Taylor Swift

Laki-laki Harus Segera Berhenti Menyebut Perempuan "Gila"

Sebuah eksperimen untuk cara berpikir. Coba bayangkan bagaimana reaksi orang-orang jika Taylor Swift mengeluarkan album yang seluruh lagunya berisi tentang harapan-harapannya untuk dapat kembali ke pelukan salah satu mantan pacarnya.

Kita mungkin akan mendengar hal-hal seperti: “Perempuan itu belum bisa melepaskannya. Perempuan itu begitu terikat. Perempuan itu bertindak hal yang tidak masuk akal. Perempuan itu gila.” Laki-laki akan memiliki waktu seharian untuk membandingkan contoh tindakan di atas dengan mantan-mantan pacar mereka yang “gila”.

Tapi saat Robin Thicke meluncurkan album berjudul “Paula – yang merupakan sebuah permohonan Thicke untuk rujuk kembali dengan mantan istrinya yang bernama Paula Patton yang disamarkan dalam bentuk LP – dia kemudian disebut sedang kacau, terobsesi, begitu tulus, dan sebagian kecil menyebut tindakan ini: menyeramkan.

Tapi kalian tidak akan mendengar laki-laki yang lain menyebut seorang laki-laki “gila” – meskipun terbukti Thicke menggunakan kata “gila” sebagai judul salah satu lagu di dalam album tersebut.

Tidak bukan, karena “gila” memang secara tipikal disediakan khusus untuk menjelaskan perilaku perempuan.

Seorang laki-laki dapat terobsesi, kehilangan arah, kebingungan atau sedih. Tapi masyarakat kita tidak akan menyebut laki-laki tersebut “gila” – atau setidaknya, panggilan tersebut tidaklah sama dengan cara yang direfleksikan laki-laki terhadap perempuan ketika memanggilnya “gila”.

“Gila” adalah salah satu dari lima kata mematikan yang sering digunakan oleh laki-laki untuk mempermalukan perempuan seturut keinginan mereka. Empat kata yang lain adalah: gendut, jelek, murahan dan cerewet. Laki-laki dengan kata-kata tersebut merangkum keseluruhan dari apa yang dianggap sebagai tindakan terburuk yang dapat dilakukan oleh perempuan.

MAKSUD LAKI-LAKI SEBENARNYA DENGAN MENGATAKAN “GILA” ADALAH: PEREMPUAN ITU SEDANG SEDIH, DAN SAYA TIDAK INGIN DIA BEGITU.

“Gila” adalah kata yang nyaman bagi laki-laki, yang melanggengkan keyakinan sebagai jenis kelamin superior. Laki-laki itu logis, sementara perempuan itu emosional. Emosi dianggap sebagai anti tesis dari logika. Saat perempuan terlalu emosional, laki-laki akan mengatakan bahwa perempuan menjadi tidak rasional. Gila. Salah.

Perempuan selalu mendengar kata-kata ini dari mulut laki-laki. “Tindakanmu terlalu berlebihan,” itu yang sering laki-laki katakan. “Jangan terlalu khawatir soal itu, kau terlalu berlebihan menanggapinya.” “Jangan terlalu sensitif.” “Jangan menggila.” Kalimat-kalimat itu adalah contoh dari bentuk manipulasi yang dilakukan oleh laki-laki – dengan mengatakan kepada perempuan bahwa perasaan mereka sepenuhnya salah, bahwa mereka tidak memiliki hak untuk menggunakan perasaan senyaman mungkin, selayaknya yang biasa mereka lalukan.

Mengecilkan perasaan seseorang sejatinya merupakan cara laki-laki mengontrol perempuan. Jika perempuan tidak lagi mempercayai perasaan dan insting mereka sendiri, maka otomatis ia akan menjadi lemah dan akan sangat bergantung kepada pihak lain (dalam hal ini laki-laki) yang kemudian akan mengajarkan mereka bagaimana perempuan seharusnya merasakan sesuatu.

Jangan heran jika para pelaku kekerasan (terhadap perempuan) selalu menggunakan kata “gila”. Sebab ini adalah cara efektik untuk mendelegitimasi otoritas perempuan terhadap hidupnya sendiri.

Kebanyakan laki-laki (ingat: tidak semua laki-laki) memang bukanlah pelaku kekerasan aktif terhadap perempuan, tetapi masih banyak di antara kita yang secara refleks memanggil perempuan dengan sebutan “gila” bahkan tanpa harus berpikir terlebih dahulu. Laki-laki berbicara tentang bagaimana “perempuan gila sex” adalah mereka yang dapat memberikan “seks terbaik”, sementara itu saling memperingatkan di antara mereka untuk “tidak terjebak di dalam kegilaan”.

Serial How I Met Your Mother memperingatkan bagaimana kita mesti awas terhadap “kegilaan mata” dan bagaimana mengukur seorang perempuan dalam skala “gila/seksi”. Saat laki-laki bertukar cerita mengenai alasan mengapa ia memutuskan hubungan, dengan mudah laki-laki akan menjawab “dia menggila”, dan semua orang dengan serta merta akan menganggukkan kepala, seakan-akan bahwa sepotong kata itu telah berhasil menjelaskan semuanya.

Walaupun sebenarnya yang kita maksudkan adalah: “Dia kecewa, dan saya tidak ingin dia begitu.”

Banyak laki-laki (ingat: tidak semua laki-laki) diajarkan untuk tidak menggunakan dan mempertontonkan emosinya – satu-satunya emosi yang dianggap macho dan layak ditunjukkan adalah bagaimana seorang laki-laki dapat diam membisu atau meledak dalam kemarahan.

Laki-laki diajarkan bahwa menjadi emosional adalah hal yang feminim dan tidak maskulin. Hasilnya, sangat jarang laki-laki dapat mengendalikan emosinya – yang juga menunjukan mengapa laki-laki tidak paham bagaimana cara untuk berhadapan dengan seseorang yang sedang emosional.

Ini adalah awal dari mana datangnya kata “gila” ini. Kata ini adalah tujuan akhir dari seluruh argumentasi. Seorang perempuan yang kecewa karena pacarnya tidak menelpon terlebih dahulu padahal laki-laki itu tahu ia akan terlambat, apakah perempuan itu irasional?

Jika seorang perempuan menginginkan seorang laki-laki untuk menghabiskan waktu dengannya daripada terus menerus menghabiskan waktu dengan teman-temannya, apakah itu membuatnya menjadi tak mandiri? Jika istri anda tidak suka jika anda menghabiskan waktu terlalu lama dengan rekan kerja anda yang cantik dan atraktif, apakah itu berarti dia terlalu sensitif?

Saat kartu as “gila” dimainkan di atas meja, perempuan dipaksa untuk bertahan. Secara otomatis menutup diskusi dan mengalihkannya dari soal apa yang perempuan katakan berubah menjadi bagaimana cara dia mengatakannya. Laki-laki bersikeras bahwa seseorang tidak dapat emosional dan rasional di saat yang bersamaan, jadi si perempuan mesti membuktikan bahwa dia tidak sedang berada di dalam kondisi irasional.

Caranya adalah menekan emosinya. Jika tidak, maka itu berarti semua yang dikatakan oleh perempuan justru akan berbalik digunakan oleh laki-laki sebagai bukti untuk menyerang balik.

Sudah terlalu sering, ditemukan bahwa laki-laki tidak menyadari bahwa apa yang sebenarnya mereka maksudkan saat menyebut seorang perempuan, “gila”.

Bahwa kata ini tidak hanya menjadi stigma dari mereka yang terbukti mengalami gangguan jiwa, tapi juga ditujukan untuk menyudutkan perempuan bahwa mereka tidak paham akan emosi mereka sendiri, menegaskan bahwa isu dan fokus seorang perempuan adalah nomor dua jika dibandingkan dengan kenyamanan seorang laki-laki.

Dan ini secara langsung juga meniadakan tanggung jawab laki-laki untuk membuat perempuan merasa nyaman dengan dirinya dan dengan pasangannya.

Dalam dunia profesional, sudah ada debat mengenai label-label sejenis “kalem” dan “kasar”, yang terlalu sering digunakan untuk mendeskripsikan tentang perempuan, dan bukan laki-laki. Dalam hubungan interpersonal dan percakapan-percakapan kita, “gila” adalah kata sifat yang mesti segera dihilangkan.

Penulis: Harris O’Malley

Sumber: Washington Post

This post is also available in: English

About Andre GB

Check Also

Observasi terhadap Budaya Patriarki: Diskusi Mengenai Gerbong Khusus Perempuan di KRL

Gerbong khusus perempuan difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *