Sepakbola, Nasionalisme, dan Imaginasi Maskulinitas Hegemonik

Saya agak heran dengan diri saya sendiri saat detik-detik menjelang pertandingan Timnas U-23 dengan Timnas negara-negara peserta SEA Games lainnya, saya selalu harap-harap cemas. Meskipun sebelumnya saya sudah memasang status di akun facebook saya “Mari menonton pertunjukan sepakbola nanti malam dengan rasional”, tetapi tetap saja saya tidak rasional, bahkan bisa disebut sangat emosional. Mengapa begitu, rasional itu kan selalu logis, kalah menang sebuah tim sepakbola ditentukan oleh banyak faktor: skill individu, kerjasama tim, kekuatan mental yang ditempa dari pengalaman bertanding, ketahanan fisik, dan, mungkin, strategi yang diterapkan saat bertanding.
Nah, semestinya tinggal membandingkan saja antara Timnas Indonesia dengan Timnas Negara lain, bagaimana skill pemain, berapa lama kedua tim dipersiapkan, sejauh mana kekompakan terbangun, berapa kali uji coba dan timnas negara mana yang dipilih sebagai lawan tanding, dan seterusnya. Dari analisis ini, secara logis, bisa diprediksi tim mana yang akan memenangkan pertandingan. Orang-orang menyebut adanya faktor Dewi Fortuna dalam sepakbola tapi akal saya tetap saja meyakini beberapa faktor yang saya sebut di awal yang menentukan sebuah tim menang atau kalah.
 Namun seperti yang saya singgung sebelumnya, saat pertandingan tiba saya menjadi tidak rasional sama sekali, apa yang saya inginkan hanya satu: Timnas Indonesia Menang. Ekspresi yang lazim saya tunjukkan saat menyaksikan pertandingan Timas Indonesia adalah bersorak kegirangan ketika Timnas terus menyerang, lebih-lebih jika sukses menciptakan gol. Jumpalitan pun dilakukan jika perlu. Namun saat Timnas terus diserang, saya sesekali memalingkan muka, memindah channel, atau ke dapur mengambil air minum atau makanan padahal tidak haus atau lapar dan selalu berharap situsi kritis segera berlalu pada saat saya kembali menatap layar TV.
 Saya yakin tidak hanya saya yang memiliki perilaku aneh itu. Saya yakin penonton di Gelora Bung Karno memiliku perilaku yang sama dengan saya, dan mungkin para pendukung Timnas yang nonton televisi juga melakukan hal serupa. Mengapa demikian? Usut punya usut, setelah saya mengenali perasaan saya sendiri, setiap kali pertandingan Timnas berlangsung, bukan semata-mata persoalan pertandingan sepakbola akan tetapi pertandingan di lapangan hijau tersebut berubah menjadi persoalan kebangsaan atau nasionalisme. Saya melihat sebelas pemain di lapangan tidak saja sedang bermain untuk tim akan tetapi bermain untuk saya dan bangsa saya, Indonesia. Pada saat mereka bertahan dari serangan tim lawan seolah saya bersama mereka sedang mempertahankan bangsa, pada saat mereka menyerang seakan saya bersama mereka menyerang untuk kemenangan dan kejayaan bangsa. Pertandingan sepakbola menjadi seperti perjuangan melawan dominasi bangsa lain atau penjajah. Mereka yang memiliki andil memperjuangkan kemerdekaan bangsanya akan mendapatkan gelar hero (pahlawan), pun mereka yang memenangkan pertandingan sepakbola untuk negara mereka juga akan menjadi hero di lapangan hijau untuk bangsanya.
 Pertandingan menjadi sangat emosional ketika timnas sebuah negara melawan negara lain yang hubungannya tidak selalu mulus seperti Indonesia dan Malaysia. Pertandingan antara kedua tim menjadi panas dan emosional  karena pertandingan kedua tim dipengaruhi oleh relasi kedua negara di luar lapangan hijau, misal persoalan sengketa perbatasan, sengketa pulau, persoalan buruh migrant dan persoalan yang lain. Lebih-lebih untuk beberapa isu tersebut Indonesia dapat disebut sebagai “Kalah”.  Harus jujur diakui, Malayasia lebih unggul dari Indonesia jika dilihat dari banyak faktor. Maka bagi para supporter Indonesia dan mungkin bagi pemain Timnas Indonesia melawan Malaysia adalah persoalan harga diri bangsa, jika tidak dapat mendominasi Malaysia di sector-sektor lain, setidaknya di sepakbola Indonesia harus superior atas Malaysia.
Pertandingan sepakbola menjadi adu superioritas kita dapat kenali dari headline media masa di Indonesia. Judul-judul seperti Saatnya Balas Dendam, Ganyang Malaysia, Kalahkan Malaysia, Lumat Malaysia, Cengkeramlah Harimau Malaya Garudaku dan seterusnya. Tidak hanya headline media, status akun facebook atau twitter menggambarkan suasana yang sama. Ketika sepakbola menjadi persoalan adu superioritas maka sepakbola juga menjadi persoalan imaginasi maskulinitas hegemonik sebuah imaginasi tentang superioritas atas orang lain, tim lain, dan negara lain. Dengan menjadi superior maka orang, tim atau sebuah Negara dapat mendominasi orang, tim, atau Negara lain. Dan ketika menjadi superior atau dominan maka akan berada dalam puncak herarkhi kekuasaan.
Persoalan ini menjadi celaka ketika harga diri sebuah bangsa dibangun atas fondasi superioritas atas yang lain, pada saat Timnas Indonesia Kalah, lebih-lebih kalah dari Malaysia. Kekalahan ini menyisakan luka yang mendalam, karena banyak yang merasa harga diri yang terkoyak, inferior, merasa menjadi pecundang dan seterusnya. Wajah murung, lesu, menangis sesenggukan, perasaan ingin balas dendam atau merusak sesuatu diantara gejala yang dapat diamati. Semoga saya saja yang terlalu serius, padahal nggak gitu-gitu amat. Biasa aja, bro.

About Nur Hasyim

peminat kajian maskulinitas, trainer dan fasilitator tentang gender, maskulinitas dan kekerasan serta ayah dari dua anak perempuan. Saat ini menjadi pengajar di Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *