Namaku Elwi Gito. Aku laki-laki. Aku si sulung dengan tiga adik perempuan. Aku dibesarkan dalam tradisi budaya Tionghoa yang partilinear. Aku hidup dengan semua keuntungan. Keuntungan karena aku anak laki-laki sulung dan satu-satunya ditambah lagi aku tinggal di Indonesia yang partiarkhis.
Aku ingat betul ada sebuah doa yang cukup termahsyur, “Aku bersyukur pada-Mu Tuhan, karena Engkau jadikan aku bukan sebagai budak dan bukan sebagai perempuan”. Ah, dalam hati, aku mengamini doa itu.
Aku beruntung karena aku laki-laki. Aku bisa mengatur sendiri pakaianku. Aku bebas mau pakai ini atau pakai itu. Tidak seperti perempuan, yang pakaiannya saja harus diatur-atur oleh masyarakat. Bahkan, seolah tak mau kalah, pemerintah pun ikut turun tangan mengatur pakaian perempuan lewat sejumlah kebijakan. Komnas Perempuan menamainya dengan kebijakan diskriminatif. Kata mereka, jumlahnya ada 365. Dari angka itu, sebanyak 279 kebijakan langsung menyasar tubuh perempuan. Ah, jadi perempuan memang sial, pakaian pun harus diatur-atur.
Sebagai laki-laki, aku bebas muncul di ruang publik tanpa harus mikirin urusan domestik. Aku bebas nongkrong di kedai kopi, tanpa harus mikirin cucian dan setrikaan. Urusan cucian dan setrikaan biar perempuan sajalah yang urus. Kita laki-laki lebih baik ngobrolin politik, sastra, dan bisnis. Aku juga bebas keluar malam tanpa takut harus ditangkap satpol PP. Tidak seperti perempuan yang harus sudah di rumah saat malam tiba. Di Gorontalo, Perempuan dilarang ke luar rumah dari jam 00.00- 04.00. Bahkan, di Tangerang, seorang perempuan yang masih di ada di jalan di atas jam 21.00 harus siap-siap ditangkap sama satpol PP.
Kalau suatu saat nanti, aku gagal menahan penisku sehingga aku memperkosa seorang perempuan, aku tidak perlu takut. Hukum di Indonesia toh sangat patriakhis dan menguntungkan laki-laki. Selain kasus perkosaan membutuhkan saksi yang sangat-sangat sulit dicari karena perkosaan biasanya dilakukan di ruang-ruang gelap dan privat, tidak mudah pula buat perempuan korban melaporkan kasusnya. Biasanya mereka takut, dan merasa malu. Kalau pun korban itu melapor, biasanya ditanggapi dingin oleh Arapat Penegak Hukum (APH) yang juga adalah laki-laki walau sekarang sudah ada Unit khusus untuk Perempuan dan anak. Paling-paling perempuan korban tersebut akan dianggap menggoda penisku dengan rok mininya, dan masyarakat akan memaklumi perbuatanku. Santai sajaa …
Bila aku menikah suatu hari nanti dan tidak punya keturunan, aku sangat boleh untuk menikah lagi. Bahasa kerennya Poligami! Poligami ini dijamin loh oleh undang-undang perkawinan tanpa melihat siapa yang mandul. Kalau istriku nanti mandul, aku boleh nikah lagi. Kalau aku yang mandul, istriku tidak boleh nikah lagi. Enak ‘kan jadi laki-laki?
***
Dengan semua keuntungan menjadi laki-laki di Indonesia yang patriakhis, lalu kenapa aku belajar feminisme?
Menjadi feminis bukan berarti menjadi perempuan, aku tetap laki-laki, aku tetap berpenis, aku hanya mengganti cara pandang. Feminisme berangkat dari pemikiran bahwa di dunia ini ada ketidakadilan yang terjadi di mana perempuan menjadi pihak yang sub-ordinat, dan laki-laki menjadi episentrumnya.
Ketidakadilan-ketidakadilan itu kemudian dilembagakan dalam nilai dan norma masyarakat. Tidak berhenti di situ, Ketidakadilan itu juga diinstitusionalisasikan dalam peraturan negara, bahkan juga dipatrikan dalam kitab-kitab suci. Tubuh perempuan merupakan tempat di mana semua ketidakadilan berkumpul dan praktik ini sudah ada sejak 2300 tahun yang lalu.
Tutur-tutur perempuan tidak pernah dianggap penting.Pengalaman ketubuhan mereka dianggap tidak rasional. Mereka dihilangkan dari sejarah dan dari kebudayaan. Perempuan selalu dianggap lemah, tidak berdaya dan hanya bisa mengurusi pekerjaan domestik: dapur, sumur dan kasur. Bila ada perempuan yang keluar dari pola itu, maka seluruh masyarakat akan mencibirnya seolah itu adalah dosa besar!
Contoh paling anyar terjadi pada Ibu Menteri kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti. Saat beliau ditunjuk menjadi menteri, maka yang disorot dan diperbincangkan adalah personalnya, bukan kinerjanya. Kebiasannya merokok, ditambah bertato dan status janda yang disandangnya menjadi fokus utama bukan ide dan gagasannya.
Selama berabad-abad, kita sebagai laki-laki menikmati begitu banyak keuntungan menjadi laki-laki dalam dunia yang dibangun dengan paradigma laki-laki ini. Sekarang sudah saatnya, keuntungan-keuntungan yang sudah kita rampas itu kita kembalikan kepada pemiliknya, yakni perempuan. Tidak mudah memang, sebagai pihak yang sudah menikmati keuntungan yang begitu besar dari ketidaksetaraan ini, pasti kita laki-laki akan menolak konsep kesetaraan ini. Di sinilah titik uji kebijaksanaan kita sebagai seorang laki-laki, apakah kita akan terus menjaga ketidaksetaraan ini demi keuntungan kaum kita semata, atau memperjuangkan konsep kesetaraan untuk dunia yang lebih adil, untuk Ibu kita, untuk adik perempuan kita, untuk saudara perempuan kita, dan untuk kita semua!
Bergabung dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah salah satu cara untukku mengembalikan hutang-hutang itu. Mempromosikan nilai-nilai laki-laki baru dan kesetaraan adalah cara yang terbaik untuk menciptakan dunia yang seimbang, dunia yang menjamin kesetaraan dan harmoni antar seluruh penghuninya.
“Pada mulanya adalah Ibu” Kata Marilyn French dalam bukunya “Beyond Power: Men, Women dan Morals” tahun 1985. Sesungguhnya para pembesar, para pesohor, para nabi, kita semua tidak dilahirkan oleh sejarah, tetapi dilahirkan oleh Ibu.
Sumber:
Ga setuju,laki2 sering diposisikan memiliki hak di bawah wanita dg ladies first.org jg cenderung diam jika ada kebijakan yg merugikan laki2.
mas, justru ladies first nampkanya mengistimewakan perempuan padahal justru sebaliknya. Pengen tahu kebijakan apa saja yang merugikan laki-laki? Bisa berbagi datanya?