sosok yang bijaksana, pengayom dan pemelihara yang tentunya mensyaratkan kematangan secara emosional. Maka banyak ambivalensi yang terjadi dalam diri laki-laki, seperti ketidakmampuan dalam membedakan antara mengelola emosi dengan menekan emosi, antara marah dengan pribadi pemarah. Tentu dua hal yang beda antara menekan/memendam emosi (yang sewaktu-waktu dapat meledak) dengan mengelola dan mengekspresikannya secara positif.
Pengalaman penulis sendiri di Rifka Annisa Yogyakarta sejak tahun 2007 dalam melakukan konseling perubahan perilaku pada para laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga menemukan beberapa ambivalensi yang bersumber dari ketidakmampuan laki-laki dalam memenuhi nilai-nilai maskulinitas. Beberapa ambivalensi tersebut adalah :
Pengayom vs Egois
Hal ini banyak dialami oleh laki-laki dalam relasi pernikahan namun tidak menutup kemungkinan dalam relasi sesama laki-laki sendiri. Laki-laki dalam budaya patriarki harus mempunyai jiwa pengayom dan pelindung terutama terhadap kaum perempuan atau pihak lain yang dianggap lebih lemah. Konsekuensinya, laki-laki harus mempunyai kematangan emosional dan intelektual. Namun tidak semua lakilaki mempunyai kualitas yang diharapkan tersebut. Maka banyak yang kemudian justru kesulitan membedakan antara bersikap mengayomi dengan sikap egois.
Misalnya, seorang suami bermaksud mengayomi keluarganya dengan menetapkan aturan-aturan sepihak yang harus diikuti oleh seluruh anggota keluarga yang lain dengan maksud mengayomi dan untuk kebaikan bersama, namun terkadang aturan yang ia buat tidak mencerminkan aspirasi dan kebutuhan tiap-tiap anggota keluarga. Bahkan terkadang aturan tersebut dilanggar oleh dirinya sendiri. Ataupun seorang suami yang keberatan dengan istrinya yang bekerja/beraktivitas dengan alasan cukup dirinya sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah. Padahal sebagai seorang manusia, istri juga mempunyai hak untuk mengembangkan potensinya dengan beraktivitas sesuai bakat dan nalurinya.
Hal ini menunjukkan adanya kebingungan dalam membedakan fungsi pengayoman dengan sifat egois, juga sekaligus menunjukkan adanya relasi yang tidak setara dalam rumah tangga. Pada kasus yang melibatkan remaja laki-laki dalam hubungan pacaran dengan lawan jenis, hal seperti ini dapat kita temukan ketika seorang remaja laki-laki yang berusaha mengekang atau membatasi aktivitas pacarnya secara sepihak dengan alasan sebagai bentuk perlindungan dan ungkapan rasa cinta terhadap pacarnya. Namun sebenarnya hal itu lebih menunjukkan ketidakmampuan laki-laki dalam membedakan antara mencintai dan egoisme atau posesif, karena biasanya keputusan itu dilakukan secara sepihak dan belum tentu pasangannya tersebut merasa nyaman dengan hal itu.
Terlebih jika kondisi ini melibatkan konflik harga diri si remaja laki-laki yang sebenarnya merasa rendah diri di hadapan pacarnya karena merasa tidak mampu memenuhi kriteria mainstream seorang cowok se-usianya sehingga ia merasa perlu mengembalikan harga dirinya di hadapan pacarnya dengan kembali ke ide-ide primitif dengan yaitu dengan dominasi dan kuasa terhadap perempuan. Kondisi ini lebih karena ketidakmampuan dalam memenuhi nilai-nilai machoisme remaja laki-laki sehingga menyebabkan self esteem yang rendah sehingga ia merasa harus mengembalikan harga dirinya dengan perilaku yang menurut budaya, pantas dilakukan oleh laki-laki.
Bertanggung Jawab vs Tidak Mampu Bertanggung Jawab
Norma dalam budaya patriarki, sosok laki-laki adalah seorang tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan hidup anggota keluarga yang lain. Secara tersirat maupun tersurat, banyak diantara para laki-laki yang merasa berat bahkan tidak mampu. Pada level ini, laki-laki merasa teruji harga dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga. Rasa berat ini terkadang banyak menimbulkan masalah psikologis seperti stres dan depresi hingga mempengaruhi kualitas hidupnya.
Kondisi ini diperberat dengan sorotan masyarakat terhadap situasi dan kondisi kehidupan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Dan tentu saja, dalam situasi ini, sangat rentan bagi laki-laki untuk terjerumus pada tindakan dan perilaku yang negatif. Ambivalensi tersebut senantiasa mewarnai kehidupan laki-laki selama rentang waktu kehidupannya. Apalagi dalam situasi kultural yang sedikit demi sedikit telah mengalami perubahan, ketika perempuan juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal karir dan lapangan pekerjaan. Hal ini akan dilihat sebagai sebuah ancaman. Tidak sedikit kasus yang di tangani oleh Rifka Annisa Yogyakarta yang mengarah pada ketidaksiapan suami dalam menghadapi perubahan kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan yang kemudian memicu kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagai gambaran, baru-baru ini penulis mendapat klien laki-laki pelaku yang dirujuk oleh keluarganya karena melakukan kekerasan fisik, psikis dan ekonomi terhadap istrinya. Setelah pertemuan ke empat dalam sesi konseling, terungkaplah bahwa awalnya kehidupan rumah tangganya baik-baik saja kendatipun hidup paspasan.
Namun ia mulai merasakan kecemasan ketika tahun 2007, istrinya mendapatkan surat pengangkatan sebagai PNS di sebuah PTN di Yogyakarta. Kecemasan itu semakin ia rasakan tatkala berkumpul dengan peer group-nya sesama laki-laki dan mulai membincangkan tentang keluarga masing-masing. Mulailah ia melakukan upaya dominasi dan pembatasan aktivitas istri sebagai kompensasi negatif kecemasan yang ia rasakan hingga terjadi kekerasan fisik, psikis dan penelantaran. Klien laki-laki tersebut mengatakan bahwa saat ini harga dirinya sudah tidak ada lagi, mengingat 20 tahun usia pernikahannya, ia masih bekerja serabutan.
Laki-laki dalam Puncak Kelelakian
Tidak selamanya pula para laki-laki tidak mampu memenuhi kualitas maskulinitas yang disyaratkan dalam budaya patriarkhi. Ada kalanya laki-laki benarbenar mampu mendapatkan segala-galanya dalam hidupnya. Seperti yang kita lihat bahwa kekayaan, kekuasaan dan kekuatan juga merupakan ukuran-ukuran maskulinitas dalam budaya patriarkhi.
Jika pada pembahasan sebelumnya laki-laki yang tidak mampu memenuhi prasyarat maskulinitas akan mengalami konflik seputar harga diri yang kemudian berujung pada bentuk-bentuk kompensasi perilaku yang negatif, para laki-laki yang berhasil berada pada top level maskulinitas pun juga tak lepas terjerumus pada bentuk perilaku yang negatif. Laki-laki yang telah mendapatkan segalanya merasa sudah tidak ada aktivitas penaklukan yang penuh tantangan lagi sehingga ia akan mencari sensasi yang lain. Kasus seperti ini sangat sering terjadi dan ditangani oleh Rifka Annisa Yogyakarta dan sebagian besar bentuk kompensasi negatif para laki-laki ini adalah perselingkuhan.
Penulis sendiri belum berani secara tegas menyimpulkan secara empirik adanya korelasi yang kuat antara keberhasilan pencapaian level maskulinitas oleh laki-laki dengan kecenderungan perilaku negatif, terutama perselingkuhan. Namun penulis mencoba memaparkan temuan fakta di lapangan selama penulis menjadi konselor bagi laki-laki pelaku kekerasan, bahwa fenomena itu telah terjadi saat ini.
Sebagai bahan refleksi, bahwa kekayaan, kekuasaan dan kekuatan yang notabene merupakan nilai-nilai maskulinitas laki-laki sangatlah dekat dengan kasus perselingkuhan, marilah kita melihat kasus-kasus di negeri ini yang melibatkan para elit politik dan petinggi institusi negara baik kasus korupsi, skandal seks maupun pembunuhan, banyak kalangan yang kemudian mengkaitkannya dengan motif politik pula. Masyarakat cukup mahfum dengan kecenderungan kasus yang menimpa para elit tersebut bahwa selalu ada sosok perempuan yang menjadi bumbu cerita dalam intrik permasalahan yang dihadapi para tersangka.
Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus video mesum yang melibatkan politikus Golkar bernama Yahya Zaini dengan seorang penyanyi dangdut perempuan, ataupun kasus pelecehan seksual yang dilakukan politikus PDIP pada sekretarisnya sendiri hingga mendepak pelaku di pecat dari keanggotaan PDIP dan DPR, kasus korupsi yang melibatkan politikus PPP, Al Amin Nasution yang juga mengandung bumbu skandal seks dengan seorang perempuan hingga yang terbaru ini kasus pembunuhan melibatkan ketua KPK Antasari Ashar yang diduga mengandung motif asmara dengan seorang perempuan yang berprofesi sebagai caddy golf.
Semua para tersangka laki-laki tersebut, jika dilihat dalam kacamata maskulinitas, maka dapat dikatakan mereka telah memenuhi segala hal apa yang diharapkan dalam norma maskulinitas budaya patriarkhi. Pameo politik-kekuasaan dekat dengan seks dan perselingkuhan lebih mejadi sebuah keniscayaan lagi dengan gambaran kasus-kasus yang dipaparkan di atas. Relasi timbal balik yang saling mempengaruhi antara maskulinitas – politik – kekuasaan – seks telah menciptakan suatu kebutuhan tersendiri dalam budaya politik birokrasi di dunia yaitu kebutuhan akan perempuan sebagai komoditi yang nantinya akan ditempatkan sebagai agen-agen pemulus rencana para aktor politik.
Seksualitas dalam Tinjauan Maskulinitas Heteronormativitas
Hanya ada satu jenis orientasi seksual dalam tinjauan maskulinitas tradisional yang dapat dianggap sebagai benar-benar laki-laki seutuhnya, yaitu heteronormativitas. Mereka, para laki-laki yang mempunyai orientasi seksual di luar mainstream, yaitu homoseksual, tentunya akan mendapat penolakan sosial dari para laki-laki dengan orientasi seksual mayoritas, walaupun secara biologis mereka adalah sama.(( Parrott. D.J. 2009. Aggression Toward Gay Men as Gender Role Enforcement: Effects of Male Role Norms, Sexual Prejudice, and Masculine Gender Role Stress. Journal of Personality.Georgia State University. Vol: 77:4, Wiley Periodicals, Inc.)) Dalam kasus ini berlaku juga hukum teori kuasa, laki-laki dengan orientasi seksual mayoritas melakukan penindasan terhadap kelompok minoritas atau seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dikenal dengan hegemonic masculinity.
Demikian juga dengan para waria yang juga mendapatkan penolakkan dari para laki-laki mayoritas karena dalam norma maskulinitas tradisional hanya mengenal dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan heteroseksual atau sering disebut sebagai hukum oposisi biner. Hukum oposisi biner ini berlaku di masyarakat patriarkis dalam memposisikan laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki melekat ciri maskulinitas dan pada perempuan melekat ciri femininitas. Di sini laki-laki bersifat maskulin yang artinya kuat, berotot, superior, dan berkuasa, sementara perempuan bersifat feminin yang artinya lemah, tidak berotot, subordinat, dan dikuasai. Tidak ada ruang ketiga, yaitu laki-laki mempunyai sifat feminin dan perempuan bersifat maskulin. Ketika laki-laki lebih menonjolkan sifat femininnya (banci/waria) atau perempuan lebih menghadirkan sifat maskulinnya (tomboy) ia harus masuk di kategori ambigu atau kategori skandal yang dimaknai sebagai sebuah anomali. Bahkan dalam kehidupan seksual laki-laki heteroseksual pun juga tak lepas dari dogma dan doktrin maskulinitas.
Dalam peri kehidupan seksual heteronormatif, nilai-nilai, kepercayaan dan keyakinan para laki-laki akan dunia seksual sedikit banyak dibangun atas dasar penaklukan, tantangan, keperkasaan serta berorientasi pada hasil akhir ketimbang sebuah proses yang luhur dalam suatu relasi yang setara dengan pasangannya (perempuan). Dunia seksual yang diyakini oleh laki-laki adalah suatu pertarungan harga diri dimana mereka merasa bahwa aktivitas seksual harus selalu mampu ”mengalahkan” pasangannya. Oleh karenanya seksualitas dalam tinjauan maskulinitas heteronormativitas menjadi sempit dan hanya mengenal satu tujuan akhir yaitu sex intercourse.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari, ukuran maskulinitas dalam dunia seksual laki-laki tercermin dalam kata-kata penaklukan seksual seperti ”Ayo kuat berapa ronde?!”, ”menang”, ”KO”, ”lemah”, ” loyo”. Hal ini tentunya banyak membuat laki-laki berusaha memenangkan ”pertarungan seksual” tersebut dan tentu saja akan menciptakan mitos-mitos dan kebutuhan pasar akan produk-produk kelelakian yang dianggap dapat membantu memenangkan ”pertarungan” tersebut. Dapat kita lihat bahwa beredarnya obat-obat penguat seksual saati ini, sebagian besar diperuntukkan bagi kaum laki-laki dan banyak pula para laki-laki yang justru terbebani dengan mitos dan nilai-nilai penaklukkan seksual tersebut. ((Burns. S.M & Hough. S & Boyd.B.L & Hill.J. 2009. Sexual Desire and Depression Following Spinal Cord Injury: Masculine Sexual Prowess as a Moderator. Journal of Sex Roles Vol: 61:120–129. Springer Science Business Media, LLC)) Bahkan pada kasus yang lebih ekstrem, laki-laki yang ingin membuktikan ”kejantanannya” secara sepihak akan melakukan pemaksaan secara seksual terhadap lawan jenisnya, terlebih ketika ia merasa belum terbukti sebagai laki-laki.
Penutup
Memang tidak mudah merubah cara pandang laki-laki terhadap dogma dan ukuran-ukuran maskulinitas yang selama ini diyakini. Bahwa kenyataannya tidak ada citra tunggal laki-laki yang wajib diikuti oleh semua laki-laki, termasuk jenis orientasi seksualnya. Juga pada dasarnya banyak cara untuk menjadi laki-laki dan tidak harus selalu tampil maskulin dengan mengingkari sisi femininnya, karena pada dasarnya sisi feminin pun ada pada diri semua manusia baik laki-laki maupun perempuan. Gerakan pengarusutamaan gender sebenarnya telah menawarkan cara baru bagi laki-laki dalam menghadapi situasi yang telah berubah saat ini, mengingat laki-laki sendiri juga dirugikan oleh norma maskulinitas tradisional dalam budaya patriarkhi. Namun masih ada anggapan bahwa pengarusutamaan gender dipandang sebagai gerakan yang melawan laki-laki yang terkadang hal ini membutuhkan proses dialog yang lama dengan para laki-laki.
Perlu dimulai perbincangan tentang konsep kelelakian yang selama ini diyakini secara luas oleh masyarakat, mengingat selama ini laki-laki cenderung enggan atau risih untuk membicarakan dirinya sendiri. Perlu untuk mulai menyediakan ruang-ruang dialog bagi laki-laki sebagai wadah dalam mengkritisi konsep kelelakiannya, termasuk membuka ruang bagi laki-laki untuk mendialogkan segala perasaan yang dirasakannya terhadap konsep kelelakian yang dianggap membebani. Juga upaya mengembalikan ukuran-ukuran maskulinitas dan norma-norma kelelakian pada diri individu masing-masing agar tidak menciptakan citra tunggal laki-laki yang hanya berakhir pada hegemoni maskulinitas. Termasuk kecemasan-kecemasan terhadap kondisi dan situasi yang terus berubah yang menuntut perubahan konsep tradisional kelelakian, misalnya tuntutan kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang secara jelas menuntut laki-laki untuk berani berbagi kekuasaan dengan perempuan di semua level kehidupan sosial mulai dari rumah tangga sampai negara. Juga penawaran konsep diri baru laki-laki dengan mengubah pandangan bahwa untuk menjadi laki-laki tidak harus identik dengan kekerasan dan dominasi.
“Semakin Anda penuh cinta kasih, sabar dan terbuka, setia dengan pasangan, egaliter dan anti kekerasan, maka anda semakin laki-laki!” . Akhirnya selamat datang laki-laki baru!.
Bagaimana dengan Anda?